Mohon tunggu...
Sg Wibowo
Sg Wibowo Mohon Tunggu... -

seperti rumput teki...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yogyakarta Dikepung Hotel

18 Januari 2012   06:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:44 1358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1326868763680008652

BERTUMBUHAN seperti cendawan musim hujan, hotel-hotel besar-menengah banyak dibangun di Yogyakarta. Dapat dihitung mulai dari yang di tengah Marlioboro seperti All Seasons Hotel dan Whizz Hotel di Jalan Dagen, serta Edotel di Kemetiran Kidul. Lalu beranjak ke pinggir di wilayah sekitar Tugu ada Amaris di Jalan Diponegoro, Hotel Harris dan Hotel Tentrem di Jalan AM Sangaji. Di Jalan Solo juga telah berdiri Grand Aston Hotel, di Jalan Adisucipto juga sedang dibangun hotel baru, begitu pula di Jalan Gejayan depan Pasar Demangan, serta Hotel Jambu Kluwuk di Jalan Jambu dan Wisma Kirana yang sedang dibangun di Jalan Argolubang, Baciro. Belum lagi kehadiran kembaliAmbarukmo Palace Hotel.

Selain hotel-hotel dengan kapasitas besar juga masih banyak hotel-hotel kecil baru yang sedang dibangun. Pertumbuhan hotel ini bisa jadi merupakan sebuah pertanda baik bahwa perekonomian Yogyakarta sedang tumbuh berkembang. Pasar wisatawan untuk hunian kamar hotel semakin meningkat. Dengan kata lain bagi penganut paham ekonomi pembangunan, ini akan melahirkan efek berganda bagi ekonomi masyarakat yaitu meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat Yogyakarta.

Menghitung Persoalan

Dengan pikiran positif pertumbuhan jumlah hotel akan memberikan perbaikan dalam bidang ekonomi bagi masyarakat Yogyakarta. Setidaknya pada musim liburan atau akhir tahun yang penuh dengan pertemuan instansi pemerintah, geliat ekonomi di sektor jasa, konsumsi, dan wisata akan hidup. Namun tanpa perencanaan yang matang banyaknya jumlah hotel yang berdiri juga membawa dampak yang serius bagi masyarakat Yogyakarta.

Dampak pertama adalah jumlah orang yang bertambah pada musim liburan juga akan menambah jumlah unit transportasi yang berlalu lalang di jalan raya. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DIY mencatat ada 215.514 orang wisatawan yang menginap di hotel pada bulan November 2011. Harian Tribun Jogja mencatat setidaknya ada 8.900 pertambahan kendaraan bermotor setiap bulannya di Yogyakarta, terdiri dari 8.000 unit sepeda motor dan 900 unit mobil (Tribun Jogja, 10 Januari 2012). Sementara jaringan jalan di Kota Yogyakarta hanya 462.672 km.

Perbandingan kendaraan dan jaringan jalan tersebut dapat dikatakan sebagai penyebab kemacetan yang terjadi setiap akhir pekan atau libur panjang di Yogyakarta. Kemacetan tidak hanya terjadi di ruas-ruas jalan utama tetapi juga sudah mulai merambah jalan-jalan kecil. Secara serius hal ini menimbulkan persoalan bagi warga Yogyakarta, dan secara efektif menghilangkan kesan nyaman Kota Yogyakarta yang selama ini menjadi merk dagang ‘Yogyakarta Berhati Nyaman’.

Dampak kedua adalah semakin berkurangnya ruang hijau terbuka. Komitmen Pemerintah Kota Yogyakarta untuk memperluas ruang hijau terbuka sampai 30 persen pada tahun 2011 hampir dikatakan mustahil. Walaupun Badan Lingkungan Hidup (BLH) Pemkot Yogyakarta sudah menganggarkan untuk menambah ruang hijau terbuka dari 17 persen menjadi 20 persen, tetapi ruang terbuka hijau yang diciptakan lebih pada ruang hijau terbuka binaan. Dengan demikian ruang hijau yang ada bukanlah taman sebagai ruang publik. Silahkan mencari taman dengan kapasitas memadai sebagai ruang hijau terbuka sekaligus mudah diakses oleh publik di Yogyakarta. Secara pasti dapat dikatakan tidak ada.

Dampak lainnya dalam jangka pendek yang dirasakan akibat konversi lahan terbuka menjadi gedung hotel atau pusat pertokoan adalah suhu udara yang makin panas, dan ancaman banjir sekaligus. Berkurangnya daerah resapan air ditambah dengan saluran air yang jarang dipelihara menambah ancaman banjir di Yogyakarta semakin nyata. Ancaman panas dan banjir yang silih berganti juga akan menghentikan kenyamanan Yogyakarta. Dengan panas dan banjir lantas apa bedanya Yogyakarta dengan kota-kota besar lainnya.

Jangka panjangnya, berkurangnya lahan pertanian juga akan mengurangi produksi pertanian di Yogyakarta. Tetapi ini bukan masalah besar, karena sejak lama Yogyakarta tidak pernah bersandar dan peduli pada sektor pertanian. Perekonomian juga hanya disandarkan sepenuhnya pada industri pariwisata dan jasa, bukan sektor industri riil yang besar. Tetapi bisa dibayangkan jika semua industri pariwisata limbung secara praktis tidak ada sandaran bagi perekonomian Yogyakarta lagi.

Selain dampak-dampak tersebut, rupanya kemunculan hotel-hotel besar juga menimbulkan persoalan bagi masyarakat di sekitar hotel berdiri. Salah satunya seperti yang terjadi pada masyarakat di Cokrodiningratan, Kelurahan Cokrokusuman tempat Hotel Harris berdiri. Surat Ijin Gangguan saja belum ada Hotel Harris sudah berdiri. Bahkan sampai sekarang Surat Persetujuan dari tetangga sebagai salah satu syarat untuk mengajukan Surat Ijin Gangguan pun belum ada. Persoalan-persoalan semacam ini jika tidak ditangani secara serius oleh pemerintah akan menimbulkan kerentanan bagi kerukunan masyarakat di Yogyakarta.

Upaya menangguk untung dari wisatawan atau pajak hotel tentunya harus dengan pertimbangan yang matang terkait hal-hal di atas. Jika tidak maka ladang subur pendapatan asli daerah (PAD) Yogyakarta akan hilang begitu saja. Ingat merek dagang Yogyakarta adalah ‘Nyaman’. []

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun