Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menelanjangi Kebudayaan

27 April 2017   21:20 Diperbarui: 28 April 2017   06:00 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | sumber gambar: infobudayaindonesia.com

Seorang teman bertanya, kenapa saya tak menulis soal budaya. Saya diam, karena mungkin yang dia baca hanya tulisan-tulisan saya yang bersubstansi soal agama, Tuhan, maupun nilai-nilai.

Di sisi lain, saya bukannya tak paham apa itu budaya. Saya sempat mengenal dan menapaki hidup di jalan kesenian, maka mau tak mau saya pun tentunya mesti tahu apa makna kesenian sebagai manifestasi budaya. Saya bukannya tak tahu kalau kebudayaan itu merupakan representasi aspek-aspek intelektual maupun spiritual masyarakat. Dan saya pun belajar banyak sejak perpindahan saya dari kampung halaman yang kurang berbudaya di sana ke sini, yaitu Yogyakarta, dimana entitas maupun aktivitas ebudayaan memang bener-bener terasa. Tapi, saya tak mungkin hanya membahas soal fenomena kebudayaan tanpa mengikutsertakan noumena di balik kebudayaan itu. Dalam arti, saya tak mungkin hanya bicara soal kebudayaan tanpa melihat aspek-aspek atau nilai pembentuk suatu kebudayaan berikut dengan implikasi-implikasinya.

Buat apa kita kita bicara soal budaya, soal politik, soal ekonomi, soal seni, dan lain sebagainya tanpa kita memikirkan soal utilitasnya? Memang, saya sendiri mengakui bahwa pembicaraan mengenai hal-hal tadi sangatlah keren dan berwibawa. Seolah-olah ketika seseorang membahas soal budaya, politik dan lain sebagainya, seseorang tadi akan terkesan pintar atau berilmu di mata orang yang tak memahami hal itu. Tapi, sekali lagi, kita tak mungkin membahas soal kulit luarnya semata. Segala aspek apapun tentu ada nilai-nilai di baliknya. Dan saya rasa, tanpa mengungkap noumena-nya kita tak akan sampai pada fundamen maupun esensi dari suatu fenomena.

Dari hal itulah saya belakangan ini masuk menyelami berbagai fenomena untuk bisa sampai ke muaranya. Nyatanya, segala persoalan kehidupan tidaklah antroposentris sebagaimana dipahami orang banyak. Dengan kata lain, persoalan kita tidak sampai kepada persoalan ketuhanan. Padahal ketika kita bicara soal sikap kita terhadap Tuhan; ketika kita bicara soal agama; ketika kita bicara soal nilai-nilai yang mestinya kita jadikan prinsip, kita juga akan menemukan hal itu pada wujud kebudayaan. Lagipula, apa kebudayaan hanya sebatas kebudayaan an sich tanpa mempunyai dampak sosial? Padahal, melalui budaya; melalui kesenian dan lain sebagainya tadi, kita juga bisa menanamkan pemahaman-pemahaman kepada masyarakat tanpa unsur doktrinal maupun dogmatis.

Karena kita pun tahu bahwa suatu kebudayaan tentu terbentuk atas suatu kesadaran akal-budi kita. Di sini saya harus terang-terangan mengatakan bahwa korupsi bukanlah suatu budaya, lantaran tak ada nilai positif di dalamnya; tak ada pertimbangan baik-buruk di dalamnya. Begitu pun soal mabuk-mabukan atau minum-minum. Tak usahlah kita bicara agama, karena dalam bidang keilmuan –apa itu kedokteran, psikologi, hukum konvensional, atau bahkan atas dasar pranata sosial– pun akan menilai hal itu sebagai sesuatu tak baik bagi personal maupun sosial.

Bukan saya tak mau membahas soal budaya dan menyebut-nyebut budaya. Tapi saya ingin membuka baju kebudayaan, menelanjanginya, dan menganalisis esensi kebudayaan kita maupun mondial. Memang, rasanya perlu untuk kita menelanjangi sesuatu. Tapi, kalau kembali kepada nilai-nilai, sekiranya ada juga yang tak boleh sembarang untuk ditelanjangi. Apa itu? Kita sama-sama tahu-lah...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun