Mohon tunggu...
Siti Fatimah
Siti Fatimah Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menikmati proses

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Remaja Kita yang "Krocojiwa"

26 Mei 2017   17:16 Diperbarui: 26 Mei 2017   17:36 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.google.com/imgres?imgurl=http%3A%2F%2F2.bp.blogspot.com%2F-FAPVY6zac-I%2FVJgo3HhbyyI%2FAAAAAAAAAT4%2Fy1fprtrSLPI%2Fs1600%2Fbeda%252Banak%252Bkristen%252Bdan%252Bnon%252Bkristen%252B(1).jpg&imgrefurl=http%3A%2F%2Fnafirikasih.blogspot.com%2F2014%2F12%2Fbeda.html&docid=s8TXkCkh8y6_WM&tbnid=zhwvicCvw5rjoM%3A&vet=10ahUKEwiG5cffqY3UAhXJwI8KHbSlCdoQMwgoKAMwAw..i&w=485&h=314&client=firefox-b-ab&bih=669&biw=1366&q=ilustrasi%20remaja&ved=0ahUKEwiG5cffqY3UAhXJwI8KHbSlCdoQMwgoKAMwAw&iact=mrc&uact=8

Review buku "Nuansa-nuansa Komunikasi"

Kecenderungan remaja untuk “memuja” kesenangan memang semakin transparan belakangan ini, seperti yang diisyaratkan fenomena-fenomena seperti meningkatnya penggunaan ekstasi dan yang sejenisnya, konsumsi minuman keras, maraknya pergaulan bebas, dan ramainya kehidupan diskotik. Apa yang menimpa remaja kita mirip dengan yang pernah dan kini dialami remaja di negara-negara maju, Amerika Serikat khususnya.

Remaja kita sedang gelisah mencari tuntunan hidup, namun mereka tidak tahu dimana harus mendapatkannya. Mereka malah kesasar dan linglung. Bila kita tanya mereka mengapa mereka melakukan semua semua itu, mereka menjawab: untuk memperoleh kesenangan dan kebahagiaan. Mereka tidak sadar bahwa kebahagiaan yang mereka nikmati itu bersifat semu. Mereka agaknya tidak menemukan kebahagiaan sejati dalam hidup mereka yang ditandai dengan kedamaian hati. Hati mereka terasa hampa dan terasing. Secara lahiriah, mereka tampak senang (dengan tertawa, berpesta, dan berhura-hura). Namun jauh di lubuk hati, mereka menjerit. Dan mereka mencoba menutupi kehampaan batin mereka dengan menggunakan narkotika, seks, alkohol dan hiburan yang lain dan dangkal.

Faktor-faktor penyebab

            Mengapa remaja kita terjebak dalam hedonisme? Tidak ada penyebab tunggal yang menciptakan kecenderungan itu. Kita bisa menyebutnya dalam beberapa sumber: film-film (seri) TV dan telenovela yang sering menawarkan gaya hidup permisif, yang kemudian ditiru remaja kita yang tengah mencari identitas diri; struktur masyarakat yang timpang: kesenjangan sosial, sulitnya memperoleh pendidikan yang bermutu dan murah, sulitnya mencari kerja, dan mencari nafkah; kurangnya pendidikan agama dalam keluarga; langkanya pemimpin yang bisa dijadikan panutan; dan yang mungkin kurang disadari adalah sifat bawaan mereka (dan kita semua) yang – meminjam istilah Dr. Sudjoko – kroncojiwa, yakni sifat rendah diri dihadapan bangsa-bangsa Barat yang kita kagumi dan dan gemar meniru sikap, perilaku dan penampilan mereka. Barangkali, peniruan membabi buta itu kita lakukan karena kita adalah bangsa yang pernah dijajah Barat, sehingga akibatnya bangsa kita rendah diri, dan kita pun, baik sadar atau tidak, mewarisi sifat tersebut.

            Agaknya benar juga sinyalemen Ibnu Khaldun, sosiolog muslim abad ke-14 yang menulis buku Muqaddimahyang monumental itu bahwa, “Orang-orang taklukan selalu meniru penakluknya, baik dalam pakaian, perhiasan, kepercayaan, dan adat istiadat lainnya. Hal ini disebabkan adanya keinginan untuk menyamai mereka yang telah mengalahkan dan menaklukkannya. Orang-orang taklukan menghargai para penakluknya secara berlebihan. Kalau keyakinan ini bertahan lama, hal itu akan membekas dalam dan lama dan akan membawa pada peniruan semua ciri penakluknya. Mereka ini yakin bahwa peniruan atas segala yang dilakukan sang penakluk akan menghapuskan segala penyebab kekalahannya.”

            Peniruan terhadap Barat ini dapat kita lacak, mulai dari penggunaan nama pribadi (yang berbabu Barat); berbahasa keinggris-inggrisan, meskipun keliru; cara makan dan jenis makanan yang disantap; perayaan hari kasih sayang Valentine (bukannya hari Pronocitro dan Roromendut yang telah melegenda di Jawa); hingga ke pakaian (yang pria memakai anting sebelah, dan yang wanita berpakaian yang mengumbar aurat, misalnya paha, dada, atau pusarnya). Karena telah berjalan begitu lama, peniruan itu kita anggap sudah lumrah. Bahkan kita tidak sempat bertanya pada diri sendiri, mengapa kita melakukan semua itu. Orang pun mungkin berkilah, “tidak relevan lagi membedakan Barat dan Timur pada zaman global ini, karena itu tidak perlu mempermasahkan peniruan Timur oleh Barat”.

            Masalahnya bukan terletak pada peniruan itu sendiri, melainkan pada apa yang ditiru. Seperti dikatakan seorang muslimah Amerika, Karima Omar Kamouneh (1990:24) “Islam menghargai keunikan orang-orang yang berlainan; ia tidak memaksa, bahkan tidak mengharapkan kita untuk sama semua. Tanpa adanya perbedaan budaya, hidup ini akan membosankan. Budaya adalah bumbu masakan, bukan daging dan kentangnya. Budaya hanyalah suatu tanda, tidak lebih, tidak kurang. Budaya adalah suatu dekorasi. Kita dapat membawanya serta. Namun, kita harus melewati saringan terlebih dahulu, menyimpan yang baik dan membuang apapun yang tidak islami di dalamnya.” Sayangnya yang kita tiru dari Barat adalah hal-hal yang cetek, bahkan sering negatif, bukan sifat dan perilaku positif mereka seperti kejujuan, kedisiplinan (dalam belajar dan bekerja), penghargaan terhadap waktu, dan kebersihan mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun