Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Nabi Isa AS

12 Juni 2017   10:52 Diperbarui: 12 Juni 2017   10:55 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: www.infoyunik.com

Saya kadang-kadang sering membayangkan suatu momen dimana Nabi Isa as. nanti turun ke dunia. Apakah beliau akan mengambil pendidikan doktoral atau bahkan mendapat gelar profesor ya?

Tapi, barangkali Nabi Isa as. tak akan mau berepot-repot melakukan itu. Sebagai Nabi, pastinya dia tak mau masuk dunia sekolah dan diajari oleh manusia biasa. Pasti beliau tak level karena sejak dari awal memang sudah mendapat didikan dari Tuhan. Jadi, nama beliau tetaplah Isa ibn Maryam, dan tak akan menjadi Prof. Dr. Isa ibn Maryam, S.Ag., M.A..

Sebenarnya, kalau kita bicara soal didikan Tuhan terhadap manusia, hal itu pun bisa saja terjadi pada diri kita. Tak ada yang aneh dan tak usah dibikin heran kalau Tuhan menghendaki seseorang untuk menjadi pintar, cerdas, bijak tanpa perantara guru. Memang ini juga soal kemauan. Dan kalau memang ini soal kemauan semata, apa kemudian kita akan mengabaikan peran Tuhan? Orang boleh saja mengatakan "ah, dia bisa begitu kan karena kemauan, semangat belajar, dan latihan terus menerus." Itu benar. Tapi, seseorang tak akan melewati tahap-tahap itu tanpa petunjuk dari Tuhan. Jadi, bisa dikatakan, bahwa Tuhan sangat berperan aktif untuk menunjukkan apa-apa saja yang mesti dilalui seseorang. Sayangnya mungkin kita seringkali mengklaim bahwa proses belajar kita hingga berhasil tersebut merupakan usaha kita semata. Itu tidak mungkin. Bukannya dalam proses tadi manusia mesti melihat, mendengarkan, dan memahami sesuatu sebagai dialektika maupun kognisi pengetahuan-pengetahuannya? Lalu, siapa yang menuntun seseorang untuk melihat ini, mendengarkan itu, atau membaca ini-itu? Tidak. Bahwa kita memang berada pada suatu ketetapan-ketetapan yang itu diluar kekuasaan kita. Dengan kata lain, kita telah diatur untuk menjadi apa dan kemana akan mengarah.

Dan Nabi Isa as. tak membutuhkan siapapun manusia untuk mendidiknya. Kalau kita saat ini sudah sedemikian maju menggunakan kosakata-kosakata yang memusingkan, bukannya tak mungkin kalau Nabi Isa as. sudah tahu arti dari kosakata-kosakata tadi walaupun pada jamannya dulu kata-kata tersebut belum ada.

Dari ihwal di atas, memang nampaknya kita harus semakin menyadari bahwa diri kita berada dalam bimbinganNya. Lagipula, tak ada yang bisa menjamin orang-orang sekolahan di sekitar kita lebih bijak, lebih pintar daripada orang-orang yang tak pernah merasakan duduk mendengarkan dosen ceramah di kampus. Tak ada suatu ketetapan demikian. Lalu, apakah ada suatu cara untuk melampaui pengetahuan-pengetahuan sekolahan? Tentu ada, yaitu dengan langsung memintanya pada Tuhan sebagai Dzat Yang Memiliki segala ilmu.

Tapi, ketika saya mengatakan demikian, teman saya yang sekolahnya cukup tinggi malah protes. Dia bilang bahwa ilmu pengetahuan itu penting, tapi jangan hanya sekedar berdoa saja. Ya, pastinya itu tak salah. Orang boleh saja berdoa untuk meminta Tuhan untuk mengajarkannya. Tapi, untuk mendekatkan diri dan menyelami ilmuNya tidaklah sekedar dengan berdoa. Bagaimana caranya? Jawabnya ada pada agama sebagai buku panduan untuk itu. Tapi, di sini pengetahuan yang didapat tadi pun sebenarnya bukan orientasi utama. Dalam arti, orientasi utamanya tak lain dan tak bukan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan, mematuhiNya, maupun mencintaiNya. Jadi soal pengetahuan-pengetahuan yang didapat, hal demikian bisa dikatakan hanya sebagai bonus. Pencapaian-pencapaian tersebut pun bahkan tak disadari, disebabkan Tuhan pastinya tak membiarkan seseorang yang mendekatiNya tetap berada dalam kebodohan. Jadi, sebenarnya kita tak usah takut bodoh karena pengetahuan kita akan dijamin olehNya, jika Dia menghendaki, walaupun orang mungkin akan menganggap enteng jalan untuk bisa intens mendekati Tuhan. Emangnya mudah? Coba saja lakukan sendiri dan rasakan gangguan-gangguan dan penghalang yang menyerang dari segala arah.

Tapi, saya rasa ini pun tak lepas dari konteks percaya atau tidak percaya. Walaupun begitu, kalau saja kita mau lebih mendalami kehidupan, sebenarnya segala keperluan primordial kita sudah diakomodir oleh Tuhan. Mau itu pakaian, makanan, dan termasuklah pengetahuan. Ibaratnya, segala keperluan kita sudah ditanggung oleh Tuhan dan kita hanya tinggal menikmati dan mensyukurinya.

Kembali ke Nabi Isa as. Maka dari itu, saya rasa memang Nabi Isa tak punya banyak waktu untuk bersekolah. Dia diturunkan untuk langsung menjalankan tugas keimanan, tugas ketakwaan, atau secara lebih luas, yakni tugas kemanusiaan demi membersihkan kekotoran dan kegalatan yang sudah sedemikian lama terjadi.

 Saya rasa tak perlu ada yang dikhawatirkan lantaran kiamat kecil itu pun bisa saja lebih dekat dari kiamat yang sebenarnya. Jadi, bukannya kita mesti mempersiapkan diri kapan pun dan dimana pun?[]

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun