Mohon tunggu...
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Mohon Tunggu... -

Guru, penulis lepas, usia 32. Suka gitar, sastra, dan sinema. Buku terbaru: 366 Reflections of Life

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tan Malaka, Komunisme, Pancasila, dan Warisan Pemikirannya

2 Juni 2011   15:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:56 3305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) beberapa tokoh Indonesia diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato. Mereka diminta juga untuk mengemukakan landasan -- yang disebut berkali-kali oleh Soekarno sebagai weltanschauung (dari bahasa Jerman, yang berarti "pandangan hidup") -- yang menjadi dasar bagi negara Indonesia. Soekarno mendapat giliran berpidato tanggal 1 Juni 1945. Setelah menyampaikan pidato yang bersejarah itu, Pancasila terpilih secara aklamasi sebagai dasar negara. Pancasila sebagai pandangan hidup yang mengedepankan perihal Ketuhanan -- dalam berbagai catatan sejarah bangsa Indonesia di masa Orde Baru -- diklaim terdistorsi dengan paham komunis yang terkesan kelewat revolusioner dan anti-Tuhan. Beberapa tahun kemudian, ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang digagas Soekarno karena hendak memberikan ruang bagi PKI dan komunisme menjadi bumerang bagi pemerintahan Soekarno. Puncaknya adalah pemberontakan G30S yang di masa Orde Baru disebutkan didalangi PKI. Film penyiksaan dan pembunuhan yang sadis itu membuat siapa pun akan merinding mendengar nama PKI. Tanggal 1 Oktober pun ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila, yang menjadi tanda bahwa Pancasila telah menang atas "kuasa jahat" PKI dan komunisme. Pemerintahan yang dijalankan oleh Soeharto secara umum berhasil menanamkan suatu ketakutan -- dan bahkan kejijikan -- terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan paham komunisme. Kita yang pernah hidup di masa itu tahu, bahwa segala sesuatu yang berbau dengan komunisme dan PKI haram hukumnya untuk ditelusuri dan dipelajari. Penataran-penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) digelar dalam berbagai institusi. Indoktrinasi yang kaku ini dinilai sebagian kalangan cukup berhasil, walau banyak juga yang menyatakan bahwa sakralitas Pancasila menjadi pudar karenanya. *** Tan Malaka memiliki peran yang cukup besar dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia pengagum berat ajaran-ajaran Marx dan Lenin. Tahun 1921 ia menjadi ketua PKI  menggantikan ketua PKI saat itu, Semaun, yang sedang berada di Moskow. Namun, pada perkembangan selanjutnya, Tan agak berseberangan dengan beberapa tokoh komunis dalam negeri seperti Semaun, Alimin, Darsono, dan Musso.Hal ini bermula pada rapat PKI tanggal 25 Desember 1925 di Prambanan, Semarang, yang memutuskan mengadakan pemberontakan terhadap Belanda. Tan menilai PKI tidak siap melakukan hal itu. Ia meramalkan banyak kegagalan yang bakal dituai PKI dalam aksi itu. Ia menulis sebuah buku Massa Actie (Aksi Massa) untuk dijadikan bahan pembelajaran bersama sebelum sebuah aksi pemberontakan digelar. Buku Massa Actie yang ditulisnya di Singapura tidak sampai sasaran -- belakangan malah dijadikan para nasionalis sebagai bahan pembelajaran melawan imperialisme. PKI tetap melakukan aksi pemberontakan terhadap Belanda di beberapa daerah di Jawa dan Sumatera pada 12 November 1926 sampai 12 Januari 1927. Target pemberontakan mereka banyak yang gagal. Banyak pemimpin PKI yang ditangkap dan dibuang. Namun Tan diakui di dunia internasional. Ia tetap menjadi anggota Komintern (Komunis Internasional),  menjadi pengawas untuk Indonesia, Malaya, Filipina, Thailand, Burma, dan Vietnam. Dengan beberapa kawan ia mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok pada bulan Juni 1927. Tan Malaka yang lahir pada tahun 1897 adalah seorang yang di masa kecilnya mewarisi tradisi Minang: rajin sembahyang, tidur di masjid, dan hapal Qur’an. Nama lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka. "Saya lahir dalam keluarga Islam yang taat. Ibu-bapak saya keduanya taat dan orang (yang) takut kepada Allah dan jalankan sabda Nabi," tulisnya dalam buku Islam dalam Tinjauan Madilog. Ignas Kleden, sosiolog, menyebutnya Tan Malaka "Marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya." Salah satu pandangan Tan tentang agama ada dalam baris-baris kalimat berikut, yang diucapkannya saat berpidato di kongres Komunis Internasional tahun 1922 di Rusia: "Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik: Apakah Anda Muslim -- ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan -- ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!" *** Di hari Pancasila ini, baiklah kita merenungkan bahwa tidak semua orang yang dekat dengan PKI dan komunisme tak memberikan sumbangsih apa pun bagi kemajuan bangsa ini. Tidak perlu menjadi seorang sejarawan dengan disiplin ilmu yang ketat untuk berpikir jernih tentang masa lalu. Mungkin ini sedikit naif. Namun, pertanyaannya: apakah semua orang menjadi pemuka agama ketika menganut sebuah agama? Apakah saya harus menjadi pendeta, dan saudara-saudara saya yang Muslim harus menjadi kiai atau ustad dulu, atau mereka yang Buddha harus menjadi bhiksu dulu, baru kita bisa berpikir jernih tentang agama? Tidak. Sangat disayangkan, di masa kini banyak orang yang masih antipati dengan hal-hal tertentu, seperti komunisme, tanpa pernah berusaha tahu -- paling tidak sekilas -- tentang tentang hal-hal tersebut. Demikian pula dengan Tan Malaka. Tan Malaka jelas-jelas seorang yang tidak anti-Tuhan. Waktu saya membaca karyanya yang berjudul Pandangan Hidup, saya terkesan dengan wawasan yang ia miliki dalam hal filsafat dan agama. Ia menjabarkan berbagai ilmu filsafat dan agama yang telah membentuk kehidupan di dunia ini -- dari teori evolusi Darwin, Islam, Kristen, Yunani, India, dan masih banyak yang lainnya. Pemikir seperti Tan Malaka memang sudah jarang di zaman ini. Sebabnya, zaman sudah lain. Kita lebih banyak berpikir tentang bagaimana bertahan hidup di zaman yang penuh tantangan makin keras akibat arus globalisasi yang makin deras. Kita lebih banyak memikirkan kondisi perut kita sendiri. Tan Malaka, saat ia hidup, sibuk memikirkan seperti apa Indonesia pada nantinya. Ia tidak menikah dan berkeluarga karena hidupnya yang sulit dan berpindah-pindah. Ia menyamar di banyak kesempatan, menjadi buron karena harus menghindar dari intaian mata-mata pemerintah kolonial yang pro-kapitalis. Hidupnya bahkan berakhir tragis, ditembak mati di tanah air dan republik yang ia cita-citakan memiliki kemerdekaan sendiri. Pemikiran-pemikiran Tan Malaka begitu visioner -- ia memandang jauh ke depan. Bahkan sebelum Soekarno membuat risalah berjudul Mencapai Indonesia Merdeka tahun 1933, ia telah menyebut Indonesia sebagai "republik" pada tahun 1925 lewat karyanya berjudul Menuju Republik Indonesia. Dibandingkan dengan berbagai tokoh lain di zamannya, Tan Malaka adalah bapak bangsa yang paling banyak menulis. Sampai kapan dan sejauh mana pemikiran-pemikiran Tan Malaka hidup? Tidak akan pernah ada yang tahu. Secara garis besar, Tan Malaka adalah sosok yang sangat anti-kapitalis, namun bangsa kita, yang berideologi Pancasila ini, kian kapitalis. Bukan hanya kapitalis, Pancasila pun kian terkikis. Sila Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Persatuan, diancam dengan berbagai teror dan toleransi antar umat beragama yang kian renggang. Sila Kerakyatan diinjak-injak oleh wakil-wakil rakyat dan pejabat yang haus jabatan dan kekuasaan. Sila Keadilan terancam dengan korupsi yang menjadi-jadi dan perlakuan yang semena-mena terhadap rakyat kecil. Sudah waktunya warisan para pendiri bangsa di masa lalu kita tilik ulang untuk menata kehidupan di masa kini. Misalnya dalam hal ekonomi. Soekarno mewariskan paham Marhaenisme yang amat dekat dengan sosialisme ala Tan Malaka. Hatta menyampaikan gagasan-gagasan ekonomi kerakyatan yang memberdayakan rakyat sebagai pelaku kegiatan ekonomi. Paling tidak, dengan mempelajari gagasan-gagasan para pendiri bangsa, kita bisa mengetahui ke mana bangsa ini mau dibawa, atau apa-apa saja yang sejak dulu sebenarnya sudah menjadi keunggulan di bangsa ini. Dan, ketika di masa kini kita tidak lagi menemukan suatu cara untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara, sebuah slogan, historia docet, menemukan kebenarannya. Historia docet artinya sejarah mengajar -- mengajar kita untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. (*) Sidoarjo, 1-2 Juni 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun