Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tigapuluh Tahun Mengejar Sang Teroris

27 Desember 2012   01:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:59 1469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_231637" align="aligncenter" width="650" caption="Pertemuan setelah pencarian selama 30 tahun"][/caption]

Pertama mengenalnya, saat saya sering berkunjung ke Tabloid Mutiara, di gedung PT Sinar Agape yang menerbitkan Koran sore Sinar Harapan pada tahun 1979. Saat itu beberapa foto lepas saya di muat di majalah Mutiara yang saat itu sudah berganti bentuk menjadi Tabloid. Seperti biasanya setiap ada foto saya yang di muat, saya juga mendapatan tabloid tersebut 1 eksemplar.

Sesuai dengan usia yang saat itu beranjak duapuluh tahunan dan lagi senang-senangnya membaca cerpen ataupun cerbung, maka saya juga sering membaca cerpen-cerpen yang ada di bulletin tersebut. Diantara para penulis cerpen yang terdapat di Buletin Mutiara tersebut saya tertarik dengan satu nama, Pipiet Senja. Bagi saya nama ini mengandung magis dan puitis. Dari membaca cerpen-cerpennya yang di muat di Buletin Mutiara itulah saya pertama kali mengenalnya.

Diantara beberapa cerpennya yang saya baca, tidak semuanya berbentuk fiksi. Saya sering membaca tulisan Pipiet Senja yang walaupun di tempatkan di kolom fiksi, namun isinya adalah kisah nyata dari kehidupan Pipet Senja sendiri. Hal ini sering membuat saya berlinang airmata, walau tak sempat menangis tersedu-sedu. Sejak itulah perburuan saya untuk bertemu dan berkenalan dengan Pipiet Senja di mulai.

Tapi perjalanan hidup yang berbeda, dan aktifitas seharian yang juga berbeda, perburuan saya itu sering tidak konsisten dan terputus-putus. Ini disebabkan profesi saya yang beralih menjadi tehnisi elektronik dan membuka bengkel di Petojo. Profesi baru yang mulai saya seriusi itu, menyebabkan saya jarang keluar untuk hunting foto. Apalagi kamera yang saya pakai saat itu adalah kamera pinjaman dari kakak, yang kadang-kadang di pakai juga oleh dia untuk acara keluarga atau yang lain-lainnya. Rumah kakak saya yang sudah pindah ke Bekasi, sementara saya tinggal di Petojo juga menjadi kendala. Perburuan saya baru dimulai lagi, saat saya bekerja di sebuah perusahaan minyak asing yang saat itu berkantor di Ratu Plaza. Tapi itu juga perburuan yang pasif, karena saya hanya sekadar membaca-baca tulisannya di majalah remaja atau majalah wanita. Aktifitas kantor juga tidak memungkin saya meneruskan karir saya sebagai fotografer freelance, dan lagi arena sudah merasa sedikit nyaman, maka datanglah penyakit malasnya untuk city hunting.

Sehabis kontrak saya di perusahaan minyak asing itu, saya membuka studio foto di Tomang. Perburuan saya semakin mengendor, namun sesekali dia juga teringat. Apalagi kalau saya pas ke toko buku, saya kadang sengaja masuk ke bagian novel dan sering melihat buku barunya terpajang disana. Tapi saya tidak membelinya, karena alokasi dana untuk itu memang masih terbatas.

Keinginan atau kerinduan untuk kembali mengadakan perburuan adalah sejak saya bergabung di Kompasiana, dan juga aktif di facebook. Saat itu saya belum tahu apakah dia sudah menjadi member Kompasiana atau belum. Uniknya, belakangan baru saya tahu, saya dan Pipiet Senja mendaftar di Kompasiana pada hari yang berurutan, saya terdaftar sebagai member Kompasiana sejak tanggal 19 November 2009 dan Pipiet Senja tanggal 20 November 2009, sebuah kebetulan yang seakan telah direncanakan!. Di di facebook saya berhasil menemukannya dan memintanya jadi teman dan di kabulkan. Namun walaupun sudah berteman, komunikasi dua arah belum terjalin intensif. Karena saya menyadari, dia belum mengenal saya sepenuhnya, karena belum pernah bersua sebelumnya. Jadi saya belum berani menjalin komunikasi intensif karena takut dibilang sok akrab dan sok kenal. Maaf ya Pipiet J

[caption id="attachment_231638" align="aligncenter" width="650" caption="Pertemuan di Wima UNJ Jakarta"]

13565701971187334259
13565701971187334259
[/caption]

Sering memberi komentar di tulisannya di Kompasiana, maupun di facebook, membuat kami semakin saling mengenal. Sayapun tanpa canggung memanggilnya adinda atau adikku, yang kadang di balas oleh Pipiet dengan mas atau akang, dan sejak dia tahu saya berasal dari daerah Minang, beberapa kali dia juga memanggil uda.

Pertemuan kami nampaknya hanya menunggu waktu. Sebenarnya saya bisa menemuinya lebih cepat, karena beberapa kali saya mengetahui jadwal dia mengisi pelatihan menulis atau menjadi nara sumber dalam acara tertentu. Cuma saya tidak terlalu yakin bahwa pertemuan itu akan berlangsung sukses, karena saya juga tahu kesibukannya menangani para penggemarnya yang luar biasa banyaknya itu, pasti tidak akan memberi peluang kepada saya untuk mengobrol panjang dengan dia. Kalau hanya sekadar salaman, say hello dan foto bareng, mungkin nggak masalah. Tapi saya ingin lebih dari itu, saya ingin ngobrol dan bercerita tentang masa-masa pencarian saya diawal tahun 80an, berlanjut hingga ke masa pertemuan ini. Hal itu tidaklah mungkin dengan hanya duduk ngobrol kurang dari 5 menit.

Tuhan rupanya mendengar doa-doa saya, sehingga apa yang saya rindukan selama 30 tahun itu akhirnya tercapai juga. Langkah menuju pertemuan itu berawal dari rencana diadakannya pelatihan menulis untuk guru bertema Teacher Writing Camp, yang digagas oleh Wijaya Kusuma. Guru Labschool, Jakarta. Pelatihan ini merupakan lanjutan dari kegiatan sebelumnya yang berjudul Pelatihan Guru Menulis, yang berlangsung tanggal 25 November 2012 di Wima UNJ Rawamangun, di tempat yang sama, di mana rencana Teacher Writing Camp yang berlangsung dua hari itu direncanakan.

Kedekatan saya dengan Wijaya Kusuma yang lebih familiar dipanggil Omjay itu, tak lain adalah karena kami sama-sama aktif di Komunitas Blogger Bekasi. Selain sama-sama aktif sebagai penulis di Kompasiana. Komunitas BeBlog yang sering mengadakan acara offair berupa training blog untuk para guru-guru di sekitar Bekasi, serta kegiatan lainnya, menyebabkan kami sering bertemu dan terlibat dalam kegiatan yang sama sebagai panitia. Karena sering bersama itulah, maka dalam acara Teacher Writing Camp ini saya juga diajak bergabung bersama beberapa teman lainnya dari Bekasi.

Dari awal perencanaan TWC ini, saya tidak begitu tahu siapa saja yang akan menjadi nara sumber dalam pelatihan yang dijadwalkan dua hari ini. Selain beberapa orang yang pernah disebut sebut dan juga sudah saya kenal. Karena tugas saya adalah pada bagian dokumentasi, maka saya tak terlibat sepenuhnya dalam acara-rapat dan penentuan nara sumber. Saya baru merasa surprise setelah melihat desain spanduk dan backdrop, di mana terulis sebagai salah satu nara sumbernya adalah Pipiet Senja. Untungnya desain tersebut saya lihat hanya dua hari sebelum pelaksanaan acara, sehingga saya tak harus bermimpi lama lagi untuk bertemu dengan sang Idola.

[caption id="attachment_231639" align="aligncenter" width="650" caption="Astry Anjani, seorang mantan BMI Hongkong, yang sudah kembali ke Indonesia, temuan Pipiet Senja yang kini telah menerbitkan bukunya. "]

13565705421073853510
13565705421073853510
[/caption] Hari pertama pelatihan semua berjalan lancar, walau sang penggagas, Omjay, tidak hadir hari itu. Karena pergi ke Padang untuk menjadi narasumber pada seminar yang diadakan di Universitas Bung Hatta, Padang. Rekan Yulef Dian yang diserahi tugas sebagai pemegang tongkat komando, berhasil melaksanakan tugasnya menggantikan Omjay. Karena semua peserta diinapkan di Wisma UNJ, maka kami para panitiapun begitu, semuanya menginap disana. Masalahnya, pelatihan hari kedua dimulai jam 7 pagi, sehingga tidak mungkin bagi kami untuk pulang dan harus kembali ke Wisma UNJ tepat jam 7 pagi pada hari kedua.

Bagi saya sendiri, pelatihan hari kedua itu saya ikuti dengan konsentrasi terpecah. Untungnya, karena pekerjaan saya hanya memotret semua kegiatan, konsentrasi yang terpecah itu tak begitu kentara. Konsentrasi saya terpecah diantara pekerjaan dan menunggu saat yang mendebarkan bertemu dengan Pipiet Senja. Dari informasi teman-teman dikatakan bahwa Pipiet Senja akan datang jam 09.00, dan saya sudah tak sabar menunggu jam bergerak terasa begitu lambat.

Saat pelatihan pertama pagi itu berjalan beberapa menit, mendekati jam 08.00 saya keluar dari ruangan. Saya lalu pergi ke kamar kami di lantai 3 untuk melaksanakan shalat Dhuha. Selesai shalat dan berdoa saya kembali turun ke ruang pelatihan. Begitu turun dari setengah anak tangga, saya melihat seorang wanita seusia saya, duduk di kursi tamu, ditemani oleh rekan Yulef Dian. Saya tak berfikir panjang lagi, lalu mendekat kearah wanita berbaju ungu tua tersebut dan mengulurkan tangan, bersalaman.

“Lebih tigapuluh tahun saya mencari kamu Pipiet, rupanya disini Tuhan mempertemukan kita!” kata saya kepadanya, sambil melepaskan jabatan tangan, lalu kemudian melingkarkan tangan saya kepunggungnya sambil menghadap ke kamera yang sudah di ambil alih oleh rekan Yulef Dian.

[caption id="attachment_231640" align="aligncenter" width="650" caption="Pipiet Senja di tengah para peserta Teacher Writing Camp, Wisma UNJ, Rawamangun"]

13565711931017488338
13565711931017488338
[/caption]

Akrab di dunia maya, membuat kami juga begitu cepat akrab di dunia nyata, maka mengalirlah kisah pencarian saya terhadap dia. Bgaimana kami pernah berselisih jalan waktu singgah ke gedung harian Sinar Harapan di Otista Raya, Cawang. Serta saat saya singgah ke redaksi majalah Gadis di Setia Budi. Walaupun sering berinteraksi di dunia maya seperti di Kompasiana maupun facebook, namun saya tak pernah mengatakan secara langsung bahwa saya tengah memburu dia. Karena saya tidak ingin Pipiet berfikiran yang aneh-aneh terhadap saya, dan lagi tingginya mobilitas Pipiet Senja, membuat saya juga sering kehilangan jejak dia. Apalagi Pipiet kini sudah dapat titel baru yaitu “teroris”, yang suka meneror anak-anak muda maupun dewasa menjadi penulis. Perjalanan Pipiet sebagai teroris inipun tak hanya sebatas didalam negeri. Namun dia melanglang buana kebeberapa penjuru dunia, seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Hongkong, Taiwan maupun daerah Arab sana.

Suatu hal yang tak saya duga disaat kami ngobrol itu adalah, banyaknya Pipiet kenal dengan para seniman yang berasal dari Sumatera Barat, dan diantara mereka itu ada yang menempati tempat khusus dihatinya, yaitu, Rusli Marzuki Saria, atau kami di Harian Haluan Padang, tempat RMS bekerja, lebih mengenalnya dengan panggilan Papa. Orang yang sama yang menarik saya hingga tercebur ke dunia media massa, sekitar bulan September 1970, saat saya berusia 15 tahun!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun