Mohon tunggu...
Djamester A. Simarmata
Djamester A. Simarmata Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah seorang akademisi, penulis. Senang membaca, dengar musik klasik maupun pop, senang berdiskusi. Latar belakang teknik tetapi beralih menjadi ekonom.

Saya adalah seorang akademisi, penulis. Senang membaca, dengar musik klasik maupun pop, senang berdiskusi. Latar belakang teknik tetapi beralih menjadi ekonom.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Banjir, Dampak Salah Urusan Siapa?

25 Maret 2014   18:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:30 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini Kompas cetak datang dengan topik utama: Banjir, dampak salah urus. Tetapi kemudian orang tentu bertanya Salah Urusnya Siapa?

Ulasan yang diangkat terutama dilihat dari aspek fisik, dan ilmu-ilmu yang digunakan ialah hard-sciences. Tetapi dalam masalah banjir, ada aspek lain yang vital, terkait sisi soft-sciences, yang salah satu terkait dengan UU yang akan dapat mengurai, salah siapa!

Dari aspek fisik masih perlu dilengkapi dengan data tentang banjir di DKI, terkait data berapa persen diakibatkan oleh "banjir kiriman", dan berapa yang akibat situasi lokal. Bersamaan dengan itu, bagaimana dampak dari masyarakat yang "indispliner" dalam membuang sampah sembarangan, termasuk mereka yang sekarang menjadi korban banjir. Berarti di sini ada dampak negatif dari perbuatan sendiri, tanpa bermaksu menghukum mereka. Dan di sini kembali, berapa persen dari buangan sampah yang berbuat "jahat" penyebab banjir itu adalah akta penduduk DKI dan berapa persen akibat akta penduduk luar DKI, yang merupakan daerah hulu masalah banjir.

Salah satu dari soft-science yang perlu dalam bahasan ini ialah ilmu ekonomi publik, yang merupakan salah satu bidang ilmu ekonomi tentang kehidupan bersama, kolektif, sehingga berdimensi politik. Ilmu ekonomi publik juga akan berbicara tentang dampak eksternalitas, efek tindakan satu orang pada orang lain seperti masalah limbah, tetapi hal analog dituntut perlakuan sama pada dampak satu lembaga pada lembaga lain seperti dampak dari kebijakan satu masyarakat daerah otonom pada masyarakat otonom lain. Dalam domein privat maka ada UU Lingkungan hidup menuntut ganti rugi, yang pada hakekatnya berlaku juga bagi efek tindakan dari satu unit pemerintahan pada yang unit pemerintahan lain. Dalam kaitan ini berarti orang harus mengacu pada UU 32 thn 2004, UU OTDA.

UU Otda psl 10 membatasi peran pusat pada 6 bidang saja: Luar negeri, pertahanan & kemanan, yustisi, moneter+fiskal, dan agama. UU ini sungguh memiskinkan peran Pusat, dan inilah sumber kerancuan pelaksanaan pemerintahan yang baik di Indonesia. Seyogyanya UU ini sudah harus direvisi, sebab tidak sesuai dengan tuntutan realita dan prinsip bernegara seperti dilihat dari ilmu ekonomi publik. Celah yang dapat digunakan dalam UU Otda ialah pasal 11 ayat (1), yang menyatakan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Dari sisi ilmu ekonomi publik, masalah eksternalitas dapat dijadikan menjadi pintu masuk Pusat di luar dari apa yang digariskan dalam pasal 10.

Ekonomi publik membagi setidak-tidaknya tiga tingkatan urusan kolektif: nasional, provinsial, lokal atau kabupaten. UU Otda menyatakan setiap daerah otonom mempunyai kebebasan dalam wilayahnya sesuai dengan tuntutan rakyat dan selera, tanpa ada pertimbangan pada "apa dampaknya pada daerah tetangga", terutama daerah hilir. Daerah-daerah hulu DKI dapat berbuat semaunya walaupun itu berdampak merusak daerah hilir seperti menyebabkan banjir yang dapat disebabkan oleh masyarakat buang sampah sembarangan yang masuk sungai, membangun semaunya tanpa ada pertimbangan dampaknya pada air limpahan, menebang hutan dan merusak daerah resapan air dan sebagainya. Inilah yang tidak ada dalam UU Otda, dan ini menjadi masalah besar dalam kehidupan bersama antar-daerah di Indonesia.

Dengan tidak terlalu mengacu pada pasal 10 UU Otda, maka masalah yang secara hakiki harus ditangani Pusat ialah eksternalitas dari satu daerah ke daerah lain, bila itu menyangkut dampak antar propinsi atau dampak dari satu Dati II dalam satu propinsi pada proponsi lain. Inilah tanggung jawab Pusat, yang memegang peran meningkatkan kesejahteraan semua warga negara, baik yang tinggal di hulu sungai maupun yang ada di hilir.

Lalu bagaimana dengan banjir DKI? Berdasarkan data fisik sebelumnya yang sebagian masih perlu dikumpulkan besaran eksaknya, tetapi yang dari pengamatan sumir mengatakan bahwa "banjir kiriman" memegang peran besar, maka di sini peran Pusat sungguh vital. Pusat harus melakukan alokasi tugas pada pengelolaan setiap daerah aliran sungai (DAS), dan menjaga agar tidak menimbulkan dampak negatif pada daerah lain. Di sini komandonya adalah presiden, bila departemen teknis tidak melaksanakan dengan baik. Dan bila departemen teknis lalai, presiden harus menjewernya. Dalam konteks ini, Pusat telah gagal memainkan peran vitalnya, dan sebagian ini diakibatkan oleh UU Otda yang tidak tepat, sehingga perlu direvisi.

Liputan Kompas hari ini dari sisi fisik telah hampir lengkap kecuali kekurangan data tadi, tetapi sungguh tidak dapat mengurai, salah urus oleh tingkat pemerintahan mana. Tulisan ini menunjuk pada kekurangan besar dari Pusat!

Djamester Simarmata

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun