Mohon tunggu...
Muhammad Shoma
Muhammad Shoma Mohon Tunggu... Jurnalis - Wasis Solopos Angkatan XX

cogito ergo sum.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pramoedya, Kesalahan Pendidikan dan Mental Pegawai Negeri

10 Mei 2016   16:26 Diperbarui: 10 Mei 2016   17:42 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

sumber gambar: https://tabloidguru.wordpress.com/

Oleh: Muhammad Shoma Ma'rifatullah

Dewasa ini kita melihat, tatanan birokrasi yang bobrok, kualitas pegawai yang tak meningkat, revolusi mental yang tak kunjung digalakkan secara massif, oknum gelap yang menyelinap dalam tubuh pegawai, nepotisme dalam perekrutan PNS, korupsi yang merajalela di tubuh pegawai, banyaknya jumlah pegawai yang tak sepadan dengan kualitasnya dan hal buruk lainnya. Hasil dari semua itu satu: membuat Indonesia tak kunjung maju.

Menjadi seorang PNS masih saja menjadi primadona sebagain dari kita dari zaman dahulu hingga zaman modern ini. Banyak dari kita yang ingin berkehidupan dengan pasti. Tua mendapat tunjangan pensiun. Ya, begitulah mimpi hidup sebagian banyak dari para pegawai yang memilih bekerja di zona nyaman. Tak mau banyak ambil risiko. Tetapi ujungnya hidup dengan penuh risiko dan ketidakpastian yang membingungkan.

Membaca Sejarah

Bermula dari maksud pemerintah Hindia Belanda yang bermaksud untuk memantapkan kedudukannya, pemerintah Hindia Belanda yang dikalangan Rakyat lebih dikenal sebagai Gubermen mempunyai alat kekuasaannya, mulai dari pusat sampai daerah-daerah. Yang di atas barang tentu orang Belanda; dan kemudian di provinsi serta di kabupaten-kabupaten kekuasaan dihibahkan kepada para bupati yang lazimnya diberikan secara turun-temurun dengan tidak lupa sering didampingi dengan kontrolir (pejabat bangsa Belanda). Begitu seterusnya, bupati memiliki tangan kekuasaanya sampai di desa-desa, dengan perantara para wedana dan asisten wedana.

Mereka bekerja penuh. Baik pada malam hari, apabila terjadi sesuatu peristiwa misalnya pencurian, kebakaran, kecelakaan, banjir dan lain sebagainya, mereka tentu masuk ke kantor dan bekerja. Rasanya waktu itu tak ada pemisahan garis tegas, mana yang menjadi tugas pamong praja dan polisi.

Kedudukan sosial golongan pegawai atau priyayi oleh masyarakat Jawa  dinilai lebih tinggi ketimbang golongan pedagang (swasta) atau petani, meskipun dalam kenyataan ada seorang dua diantara kedua golongan tadi yang mempunyai harta lebih banyak dengan rumah gedung serta sawahnya yang luas.

Bahkan pada masa itu, apabila seorang Ibu menakut-nakuti anak perempuannya sering mengatakan “Nanti kau saya kawinkan dengan seorang pedagang..” dan si gadis pun merasa takut.

Bukan saja dalam hal pakaian kedua golongan itu berbeda. Kaum priyayi lazimnya selalu berpakaian lengkap, bersih dan teratur. Sedangkan golongan lainnya tidaklah demikian. Juga mengenai keadaan rumah masing-masing golongan nampak ada perbedaan. Golongan priyayi serba ada walaupun  tak selalu mewah, namun cukupah untuk memenuhi syarat kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun