Mohon tunggu...
sekti sekti
sekti sekti Mohon Tunggu... PNS -

Seseorang di kaki Gunung Merapi.

Selanjutnya

Tutup

Money

Nasib Pangan Lokal di Hari Lebaran

13 Juli 2015   05:23 Diperbarui: 13 Juli 2015   05:23 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beberapa bulan yang lalu, ketika Kabinet Kerja masih baru gres, terdengar kabar adanya anjuran untuk tidak menyajikan makanan impor setiap kegiatan pemerintah daerah (“Menteri Haramkan Makanan Impor Di Acara Pemerintah” 2015). Tidak terlihat adanya respons positif yang memadai maupun kontroversi atas titah ini. Setidaknya, saya tidak melihat reaksi tersebut diberitakan.

Anjuran tersebut kiranya cukup mendasar berkait dengan beberapa hal. Pertama, ketergantungan kita pada beras yang cukup besar sementara produksi tidak juga mencukupi. Hal ini cukup membahayakan seperti terjadinya kelaparan di NTT tahun 2010 karena gagal panen beras dan jagung, sementara penduduk tidak siap membudidayakan umbi-umbian lokal yang masih dapat ditemui di hutan (Istiyatminingsih 2015).

Kedua, pergeseran yang cukup signifikan dari pangan lokal kepada pada pangan berbahan dasar gandum atau terigu ditengarai membebani neraca perdagangan. Impor kita akan beras, gandum, dan terigu dinyatakan cukup besar. Ketiga, barangkali aspek nasionalisme: mengapa makanan lokal, yang biasanya berbahan umbi, sagu, atau beras itu, perlahan-lahan tersingkir dari sajian kita.

Makanan di hari raya

Jika ingin merayakan kembalinya makanan lokal, terdapat banyak kesempatan di luar rapat yang biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang kantoran. Hari raya, misalnya. Lebaran identik dengan saling berkunjung, dan tentu saling menyuguh. Di beberapa tempat para keluarga bahkan masih sempat bertukar makanan dengan para tetangga menjelang hari raya, sebagai bagian dari tradisi.

Kita masih ingat makanan yang disajikan kepada para tamu saat hari raya di masa silam. Tape ketan, emping, wajik, satu atau koyah, hingga intip goreng, bertumpuk menghias meja. Masih banyak lagi daftarnya: jenang dan krasikan, rengginan, jadah, serta kacang bawang. Alen-alen atau slondok, makanan khas seputar daerah Magelang, atau opak dari Banjarnegara, Purwokerto, dan sekitarnya, yang terbuat dari ketela, kadang mampir di meja tetamu.

Namun, para tuan rumah sekarang sudah jarang menyajikan makanan kita sendiri. Kita lebih memilih makanan hasil kreasi industri. Makanan semacam itu biasanya dijual di toko dan berbungkus plastik dengan rapat—karena harus diangkut dari pabrik yang jauh serta harus tahan lama dalam penyimpanan sebelum sampai ke tangan kita para konsumen.

Kendala

Banyak alasan yang dapat disediakan. Biasanya makanan tradisional kurang tahan lama, repot menyiapkan, tidak bisa lagi memasak seperti ibu-ibu terdahulu, baik karena tidak memiliki waktu maupun tidak lagi seterampil para pendahulu. Akan lebih praktis membeli biskuit, jeli, atau wafer di toko yang tidak jauh dari rumah. Tidak kurang dari itu kemudahannya, mendekati lebaran berbagai minimarket, yang sudah menjamur di banyak tempat hingga ke pelosok, sudah menawarkan korting harga yang menggiurkan untuk, apalagi jika bukan, produk makanan kalengan berbahan gandum.

Selain masalah teknis praktis itu, terdapat masalah kultural lainnya. Makanan tradisional dianggap tidak bergengsi untuk disuguhkan kepada tetamu terhormat. Pangan lokal, mungkin dengan bahan yang diambil dari sawah-ladang atau bahkan halaman belakang rumah, barangkali juga diolah sendiri. Maka, hasilnya adalah seperti makanan keseharian lain yang berbahan dasar ketela pohon, ubi jalar, kacang, jagung, beras ketan, atau kelapa. “Mengapa mengkonsumsi makanan yang sama seperti hari-hari sebelumnya? Ini hari istimewa, lho!” Kira-kira begitu kilah kita.

Berkait dengan hal tersebut, masalah lain dari pangan lokal adalah minimnya keragaman. Para tetamu umumnya tetangga di sekitar rumah, yang kira-kira akan menyuguhkan makanan yang sama jika hanya membuat sendiri. Setiap berkunjung ke rumah tetangga, seorang besar kemungkinan akan ketemu tape ketan lagi, dan lagi ... Umumnya para keluarga memiliki kemampuan yang sama dalam mengolah makanan setempat. Jika pergi ke toko, kita akan disuguhi pilihan yang cukup luas, tinggal ‘nari dhuwite’, bertanya kepada kantong dan dompet.

Strategi

Hiruk-pkuk pasar-pasar tradisional hingga pasar modern menjelang hari-hari raya memperlihatkan bahwa potensi ekonomi pangan cukup besar. Jika saja kita mampu menggantikan separuh atau seperempat saja dari makanan-makanan di meja kita dengan pangan lokal, yaitu hasil produksi setempat bahan dan pengolahannya, maka dapat dibayangkan betapa para petani dan pengolah makanan setempat akan menuai hasil yang menggembirakan.

Mengingat kendala yang beberapa di antaranya telah disebut di atas, maka perlu strategi untuk menyajikan pangan lokal pada hari raya nanti. Di antara strategi tersebut adalah peningkatan keterampilan pengolahan, peningkatan keragaman hasil olahan, serta pencitraan pangan lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun