Mohon tunggu...
Sitta M Zein
Sitta M Zein Mohon Tunggu... - -

pendamping anak

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Menjadi Orangtua Baru di Tahun Ajaran Baru

15 Juni 2017   13:01 Diperbarui: 18 Juni 2017   04:29 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tahun ajaran baru segera tiba. Tak sampai sebulan lagi, pendaftaran peserta didik baru(PPDB)  untuk jejang SD, SMP, dan SMA akan dimulai. Meski PPDB baru akan dibuka awal bulan Juli nanti, tapi masa "perburuan" sekolah sudah dimulai.

Banyak orangtua mulai sibuk bertanya pada teman, kerabat, atau tetangga sebagai bahan referensi. Atau mencari data penerimaan peserta didik baru tahun lalu yang dimuat dalam website PPDB. Sebagiannya lagi mulai panik. Khawatir usia atau nilai ujian akhir anaknya tidak mencukupi untuk bisa diterima di sekolah yang diimpikan.

Sementara itu mungkin anak-anak yang akan didaftarkan ke sekolah baru masih santai-santai saja. Asyik menikmati masa senggang setelah selesai ujian sekolah. Atau menghabiskan waktu bersama teman-teman sebelum berpisah.

Hiruk-pikuk PPDB ini mungkin membawa ingataan saya pada kasus bunuh diri siswa sebuah SMP di Klaten, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Kasus bunuh diri yang diduga dilatarbelakangi kekecewaan orangtua terhadap nilai ujian nasional anaknya ini mengundang keprihatinan banyak pihak. Terutama orangtua dan pegiat pendidikan.

Entah apa alasan sebenarnya sehingga remaja 15 tahun tersebut bunuh diri. Hingga kini pihak kepolisian masih mendalami. Namun kejadian yang hanya berselang dua jam dari penerimaan nilai hasil ujian nasional itu, membuat masyarakat meyakini bunuh diri tersebut berkaitan dengan nilai ujian nasional si korban.

Setidaknya sejak dua tahun lalu nilai ujian nasional bukan lagi penentu kelulusan siswa. Diberlakuakannya aturan tersebut mestinya mengurangi tekanan psikologis siswa maupun orangtua. Kenyataannya tidak sepenuhnya demikian.

Sebagian besar siswa tidak menjadikan kelulusan sebagai beban. Bisa dibilang tingkat kelulusan hampir semua sekolah mencapai 100%. Artinya kelulusan merupakan hal yang relatif mudah.

Justru yang menjadi beban bagi para siswa adalah persaingan untuk dapat diterima di jenjang pendidikan berikutnya. Sebab untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, bukan hanya dibutuhkan status lulus saja. Melainkan juga nilai ujian nasional.

Semakin tinggi nilai ujian, semakin tinggi pula peluang calon siswa diterima di jenjang pendidikan berikutnya. Hampir semua sekolah negeri menggunakan nilai ujian akhir sebagai dasar seleksi. Ada yang hanya menggunakan nilai jian nasional saja. Ada juga yang menggabungkan nilai ujian nasional dan ujian akhir sekolah. Tergantung aturan di kota/kabupaten atau provinsi yang bersangkutan.

Sebenarnya bisa dikatakan, berapa pun nilai ujian akhir seorang siswa, dia tetap bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Tetapi yang terjadi tidak sesederhana itu. Siswa yang baru saja lulus SMP misalnya, tidak sekedar berharap diterima di SMA atau SMK. Rata-rata mereka mencari SMA atau SMK yang dianggap punya kualitas bagus atau bahasa populernya favorit.

Inilah yang menjadi tekanan besar bagi para siswa. Termasuk juga orangtua. Mereka tidak hanya berjuang mendapatkan nilai untuk sekedar lulus, tetapi juga harus berusaha mendapatkan nilai setinggi mungkin agar dapat lolos dalam proses seleksi masuk sekolah favorit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun