Mohon tunggu...
Siswanto Danu Mulyono
Siswanto Danu Mulyono Mohon Tunggu... profesional -

Usia sudah setengah abad. Semua orang akan mati, tapi tulisannya tidak. Saya Arsitek "freelance" lulusan Unpar-Bandung. Sambil bekerja saya meluangkan waktu untuk menulis karena dorongan dari dalam diri sendiri dan semoga berguna untuk siapapun yang membacanya. Sedang menulis buku serial fiksi "Planet Smarta" untuk menampung idealisme, kekaguman saya terhadap banyak hal dalam hidup ini, bayangan-bayangan ilmu pengetahuan yang luar biasa di depan sana yang menarik kuat-kuat pikiran saya untuk mereka-rekanya sampai jauh dan menuangkan semuanya dengan daya khayal saya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mampukah Jokowi Mengatasi Banjir Jakarta?

1 Januari 2013   04:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:42 2632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banjir itu hukum alamnya sederhana:

1.Air mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah

2.Kalau aliran air tersumbat, mampat dan menggenang

3.Kalau debit aliran air lebih banyak dari daya tampung, air meluap

Hukum alam yang sederhana itu menjadi sangat kompleks masalahnya ketika hadir dalam komunitas hunian manusia, terutama dalam skala kota. Makin tidak terencana fasilitas drainase yang disediakan di dalam kota, makin parah masalahnya.

Jadi, yang bikin ruwet itu bukan alam, tapi terutama manusia sendiri, dalam hal ini adalah bagian perencanaan dan pelaksanaan pembangunan drainase dan sikap buruk warga kota yang sering berbuat seenaknya.

Ambil contoh sederhana tapi fatal: Soal parit di tepi kanan kiri jalan.

Lihat foto no.1 yang penulis ambil di sekitar jl. S. Parman - Jakarta.

Jalan S. Parman itu jalan besar, lebar jalur satu arahnya mampu menampung 6 jajar mobil. Jalur pemisah jalan 2 arahnya adalah kali kotor yang lebar dan banyak aliran sampah. Kanan-kirinya gedung-gedung tinggi, mall-mall, universitas, hotel, kantor, dll.

Ketika penulis lewat di depan kampus Untar dan Trisakti dan melihat dari sela-sela lubang parit tepi jalan, maka tidak ada hujanpun parit tersebut selalu penuh genangan air. Ini konyol. Parit-parit tersebut, yang di Jakarta dan hampir semua kota di Indonesia panjangnya ribuan KM, selain tidak pernah didisain berdasarkan hukum alam sederhana tersebut di atas, seringkali juga terhalang jaringan pipa bawah tanah yang dibangun berbagai instansi tanpa koordinasi antar instansi. Akibatnya, selain jadi sarang nyamuk dan macam-macam penyakit, hujan sedikit saja air meluap ke jalan.

13570128211057880295
13570128211057880295

Macet dan banjir adalah 2 masalah besar Jakarta yang saling berkaitan dan masih jauh dari teratasi. Kalau situasi di banyak tempat (tidak hanya di Jakarta, tapi di banyak kota di seluruh Indonesia) seperti ini lalu kita bermimpi sebuah kota bebas banjir, itu sangat tidak logis.

Berapa milyar atau bahkan trilyun dibutuhkan untuk mengubah parit tersebut agar benar secara disain dan pelaksanaan?

Baru-baru ini Pak Jokowi melontarkan rencananya untuk membangun gorong-gorong multi guna raksasa (deep tunnel) berdiameter 16 meter sepanjang 23 km mulai dari Cawang (Jakarta Timur) s/d Pluit (Jakarta Utara). Sketsanya kurang lebih sbb:

135701299927223355
135701299927223355

Deep Tunnel ini diperkirakan menelan biaya 16 Triliun Rupiah. Tentu saja biaya ini tidak termasuk pembangunan saluran di luar deep tunnel yang alirannya akan dimasukkan ke gorong-gorong tersebut, dan itu juga pasti amat besar.

Gagasan ini sepintas bagus karena berbagai fasilitas yang ada di dalam gorong-gorong tersebut. Yang penulis sangsikan adalah: Benarkah saluran air limbah yang letaknya di bagian bawah gorong-gorong (berarti berada di kedalaman sekitar 18 m atau lebih di bawah tanah) masih berada di atas permukaan air laut? Bagaimana jika ternyata tidak? Mau dibuang kemana air limbah tersebut? Maka, biarpun Pak Jokowi mengatakan tidak perlu menguji lagi kecanggihan deep tunnel yang sudah dibangun di Malaysia tersebut, ia tidak boleh gegabah dengan kondisi fisik Jakarta yang tentunya berbeda dengan Malaysia dan Negara lainnya yang sudah menerapkan sistem ini. Melanggar hukum alam sederhana yang saya tuliskan di depan tulisan ini akan berakibat konyol.

Selain masalah teknis, ada masalah non teknis yang juga menjadi kendala besar untuk mengatasi masalah semacam banjir dan macet, yaitu masalah sikap mental yang seenaknya dan cenderung kurang bertanggung-jawab dari warga masyarakat serta koordinasi yang lemah di jajaran birokrasi pemerintahan.

Coba saja lihat sungai-sungai kita, selalu penuh sampah dan dalam banyak hal warga masyarakat sulit diajak untuk bisa tertib, termasuk dalam soal berkendara dengan motor atau mobil. Dalam membangun fasilitas publik juga begitu, sering satu instansi membangun sembari merusak fasilitas lainnya, terutama jalan. Kalau dibetulkanpun, kwalitasnya jauh dibawah standar alias seadanya, padahal saya yakin dana untuk itu ada, bahkan mungkin di mark up!

Seperti masalah parit di atas, misalnya, apa bisa dibenahi kalau tidak melibatkan Kelurahan s/d RT mulai dari pelaksanaan sampai pemeliharaan? Bagaimana Pak/Bu RW/RT disuruh kerja kalau tidak digaji?

Berapa lama dibutuhkan untuk mengubah sikap manusia dari yang seenaknya menjadi tertib dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitar? Bagaimana harus mengefektifkan kerja dalam birokrasi pemerintahan yang sudah cenderung tidak efisien, bertele-tele, super lelet dan korup? Darimana harus mulai?

Tidak mungkin mengharapkan rakyat Indonesia mulai tertib lebih dahulu dengan sendirinya. Maaf ya, sikap seenaknya sendiri ini memang sudah parah. Saya beri contoh di lingkungan kerja saya sendiri.

Kebetulan saya cukup banyak bergaul dengan para tukang bangunan saya. Ketika melongok ke bedeng tempat menginap mereka, waduh…, sungguh-sungguh lebih buruk dari kandang kerbau. Sampah bekas makan, bekas minum, bekas rokok, bekas sabun dan shampo, dan bekas-bekas lainnya berceceran dimana-mana. Ketika mereka sedang kerja, saya ambil sapu dan bersihkan bedengnya. Melihat saya berbuat seperti itu mereka kaget dan mulai menawarkan diri untuk mengganti membersihkan. Lalu seperti biasa saya berseloroh: “Kalian, untuk mengurus bedeng sendiri saja butuh insinyur! Mana bisa Negara mau maju?!” Mereka tertawa ngakak. Seloroh saya itu sudah terkenal di lingkungan tukang-tukang saya. Maksudnya bukan untuk menyombongkan diri, tapi untuk mengajar agar mereka belajar menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang kecil. Sudah dididikpun masih sulit berubah, apalagi tanpa didikan yang terus menerus.

Di luar sana sama saja. Pedagang kaki lima berantakan semua, hunian kumuh berantakan juga. Para politisi, birokrat dan pejabatnya rata-rata sama saja, berantakan wataknya! Jadi, siapa yang harus mulai lebih dahulu? Siapapun yang punya posisi pimpinan dan punya rasa bela Negara harus memulainya.

Jokowi-Ahok mampu? Saya harap! Negara ini butuh teladan kepemimpinan. Jokowi - Ahok dicintai rakyatnya, punya niat baik dan mau berbuat, punya banyak aparat sampai ke tingkat RT. Itu modal besar untuk membuat perubahan kearah yang lebih baik untuk Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya. Kalau Pak Jokowi dan Ahok lupa mendidik aparatnya secara terus-menerus dan konsisten, mereka akan gagal mengatasi banyak hal dengan mutu yang baik.

Perencanaan dan strategi pelaksanaan terpadu adalah hal yang penting untuk diterapkan di lapangan. Mengatasi banjir tidak mungkin dengan perencanaan sepotong-sepotong dan pelaksanaan asal jalan (membangun yang satu dan merusak yang lain seperti yang selama ini terjadi). Semua pihak sampai ke tingkat RT harus dilibatkan dan harus dikoordinir secara terpadu sampai ke masalah pemeliharaannya.

Soal sampah yang berceceran dimana-mana, selain tugas dinas kebersihan bisa menjadi tugas tambahan satpol PP. Dengan demikian satpol PP tidak hanya bertugas mengobrak-abrik pedagang kaki lima, tetapi juga membina mereka agar tertib berdagang dan cara membuang sampah bekas dagangan dengan benar. Kalau mereka bandel dan sudah diberi teguran sampai 3 kali tetap bandel ya silakan disikat, itu tidak salah. Satpol PP juga bisa mengawasi masyarakat yang membuang sampah sembarangan, baik di lingkungan maupun dari dalam kendaraan.

Harus ada sangsi tiap kesalahan di lapangan, baik untuk masyarakatnya maupun aparatnya. Coba tengok Singapore, bisa tertib begitu kan karena ketegasan berdisiplin dan sangsi (denda, hukuman fisik, dll) untuk para pelanggarnya. Tanpa itu, mau mengatur Jakarta tertib adalah mustahil. Aparat payah, Negara juga payah.

Kreatifitas dan kecerdikan dalam perencanaan juga sangat dibutuhkan, sehingga semakin banyak orang bisa diselamatkan dari bencana banjir dan sebaliknya malah mendapat rejeki dari pengaturan alam yang dipikirkan dan dikelola dengan benar dan bertanggung jawab.

Banjir di Jakarta sering dikaitkan dengan banjir kiriman dari Bogor. Ada ide kratif dari Cina yang bisa dijadikan contoh.

Tahun 277 Sebelum Masehi (jadi sudah hampir 2300 tahun yang lalu), Li Bing menjadi Gubernur di wilayah Shu, Propinsi Sichuan, Cina Selatan, sekitar 45 KM dari kota Chengdu yang sangat terkenal itu. Li Bing menyaksikan bagaimana rakyat sangat menderita karena bencana banjir akibat luapan sungai Minjiang.

135701309657318648
135701309657318648

Li Bing, dibantu anaknya sendiri, Erlang, melakukan pengamatan yang cermat untuk mengatasi masalah besar tersebut. Ia akhirnya melakukan langkah besar dan genius. Di sebuah tempat yang tepat, ia membelah aliran sungai besar Minjiang menjadi 2 aliran, aliran luar dan aliran dalam. Cara membelahnya adalah menimbun tengah sungai dengan bronjong batu sehingga menjadi timbunan raksasa di tengah aliran sungai. Timbunan tersebut bentuknya menyerupai mulut ikan sehingga disebut “Yuzui / fish mouth”.

Aliran luar adalah aliran deras yang membawa banyak material sungai (pasir, batu2, dll), sementara aliran dalam yang sengaja dipilih di tempat yang lebih landai adalah aliran yang lebih lambat arusnya sehingga juga relatif lebih bersih airnya karena berkurangnya material sungai yang sudah terbawa ke aliran luar yang lebih deras arusnya.

Aliran dalam ini kemudian dialirkan ke wilayah-wilayah gersang yang membutuhkan air untuk pengairan sawah-sawah melalui kanal-kanal sempit yang sengaja dibuat dengan cara membelah bukit sehingga bentuknya menyerupai leher botol dan disebut “Baopingkou”. Kelebihan air di aliran dalam dibuang kembali ke aliran luar melalui pintu air yang bisa diatur debitnya dan disebut “Feishayan”. Dengan demikian aliran luar yang deras tersebut bisa dikontrol debitnya sehingga tidak lagi menyebabkan banjir di wilayah yang dilaluinya. Pada musim hujan debitnya hanya sekitar 40% dari debit keseluruhan sungai Minjiang dan pada musim kemarau bisa diatur sampai sekitar 60%nya. Proyek bendungan air dan sistem irigasi tersebut dikenal dengan nama Dujiangyan.

1357013206219891331
1357013206219891331

Begitulah kerja besar Li Bing dan putranya telah menyelamatkan dan memberi berkah jutaan orang selama ribuan tahun. Sekarang wilayah tersebut, bersama wilayah Chengdu, telah menjadi tempat subur dan indah untuk rekreasi dan tentu saja menjadi rejeki pemerintah dan rakyat China.

Saat ini Dujiangyan telah menjadi salah satu warisan dunia yang dilindungi oleh Unesco. Dujiangyan juga terbukti strukturnya kuat menahan gempa besar yang meluluh-lantakkan wilayah Chengdu pada tahun 2008 yang baru lalu.

Bagaimana setelah 2300 tahun berlalu wilayah seperti Jakarta masih sering mengeluh soal banjir kiriman dari Bogor? Apa kurang teknologi? Apa kurang insinyur? Atau jangan-jangan selama ini tak ada pemimpinnya? Cuma penampakan? Gawat…

Ketika sekitar 2 tahun yang lalu jalan utama di Singapore, Orchad road, banjir, pemerintahnya seperti kena tamparan keras dan malu. Mereka segera bertindak cepat melakukan investigasi dan perbaikan menyeluruh. Tapi sudah puluhan tahun Jakarta timbul tenggelam, para pemimpinnya enjoy aja. Terlalu! Kata capres Rhoma Irama.

Kalau masih kurang ide dari Li Bing, saya beri ide lain. Buat saja danau buatan antara Bogor – Jakarta untuk menampung luapan aliran air sungai dari Bogor yang sering bikin Jakarta banjir. Buat danaunya yang bagus sekalian agar juga bisa dipakai sebagai tempat rekreasi. Dari danau buatan tersebut, yang berfungsi seperti bak penampung, air dapat dialirkan kemanapun maunya sambil diatur debitnya melalui pintu-pintu air. Bisa digunakan untuk pengairan sawah, pembangkit listrik tenaga air, bikin air terjun buatan yang cakep, dan macam-macam kepentingan lainnya, Endapan pasirnya juga bisa mendatangkan banyak rejeki.

Cara kerjanya kurang lebih sbb: kita tahu kalau aliran sungai itu umumnya di tempat yang rendah. Tetapi tidak berarti dasar sungai itu selalu lebih rendah dari beberapa tempat di sekitarnya. Masih ada tempat yang lebih rendah seperti cekungan-cekungan gunung, gua-gua bawah tanah, dll. Dengan teknologi yang ada sekarang ini, kita bisa menyulap cekungan-cekungan dan gua-gua bawah tanah tersebut menjadi danau-danau buatan untuk menampung kelebihan debit air sungai ketika musim hujan tiba.

Air di danau buatan ini, karena letaknya masih di gunung, tentunya juga bisa dialirkan ke tempat lain yang lebih rendah dengan cara membuat aliran-aliran baru ke wilayah yang dikehendaki. Kalau harus memotong bukit seperti yang dilakukan Li Bing ya tidak masalah, selama tujuan dan fungsinya memadai. Alam memang harus ditata. Jangan lupa pula mengurus sampahnya, namanya juga Indonesia!

Masih ada ide lagi, yaitu memasyarakatkan penampungan air hujan di bagian atas bangunan.  Air hujan yang jatuh setelah beberapa menit turun hujan bukanlah air kotor, tapi air bersih yang mutunya barangkali jauh lebih baik dari kebanyakan mutu air sumur dangkal di wilayah Jakarta. Mengapa dibuang sia-sia? Kalau setiap rumah mau menampung beberapa toren air hujan sepanjang musim hujan, bisa dibayangkan berapa juta liter air bersih yang bisa didapatkan secara gratis hanya dalam beberapa jam? Selain membantu mengurangi debit air yang tumpah ke jalan juga menghemat pengeluaran untuk keperluan air bersih, minimal untuk keperluan menyiram tanaman, cuci pakaian, keperluan ke WC, membersihkan lantai, dll-dll. Kalau kita terus menerus menyedot air tanah, mungkin suatu saat air tanah benar-benar habis dan kita semua menderita.

Alam sudah memberi berlimpah. Tergantung kepada manusia bagaimana memanfaatkan dan mengelolanya. Ia bisa menjadi rejeki tapi sebaliknya juga bisa jadi bencana. Ia bisa jadi indah, tapi juga bisa mengerikan. Terserah kita. Jangan menyalahkan alam atau mengeluh kepada Tuhan sebelum kita berbuat maksimal untuk mengatur berkahnya yang berlimpah ruah.

Selamat tahun baru dan hidup baru. Sis12.

******************************

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun