Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perlu Mendudukkan Masalah Bangsa

5 Mei 2017   08:49 Diperbarui: 5 Mei 2017   09:43 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia tidak lepas dari genetik, turunan, suku, etnis, budaya, lingkungan, dan hingga pendidikan yang diperoleh. Sebagaimana halnya masa lalu dapat memengaruhi. Namun, manusia tidak juga boleh secara arogan memvonis seorang final pada masa depan. 

Sebagai contoh, ada beberapa orang yang masa lalu, seperti gen dan turunan raja. Namun, masa depannya kini begitu suram. Bahkan terlibat dengan Narkoba dan kriminalitas. Sebaliknya, ada saja orang yang masa lalunya, gen dan turunan cukup memprihatinkan. Tapi, kini dan masa depan depan bercayaha, pelaku dan perilakunya bermanfaat dan sangat buat diri dan orang lain, serta alam semesta.

Nah, itulah beberapa persoalan di negara kita. Ada banyak yang dipersepsikan sebagai tokoh. Karena sering muncul di televisi dan diliput media. Ternyata, masih sarat dengan determinan subjektif pribadi yang belum matang. Alias, mereka aktor antagonis. Pembawaan hingga pemikiran mereka lebih mengundang pro-kontra, kontroversi, serta menuju konflik daripada berupaya mendudukkan masalah secara utuh.

Kesukaan mereka mengumbar bahkan menyulut api konflik bangsa. Tapi, merasa paling berjasa. Aneh! Coba, cermati, siapakah tokoh politisi kini yang secara rendah hati mengakui di depan publik tak begitu mampu menangani masalah bangsa ini. Seluruhnya, hampir semua berkampanye dan mendaulat diri paling mumpuni menangani persoalan. Seraya beradu ideologis dan pemikiran pada taraf taman kanak-kanak, paling nasionalis, paling demokratis. Padahal, sikap nasionalis dan demokratis perlu ditampilkan dalam perbuatan dan kontribusi positif terhadap bangsa ini.

Mereka terus beradu dan berusaha melaga pikiran sesama anak bangsa Indonesia. Padahal, sebaiknya kita bertindak nyata. Entah, siapa yang meniupkannya ke tengah-tengah masyarakat pemberitaan. Misalnya, ada yang bilang aksi umat "Islam" dikaitkan dengan kudeta?

Marilah saya ingin mencontohkan yang sedikit agak kontras, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menyatakan di Kompas pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tinggal tunggu waktu. Secara pribadi saya bukanlah kader dan angota HTI. Tapi, memiliki beberapa kawan Muslim berorganisasi HTI. Meski saya tidak sepenuhnya, setuju dengan semua cara pandang mereka. Ada banyak hal juga yang positif bisa kita ambil manfaatnya demi bangsa. Misalnya, kritik-kritik mereka terhadap pemerintah perlu didengarkan, seperti persoalan ekonomi hingga moralitas bangsa yang dalam sudut padang mereka kapitalis, hanya dinikmati segelintir orang.

Hemat saya juga, orang HTI dapat diajak dialog. Bahkan dalam forum terbuka. Tapi, cobalah pahami dari sudut pandang mereka. Setahu saya, meski sebagian mereka mengkritik pemerintah bahkan ideologi tertentu. Tapi, substansinya masalah yang mereka persoalkan juga bersifat universal kebangsaan kita.

Mirip halnya dengan pihak Front Pembela Islam (FPI). Banyak orang yang sinis, hanya menilai FPI "radikalis?" Kontro FPI hampir tak bisa menatap sedikit pun sumbangsih FPI terhadap bangsa Indonesia. Padahal, kalau kita mau saling berendah hati menilai, orang FPI  tidak minuman keras, tidak mabuk, tidak Narkoba, dan yang paling penting mereka berupaya serius taat menjalankan ibadah agama. Sedangkan kita, yang bukan FPI mungkin mabuk, Narkoba, dan tidak patuh menjalankan agama yang dianut.

Tentu saja pihak HTI dan FPI pun perlu menyungsang balik cara pandang orang lain yang tak sepaham dengan mereka. Hanya dengan kerendahan hati, dialog dan mendudukkan persoalan dan masalah bangsa dapat dilakukan secara terhormat.

Sikap arogan, apalagi yang ditampilkan pemerintah. Kelak memukul balik pertentangan-pertentangan, sehingga inti pokok masalah bangsa, tak kunjung selesai ditangani. Saya rasa di situlah pentingnya, kalau sudah sekaliber tokoh, seperti presiden, menteri, gubernur, walikota, bupati, camat, dan hingga kepala desa. Serta para tokoh politik lainnya perlulah mampu mendudukkan persoalan. Paling tidak dengan dua sudut pandang pihak kawan maupun lawan.

Ini, tidak! Malah, si tokoh mengeluarkan jurus mabuk, baik pikiran, lisan, komentar, dan tulisan? Waduh, gawat kita ini. Kalau cuma sekedar main bubarkan saja! Tangkap saja! Jebloskan ke penjara! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun