Mohon tunggu...
Hasna A Fadhilah
Hasna A Fadhilah Mohon Tunggu... Administrasi - Tim rebahan

Saya (moody) writer. Disini untuk menuangkan unek-unek biar otak tidak lagi sumpek.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Inginku Jumpa dengan Para Guru

29 Mei 2018   20:35 Diperbarui: 29 Mei 2018   21:08 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Melihat banyak anak kecil yang mengaji dan juga bermain di masjid, mengingatkan saya pada saat masih unyu-unyu dulu. 

Sewaktu saya kecil, tiap hari kami harus masuk ke dua jenis sekolah. Sesi pagi sampai siang jam dua belas adalah jatahnya pendidikan dasar yang diwajibkan Kementerian Pendidikan. Sedangkan siangnya, kami harus mengikuti madrasah untuk belajar ilmu agama. Pada waktu itu, kegiatan ekstrakulikuler di sekolah pagi, tidak terlalu banyak.

Dan memang, sudah menjadi budaya tersendiri di daerah kami bahwa anak-anak usia SMP hingga SMA belajar non-stop dari pagi hingga sore hari plus malam hari belajar mengaji di dekat poskamling. Sebenarnya perbedaan dua sekolah ini tidak mencolok. Hanya saja, di madrasah SPP yang kami bayarkan jauh lebih murah. Seragamnya pun tidak banyak macamnya. Seingat saya, saya hanya punya satu seragam wajib yang dipakai di awal minggu. Sisanya? Kami bebas mengenakan baju muslim, bahkan pakai sandal juga tidak dipermasalahkan. 

Kesederhanaan madrasah di tempat kami berbanding lurus dengan penampilan guru-gurunya. Sebagian besar guru kami di madrasah biasanya bersepeda dari rumah untuk mengajar. Padahal tempat tinggal mereka, ada yang jaraknya satu jam dari gedung tempat pembelajaran. Bisa dibayangkan, bila kami mulai belajar jam setengah dua siang, betapa teriknya perjalanan yang harus mereka lalui.

Yang mengagumkan, hal tersebut tidak menyurutkan langkah mereka untuk memberikan ilmu terbaik. Meskipun di antara kami banyak juga yang bandel-bandel dan susah untuk dinasihati, tapi mereka selalu menyikapinya dengan sabar dan telaten. Pun pada saat kejadian 'Amigos' berlangsung. 

Dulu, ada satu telenovela yang selalu dinanti oleh anak sebaya kami. Judulnya 'Amigos' yang artinya persahabatan. Sinetron latin ini ditayangkan berbarengan dengan jadwal madrasah kami. Nah, tiba saat episode final, banyak dari kami yang tidak ingin melewatkannya, terutama anak perempuan. Akhirnya kami sepakat untuk menontonnya bersama-sama di rumah teman yang jaraknya paling dekat dengan sekolah. Dalih kami, kalau pun terlambat kan banyak temannya, jadi pasti dimaklumi.

Sayangnya, setelah kami tiba di madrasah, tepatnya empat puluh lima menit dari jam mulai belajar yang seharusnya. Pak ustadz tampak bermuram durja. Duh, batin kami menyesal. Terlebih lagi anak-anak laki-laki di kelas hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, pertanda apa yang kami lakukan sudah tidak dapat ditolerir. Sembari menunduk menyesal, kami selanjutnya menuju bangku masing-masing.

Tidak lama, pak ustadz meminta kami berdiri semua tanpa terkecuali hingga bel istirahat berbunyi. Kami semua pun kaget. Kami malah mengira akan menerima hukuman yang jauh lebih berat daripada itu. Karena tahu kami melakukan pelanggaran, satu per satu murid perempuan berdiri dan meluncurlah kata-kata bijak dari pak ustadz. Di satu sisi, saya menyesal karena sudah membuat beliau kesal, tapi di sisi lain, saya kagum akan kesabarannya.

Sebenarnya bisa saja kami dihukum lebih berat karena sudah elek-elekan. Lagian, jaman dulu adalah sangat lumrah bila ada murid yang dihukum dengan penggaris rotan. Nah, ketika kami hanya disuruh berdiri saja, sebenarnya ini hukuman super ringan. Apalagi, beliau tiap hari sudah bersusah payah untuk tepat waktu di siang bolong yang panasnya Naudzubillah, eh kami yang tinggal lebih dekat malah sering menyepelekan beliau.

Dan kini, setelah saya dewasa, saya jadi sangat berterima kasih atas jasa para ustadz-ustadzah yang luar biasa ini, saya dapat belajar islam dan menerapkan nilai-nilainya di kehidupan sehari-hari. 

Sayangnya setelah saya lulus madrasah, saya belum pernah lagi mendengar kabar beliau. Terutama karena dulu tidak ada nomor telepon yang bisa disimpan. Buku kenangan dan alamat-alamat kawan lama pun sudah tidak tahu dimana karena saya berkali-kali pindah ke luar kota. Semoga bila ada kesempatan dan umur, saya ingin sekali bertemu langsung dan mengucap terima kasih atas jasa beliau yang tiada tara untuk membimbing kami waktu dulu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun