Mohon tunggu...
Sentul kenyut
Sentul kenyut Mohon Tunggu... Penulis - solikolilolilo
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

aquarius

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bersuara namun Tidak Beradab (Rebublik Twitter)

2 November 2019   11:21 Diperbarui: 2 November 2019   11:58 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suara rakyat adalah suara tuhan mungkin harus ditinggalkan karena suara rakyat tidak pernah sama dengan suara tuhan. di era milenial dan digital isara rakyat adalah suara media sosial (medsos). Dan sebagai makhluk yang menggunakan medsos, mengendalikan medsos dan juga dikendalikan oleh medsos, kita telah menjelma menjadi manusia era digital atau meminjam istilah F. Budi Hardiman sebagai homo digitalis.
Setuju tidak setuju, sepakat tidak sepakat, penggunaan medsos dianggap sebagai kehadiran sebuah era baru yang menghadirkan suara rakyat secara lebih luas. Dalam laporan Tetra Pak Index 2017 mencatat sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia, 40% penggila medsos. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, dimana di 2016 pengguna internet berkisar 51 % atau sekitar 45 juta pengguna, diikuti dengan pertumbuhan sebesar 34 % pengguna aktif medsos.

Harus diakui bahwa di era teknologi informasi seperti saat ini, penyaluran aspirasi rakyat tidak perlu ribet dengan melakukan aksi/demo di jalanan yang berujung pada bentrok dengan aparat keamanan, tetapi dapat melalui medsos (Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain). Sebagai contoh penggunaan medsos sejak kemunculan kasus 'Koin untuk Prita' atau 'Cicak vs Buaya', telah membuktikan bahwa penggunaan medsos cukup efektif dalam penggalangan suara masyarakat, atau penyebarluasan simpati kepada yang tidak didengar tanpa perlu turun berteriak-teriak di jalanan sambil membakar ban.

Sadar atau tidak, suara rakyat melalui media sosial telah menjadi sebuah kekuatan baru dalam peradaban manusia saat ini. Dalam konteks politik misalnya, penggunaan medsos untuk kampanye politik telah menjadi hal lumrah dan tidak bisa dihindarkan. Para aktor politik tentu sudah menyadari bahwa medsos sudah menjadi arus utama informasi generasi milenial. Dan melalui medsos, para aktor politik menggalang kekuatannya.
Antara  yang beradab dan yang biadab, Medsos  telah membuka keran akses yang begitu luas bagi penggunanya. Siapapun bisa menjadi content writer di medsos sehingga medsos bebas diisi konten positif maupun negatif. Tidak ada batasan terhadap akses media sosial. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi penggunanya untuk mengisinya dengan hal-hal yang bermutu atau tidak.

Dalam ruang medsos yang penuh kebebasan, tanpa status sosial, tanpa ada pembatasan antara yang publik dan privat, setiap orang bebas menyampaikan pendapatnya baik yang rasional sampai dengan yang sekedar mencari sensasi bahkan irasional. Dan akibat tanpa ada batasan, suara rakyat di medsos dapat menjadi suara yang beradab dan suara  yang tidak beradab.

Kehadiran media sosial memang membawa perubahan, khususnya bagi kelompok masyarakat yang jarang memiliki ruang untuk menyuarakan pendapatnya. Suara rakyat di medsos mewakili suara masyarakat dari berbagai jenis golongan seperti buruh, petani dan masih banyak lagi. Suara rakyat di medsos selain mewakili golongan-golongan masyarakatnya, sekaligus mewakili kepentingan dari golongan-golongan tersebut.

Kita tentu belum lupa tentang aksi "koin keadilan" dalam kasus Prita Mulyasari di medsos  Aku tidak ingin berkaca pada hujan meskipun tarian dukaku meliuk gemulai seirama tetesnya. Dan tak hendak aku menaruh angan pada sang bulan dari punguk realita membentang walau sepatutnya mimpi sesungguhnya semestinya setinggi gemintang. Karena kenyataannya kita hanyalah partikel berpendar pada ruang pada jarak ternyata ada sebagian kecil dari teman saya yang tidak suka jika masalah ideologi dibahas diberanda facebook.

Saya kira awalnya semua bisa menerima dan mengambil sisi-sisi yang mereka perlu tanpa harus komplaining seperti Saya yang bisa menerima methode ideologi lain sebagai referensi.

Baiklah, Saya tidak akan memaksakan sebuah pertemanan jika itu  dinilai 'Sara' dalam konsep berkeyakinan menurut Anda. Dan silahkan untuk Unfriend dengan Saya.

Tapi, jika Anda mampu menerima sebagaimana Saya menerima semua bentuk perbedaan, ok lah. Kita lanjut dengan tanpa mendiskreditkan ideologi masing-masing dan menjadikannya sebagai bahan perbandingan saja. Ketika seseorang sudah terlalu damai dengan sebuah tabir ataupun kebohongannya, nasehat baik dalam bentuk apapun tidak akan terdengar olehnya, sebab mereka sudah terlalu dalam tenggelam oleh kedamaian palsunya sendiri, namun kita tak perlu berbelas kasih kepada mereka, jika berbagai nasehat saja sudah tidak lagi mempan terhadapnya apalagi jika kita sekedar merasa iba, yang namanya sebuah tabir semakin mereka pintar menyembunyikannya maka semakin busuk baunya, kita hanya perlu menunggu waktunya tiba, serta mendo'akan mereka agar mentalnya kuat menghadapi masalah yang berbuntut panjang nan bercabang apabila tabir tersebut telah terbongkar

Penggunaan medsos bisa membuat seseorang lebih beradab ataupun menghambat peradaban itu sendiri. Melalui medsos kini orang mudah menyampaikan aspirasinya dalam menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah seperti melalui petisi yang ada  Change.Org   dimana seseorang  tanpa harus melakukan aksi yang dapat merugikan diri sendiri atau kepentingan orang lain hanya dengan membuat opini disana.

Melalui medsos   juga, kini orang dengan mudah membaca dan menulis kata-kata agresif, makian kasar, dan kalimat benci yang brutal di medsos. Menurut F. Budi Hardiman, sebagai homo digitalis, bisa mendapati diri dalam dunia baru tanpa negara, digital state of nature. Dalam keadaan itu, adil dan tidak adil, tidak dapat dikenali. Seseorang menjadi hakim atau tuhan atas yang lain. Kecanggihan gawai membuat penggunanya tidak cepat menyadari telah ikut menghasilkan brutalitas melalui pesan-pesannya. Homo digitalis menjelma menjadi homo brutalis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun