Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Permainan Gasing dan Layangan Masih Eksis!

29 Juli 2017   06:59 Diperbarui: 1 Agustus 2017   13:49 1566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surganya main layangan di Pulutan Salatiga (Dokpri)

Kata orang, manusia kelahiran tahun 50-an hingga 70-an merupakan generasi paling beruntung. Sebabnya, generasi ini seakan menjadi saksi langsung perkembangan peradaban manusia dalam tiga zaman; yaitu batu-kayu (pramodern), zaman  modern (industri) dan pasca modern yang ditandai penggunaan teknologi super canggih.

Ungkapan di atas tidaklah salah. Saya yang lahir di pertengahan 1960-an masih mengalami sisa-sisa zaman batu-kayu. Kakak dari ayah saya masih membuat api dengan cara memantik batu. Juga, dengan menggunakan kayu kering, yang dibor untuk menghasilkan percik api.  

Demikian pula permainan-permainan nasa kanak-kanak. Mulai dari kuda kayu, kelereng dari buah gewang atau sejenis batuan hitam alot yang diasah hingga berbentuk bundar sebesar kelereng,  main perang-perangan menggunakan senjata air yang terbuat dari batang  pohon Jarak, juga gasing dan lainnya. Permainan-permainan itu dibuat sendiri karena semua bahannya dari alam. Meski dibuat sendiri namun selalu dimainkan dalam kelompok. Anti individualis.

Salah satu dari permainan kanak-kanak 'era pra sejarah' ini adalah gasing. Entah bagaimana kisahnya, jenis permainan ini dilakukan oleh banyak kalangan dari berbagai etnis.  Salah satunya adalah di Rote.

Ketika pertengahan Juni 2017 berlibur di kampung halaman saya di Talae, Rote Selatan, secara tak sengaja bertemu kolompok anak-anak asyik dan gaduh memainkan gasing. Dari satu perkampungan ke perkampungan lainnya selalu menemukan kelompok anak larut dalam permainan yang mengasyikan ini.

Seseorang melepaskan gasingnya berpusingan di lantai tanah, lalu anak-anak lainnya secara keroyokan melempar gasing mereka ke arah gasing yang sedang berputar itu. Bila mengenainya, itu menjadi satu poin. Namun, yang lebih menentukan kemenangan adalah dari setidaknya dua gasing yang berbenturan itu dilihat mana paling lama bertahan dalam berpusingan.

Permainan akan menjadi makin ramai dan gaduh, namun tetap akrab, bila sebuah gasing tetap bertahan meski lemparan beberapa gasing secara bertubi-tubi mengenainya. Ada yang diam-diam mencari batu yang besar, tentu secara sembunyi-sembunyi lalu tiba-tiba melemparkannya ke gasing 'jawara' itu. Ada pula yang mendekati gasing jawara itu lalu menendangnya hingga jatuh dan berhenti berputar.  Pertengkaran dan perdebatan tak terhindarkan. Lalu ramai dan gaduh.

Namun, anehnya tidak ada pinalti untuk pelanggar 'aturan main' itu. Saya baru sadar kalau sejak kanak-kanak saya memainkan permainan gasing sudah begitu kebiasaannya. Meski demikian, saya bertanya, "kenapa si pelanggar tidak diberi hukuman?" Mereka balik bertanya, "kenapa dihukum?  Kalau diberi hukuman, lalu dia berhenti bermain malahan tidak ramai, tidak asyik lagi." 

Pikir saya, nampaknya memang begitulah seharusnya hidup. Selalu kita bertemu dengan orang-orang curang, pecundang di sekitar kita. Namun, haruskah kita berhenti 'bermain' dengan mereka? Seharusnya tidak, bukan? Hanya, tentu saja kita tetap harus hati-hati. Sebab, berbeda antara permainan gasing, atau permainan pada umumnya, dengan 'permainan kehidupan." Permainan kanak-kanak justru ditujukan untuk membangun pertemanan, menciptakan kebersamaan, kenikmatan dan keasyikan bersama.  Permainan menghadirkan kegembiraan masa kanak-kanak.  Sementara permainan kehidupan dapat membawa celaka dan kerugian bila salah disikapi.

Saya pun mencoba ikut bermain gasing. Tentu dengan meminjam, bukan membuatnya sendiri. Saya kira, kalau pun mau, saya tidak lagi terampil membuatnya. Setahu saya, dulu paling-paling butuh 30 menit untuk membuat sebuah gasing. Saya ternyata masih bisa memainkannya. Menggulung tali memutari bodi (badan) gasing, lalu melepaskannya sahingga berputar di medan permainan. Segera disambar dengan lemparan oleh anak-anak, mengenainya lalu putarannya perlahan melamban, oleng, kemudian jatuh tak berdaya.

Seorang anak lain maju melepaskan gasingnya, berputar dan saya bersama anak-anak lain melemparkan gasing kami. Rupanya saya tidak selincah dan secermat masa kanak-kanak lagi. Faktor U (alias usia) ikut berperan dalam hal ini. Beberapa kali lemparan tidak juga mengenai sasaran, saya pun menyerah. Tetapi, sungguh terasa tersedot kembali lewat terowongan waktu ke masah kanak-kanak. Sejenak, namun mambahagiakan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun