Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Seperti Apa RT/RW yang Ideal untuk Jakarta?

23 Februari 2017   08:57 Diperbarui: 22 Maret 2022   08:19 4659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di masa lalu, Ketua RT dan Ketua RW adalah jabatan yang cukup prestisius di kalangan masyarakat. Perannya sangat vital dalam menjembatani warga dengan pemerintah. RT/RW  diibaratkan sebagai ‘perpanjangan tangan’ pemerintah.  

Hal tersebut bisa dimaklumi jika melihat sejarah cikal bakal RT/RW yaitu tonarigumi (rukun tetangga) dan azazyookai (rukun kampung) yang diterapkan oleh pemerintahan kolonial Jepang. (Suwarno, 1995).

Tonarigumi awalnya didesain untuk kota-kota besar di Jepang pada tahun 1938, dan dua tahun kemudian diberlakukan secara nasional. Di wilayah koloni, tonarigumi dimaksudkan untuk memobilisasi daya dan dana dari warga untuk kepentingan Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, azazyookai dan tonarigumi tidak serta merta dibubarkan, tetapi diadaptasi menjadi bentuk Rukun Kampung dan Rukun Tetangga (RK/RT). Perubahan tersebut diikuti dengan fungsi yang berbeda.

Jika sebelumnya, RK dan RT lebih berfungsi sebagai mobilisator untuk romusha dan pemenuhan berbagai kebutuhan penjajah, maka pada masa revolusi fisik fungsinya lebih sebagai dinamisator (Suwarno, 1995). RK dan RT dimanfaatkan betul oleh rakyat untuk mengurus kepentingannya sendiri di saat pemerintahan belum berjalan efektif.

Dalam perjalanan selanjutnya, RK/RT semakin terikat pada birokrasi pemerintahan, baik di masa pemerintahan demokrasi terpimpin maupun saat rezim orde baru berkuasa. Puncaknya terjadi pada saat dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1983 menetapkan Rukun Tetangga (RT)/Rukun Warga (RW) sebagai kepanjangan birokrasi pemerintahan tanpa mengubah statusnya sebagai lembaga sosial kemasyarakatan.

Niessen (1995) menyebut kebijakan terkait RT dan RW di masa orde baru justru lebih mirip dengan periode pendudukan Jepang sebagai instrumen kontrol, indoktrinasi dan mobilisasi warga.

Lengsernya Soeharto pada 1998 sekaligus mengakhiri sentralisme dalam pemerintahan negara. Tata kelola pemerintahan yang baik menjadi perhatian utama di era reformasi, salah satunya ditandai dengan lebih mengakomodir aktor lain dalam pemerintahan selain pemerintah yaitu swasta dan masyarakat sipil.

Pemerintah lantas menghapus peraturan-peraturan yang tidak relevan lagi dengan paradigma baru otonomi daerah melalui Permendagri Nomor 4 Tahun 1999. Salah satu aturan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku adalah Permendagri Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pembentukan RT dan RW. Meski demikian, setiap daerah diberikan kebebasan untuk mempertahankan RT/RW, mengubah maupun memodifikasi sesuai kebutuhan (Survianto, 2002).

Belakangan, pemerintah mengatur kembali keberadaan RT/RW melalui Permendagri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan. Dalam aturan tersebut dinyatakan RT/RW memiliki tugas membantu pemerintah desa/kelurahan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Tugas tersebut dijabarkan dalam fungsi sebagai berikut :

  •          pendataan kependudukan dan pelayanan administrasi pemerintahan lainnya;
  •          pemeliharaan keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antar warga;
  •          pembuatan gagasan dalam pelaksanaan pembangunan dengan mengembangkan aspirasi swadaya murni masyarakat; dan
  •          penggerak swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat di wilayahnya.

Pemprov DKI Jakarta sendiri menaruh perhatian lebih kepada RT/RW. Jakarta mungkin menjadi daerah pertama yang memberikan uang operasional kepada Ketua RT/RW, tepatnya sejak dikeluarkannya Keputusan Gubernur Nomor 2153 tahun 2003 tentang Pemberian Uang Insentif Operasional kepada Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT-RW) sebagai Bantuan Dana Kegiatan Pengurus RT-RW di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun Anggaran 2003.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun