Mohon tunggu...
Setyo Gunawan
Setyo Gunawan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konsistensi Kemdikbud Mengawal Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016

20 Oktober 2016   12:07 Diperbarui: 20 Oktober 2016   12:30 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun 2006 pemerintah melalui kemdikbud mulai meluncurkan mega proyek pengadaan BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK atau yang kita kenal dengan BSE. Penerbit dan penulis berbondong bondong antusias menilakan buku TEKS dengan harapan bukunya mendapat predikat LAYAK unuk digunakan sebagai buku ajar. Miliaran rupiah dana digelontorkan pemerintah untuk membeli HAK CIPTA dari penerbit dan penulis selama 15 tahun. Mega proyek buku berkualitas dan murah untuk mengiringi berjalannya kurikulum KTSP 2006 dirasakan manfaatnya untuk mengurangi "beban" orang tua untuk membeli buku untuk anak-anaknya. Seiiring perubahan pemerintahan dan dinamika politik, dan pengambil kebijakan yang ingin meninggalkan "sejarah" tentunya, digagaslah kurikulum 2013 dengan ekspektasi yang luar biasa. 

Tahun 2014 Kurikulum prematurpun diujikan di beberapa sekolah sebagai pilot project untuk mengukut tingkat keberhasilan kurikulum tersebut. Gaungpun bersambut. Beberapa provinsi menyatakan siap mengaplikasikan KURTILAS dengan Pendekatan Scientifik yang "Memaksa" para guru harus lebih mengembangkan wawasan agar dapat menyelaraskan metodologi yang seperti kurikulum inginkan. DAN....Pengadaan buku berbasis Kurikulum 2013 pun dimulai. 

Pemerintah memanggil beberapa penulis yang buku KTSP nya dinyatakan lulus untuk menulis, merevisi bahan ajar yang disiapkan pemerintah untuk diCREATE menjadi BUKU AJAR berupa BUKU SISWA dan BUKU GURU untuk mapel mapel wajib baik untuk jenjang SD, SMP dan SMA. Buku teks yang dilabeli 'Dokumen Hidup" yang dapat direvisi setiap saat bagaikan Obat Pamungkas untuk kemajuan pendidikan dengan menggabungkan 4 , Ketuhanan, Sosial, kognitif, dan motorik. Tentu ekspektasi yang luar biasa. Percetakanpun kebagian rejeki dengan mencetak buku buku pemerintah walaupun hasil yang didapat tidak ada apa apanya jika dibandingkan mencetak dan menjual buku terbitan sendiri.

Awalnya semua kisah Kurikulum 2013 akan berjalan seperti harapan, namun siapa sangka, Pada tanggal 5 Desember 2014, Mendikbud Anies Baswedan mengeluarkan Surat Edaran Nomor : 179342/MPK/KR/2014 Perihal Pelaksanaan Kurikulum 2013 yang ditujukan kepada Kepala Sekolah di seluruh Indonesia. Inti dari surat Edaran tersebut adalah Menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang baru menerapkan satu semester yaitu sejak Tahun Pelajaran 2014/2015 dan kembali menggunakan Kurikulum 2006 mulai semester genap Tahun Pelajaran 2014/2015..  Di sinilah kekacauan bermula.

Dunia pendidikan dilanda kehebohan perihal maju atau mundur dalam mengimplementasikan KURTILAS yang telah berjalan satu semester. Belum lagi tumpang tindihnya materi yang harus kembali disampaikan karena kompetnsi dasar kedua kurikulum yang sangat berlainan. 

Dunia penerbitan pun terjepit dilema.... mengajukan pailit atau berusaha survive. Debut Buku Teks Kurikulum 2013 dan LKS yang telah dicetak untuk persiapan Tahun ajaran baru pun teronggok memenuhi gudang, sungguh tragis. Bagi penerbit yang kehabisan Modal akhirnya mengibarkan bendera putih. Bagi penerbit yang bermodal berusaha bangkit dengan memanfaatkan momentum pendek, "KEMBALI MENCETAK BUKU DAN LKS KTSP"! dan Inilah Ujian bagi Kemdikbud.

BUKU BSE LOW COST LENYAP BERGANTI BUKU PENERBIT HIGH COST

Tidak dipungkiri, banyak sekolah saat ini menggunakan buku KTSP dari penerbit yang notabene TIDAK DIUJI KELAYAKAN  sebagai bahan ajar oleh pemerintah. sedangkan pemerintah melalui PERMENDIKBUD No 8 Tahun 2016 jelas jelas mengatakan bahwa buku ajar harus melalui Uji Kelayakan seperti Buku BSE dan Buku Buku Kurtilas untuk Peminatan. Namun tidak adanya kontrol dari pemerintah dan tidak konsistennya menegakkan peraturan, orang tua siswa pun yang kembali mencicipi pendidikan mahal. Bagaimana jika permasalah besar belum terselesaikan, malah mendikbud mengurus LKS? Mengapa harus LKS? Jika masalah harga, 20 buku LKS itu hanya setara 1 Buku Teks penerbit? Mengapa LKS menjadi beban? Jika harga LKS menjadi tinggi, jangan penerbit yang disalahkan dan diberangus. tapi berapa rabat yang diminta sekolah?? itu masalahnya.

Melalui tulisan ini, saya tidak maksud memojokkan satu pihak, objektif. Kita berharap pemerintah melalui kemdikbud kembali berkonsisten menggunakan Buku yang sudah diuji kelayakan sebagai bahan ajar. Berapa milliar dana rakyat yang sudah dikeluarkan? Apakah buku sebaik BSE hanya akan menghiasi gudang dan perpustakaan? Bukankah Buku BSE yang seharusnya menjadi Bahan Ajar, bukan Buku Pengayaan!.... yang kedua, PERMENDIKBUD No 8 Tahun 2016 harus ditinjau ulang. Jangan Sampai Penerbit LKS dijadikan kambing hitam. Jika memang LKS harus distandarisasi, itu tentu lebih manusiawi daripada diHAPUSKAN. 

Ingat, pemerintah berusaha memajukan perekonomian negeri. dan Penerbit adalah salah satu sendi perekonomian di dalamnya

Salam terindah untuk Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru. Semoga makin menyejukkan dengan kebijakannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun