Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ajarkan Ketegasan Sekaligus Kelembutan

23 April 2017   13:18 Diperbarui: 23 April 2017   22:00 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: by The Blog Coach

Sebagai guru di sekolah, saya menyaksikan betapa kelembekan dan kekasaran melingkupi. Tidak terkecuali saya, kebanyakan guru yang saya amati terjebak dalam pola pengajaran yang agak kurang bijak? Sampai terlanjur bertindak agak keras kepada siswa. Yang kemudian umumnya disesali guru pelaku–menjadi waswasorangtua melaporkan guru ke polisi? Atau sepenuhnya terjurus sikap pembiaran siswa, tanpa kontrol tegas? Memang tak sepenuhnya salah guru, karena pelajaran hingga pedagogik guru kurang dibekali dengan sikap lembut serta tegas, seraya masih menaruh hormat.

Maka umum terjadi, sikap lembek atau kasar direspons guru-siswa secara instingtif: bertempur atau kabur saja? Tipe guru yang cenderung suka “bertempur” bisa terjerumus pada sikap agak keras, sedangkan guru dengan kategori “kabur” terkesan lembek berlebihan? Lalu, bagaimana kita berharap kepada pihak sekolah, mengelola perilaku para peserta didik lebih lembut serta tegas? Apabila, jamak guru saja belum memerhatikan kelembutan serta ketegasan sikap?

Anda sebagai siswa atau yang pernah bersekolah. Tentulah pernah mengalami perlakuan yang agak kurang bijak, baik yang disengaja maupun tidak, baik yang dilakukan oleh guru maupun sesama siswa? Cobalah ingat bagaimana misalnya, karena anda salah mengeja kata atau keliru menjumlah angka, ada oknum guru yang menegur anda agak berlebihan sampai membuat anda tersipu-sedikit kesal? Sebagian kecil oknum guru malah menghukum anda spontan? Atau teman sekelas yang menggelitiki keteledoran anda itu? Meski demikian, perlu saya tekankan banyak guru yang lembut serta tegas yang anda hormati, bukan? Sebaiknya, pengalaman baik perlakuan guru lembut-tegas itulah yang menjadi rujukan emosional dan intelektual kita sampai menjasmani. Termasuk, perlu dikenang banyak kawan sekolah dan kelas yang lembut-tegas.

Pasalnya, kalau hanya dengan merenungi perlakuan negatif lalu menyaraf hingga mengurat darah daging dalam diri. Dikhawatirkan, ingatan negatif berbalik lagi menyerang orang lain, terutama sesaat kita jadi guru? Ingatan emosional negatif memancing amigdala darurat, sehingga lepas kendali neokorteks. Bukankah ada saja orang yang bangga atas berbagai kebandelannya di sekolah? Padahal, sepatutnya cukuplah ia berkisah positif kepada orang lain. Agar jangan seolah menanamkan warisan kecentengan terhadap generasi baru di sekolah kita? Tapi memang, kadang kita lebih suka kabar kasar, kriminal daripada berita lembut dan tegas.

Belum Diajarkan

Akhir tahun 2016, saat terjadi perampok di Pulomas, Jakarta Timur. Publik kaget, apalagi dengan pemberitaan media meliput lokasi? Banyak orang bertanya sampai jurnalis memberitakan kejadian itu dengan judul, “perampokan sadis, kejam, jahat, biadab, beringas, brutal, dan sederetan sinonim katanya.”

Tentu, jelaslah kita berempati dan berpihak kepada korban dan keluarga korban perampokan semacam itu. Tetapi sebagai sudut lain, cara pandang pelaku mungkin kita juga bisa prihatin kepada pelaku? Kenapa? Karena, Ramlan Butarbutar misalnya sebagai pelaku residivis berjalan agak pincang dikenali lewat CCTV. Pada akhirnya, ditembak polisi, lantaran melakukan perlawanan. Sesaat didor polisi, kabarnya Ramlan berucap: Ampun!

Masih menurut berita yang sempat saya baca, mendiang Ramlan Butarbutar berjalan agak pincang karena derita penyakit ginjal, bukan karena ditembak polisi? Alih-alih, dengan penyakit Ramlan, seharusnya ia berobat ke rumah sakit? Malah, terjerumus merampok rumah mewah.

Kita, tak sepenuhnya dapat membaca jalan pikiran Ramlan, tetapi mungkinkah itu sebuah “keputusasaan” atas derita penyakit atau biaya pengobatannya yang mahal beralih menjadi sikap agresif dan sadistis? Sama halnya, dengan Ridwan Sitorus alias Iyus, setelah ditangkap di Medan lalu diterbangkan ke Jakarta. Tapi beritanya, pada saat konferensi pers polisi, Ridwan Sitorus yang ditampilkan di belakang, sampai “ngompol di celananya?” Mungkin, karena kedua tanganya diborgol polisi atau ia tak berani meminta izin ke polisi untuk buang air kecil?

Artinya, apa? Sebelum ditangkap, kita mungkin menduga tukang kriminal sangat sangar dan menakutkan. Tapi, rupanya setelah tertangkap tampangnya biasa. Mohon maaf! Mendiang Ramlan malahan sedang sakit ginjal, sedangkan Ridwan Sitorus mungkin penyakit beser?

Mungkinkah perilaku jahat dan sadis itu merupakan bagian dari tanda kegagalan sekolah kita? Atau bagian dari ketimpangan atau kritik sosial yang kacau balau? Ataukah memang pelaku memang betul (tanpa merasa bersalah atau terpaksa) melakukan tindak kejahatan kriminal demi memenuhi kebutuhan hidupnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun