Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesoktahuan Pikiran

19 Juli 2017   21:12 Diperbarui: 19 Juli 2017   22:31 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: detik.net.id

Manusia mau berpikir tentang apapun, itu hak mereka. Manusia mau mengatakan Tuhan begini-begitu, atau mau menafikan agama dan anasir-anasir keimanan, itu terserah mereka, tapi selama tahu konsekuensinya.

Memang, berpikir itu inheren dengan pencarian kebenaran. Manusia merasa penasaran, bertanya-tanya, kemudian berusaha menemukan jawaban yang benar. Tapi pikiran itu tidak bisa menemukan kebenaran. Pikiran --dengan tata cara berpikir logis-- cuma  bisa memferivikasi apakah itu bener-bener benar atau salah. Dengan pikiran manusia yang universal, kita bisa menilai mana agama yang benar dan yang salah.

Tapi mungkin kita mengira orang yang suka berpikir itu sudah pasti pintar. Nyatanya, lihat sendiri, bagaimana pikiran itu bisa membuat seseorang jadi bijak, atau sebaliknya, bisa menjadikan orang bodoh kalau dia terlalu mengikuti dan tak bisa mengontrol pikirannya. Pikiran itu tugasnya hanya terus mencari. Dan kalau seseorang merasa tidak pernah mendapat suatu konklusi atau kebenaran dalam aktifitas berpikirnya, artinya dia sudah berada pada siklus lingkaran setan yang tak berujung. Dunia terkesan absurd, tanpa nilai, tanpa kepastian, dan kehidupan dipandang kacau; Tuhan dipahami tidak becus menciptakan kehidupan.

Saya jadi teringat ketika seseorang salah memahami antara paradoks dengan siklus lingkaran setan. Dia mengatakan ada seorang filsuf yang bertanya, "apa Tuhan mampu menciptakan sebuah batu yang tidak bisa diangkat oleh Tuhan sendiri?" Ini pertanyaan yang berasal dari produksi pikiran atau semacam imaji yang hanya akan menuju siklis lingkaran setan. 

Lho, gimana bisa Tuhan menciptakan sesuatu yang Dia tak mampu menguasaiNya? Bukannya itu berarti Dia menciptakan sesuatu yang memiliki sifat pada dzatNya, yaitu sifat tidak dapat dikuasai. Sedangkan sesuatu yang menguasai dan tak bisa dikuasai itu kan hanya ada pada dzatNya semata? Tidak ada pada sesuatu selai Dia. Kan aneh? Absurd. Kok Tuhan Sang Pencipta menciptakan ciptaan yang  punya sifat tak bisa dikuasai? Yang namanya Tuhan itu Maha Mampu dan Dia tidak bisa tidak mampu. Kalau Dia tidak mampu, maka Dia tidak bisa dianggap sebagai Tuhan.

Sekali lagi, bahwa pertanyaan mengenai ciptaan yang tak bisa dikuasai Tuhan tadi adalah hasil imaji. Sebenarnya kalau mau dijawab pun jawabannya sederhana saja: terserah-terserah Tuhan mau menciptakan batu tadi atau tidak. Lha, kan Dia yang menciptakan? Dia yang menciptakan masak kita pantas untuk mengiyakan bahwa Tuhan mampu melakukan itu. Kita tak pantas untuk menjawabnya.

Ini pun tak terlepas dari tahap seseorang dalam mengenali Tuhan. Seperti apa Tuhan itu? Atau, bagaimana sih yang patut dianggap sebagai Tuhan?

Pikiran memang harus berhadapan dengan realitas faktual. Pikiran jangan membuat realitas atau imajinasi seperti tadi, karena itu sudah terlepas dari logika dan seringkali tidak berujung pada ihwal ketuhanan, bahkan Tuhan itu sendiri. Apalagi yang murni, pure imaji. Saya jadi suka bingung sendiri karena tidak ada kelogisan pada produk pikiran semacam itu. Kalau Anda pernah nonton film fiksi sains yang judulnya Lucy, di situ akan ditemukan di akhir cerita bagaimana Lucy manunggal ing kawula Gusti tapi tanpa Tuhan. Di akhir cerita kita akan menyadari kemahakuasaan Tuhan menciptakan kehidupan.

Pada pokoknya, pikiran tak bisa menjawab selain hanya spekulasi. Padahal spekulasi ini adalah sesuatu yang tak berdasar yang seringkali jauh dari kebenaran dan mesti dihindari. Kebenaran yang hakiki itu berada di luar diri kita dan bukan pada pikiran. Kalau dengan pikirannya seseorang berusaha menjawab suatu pertanyaan, maka itu hanyalah kesoktahuan pikirannya saja.

Satu yang pasti, untuk dapat mengenali apa itu pikiran, seseorang harus memahaminya di luar pikiran itu sendiri, dan bukan dengan pikirannya itu sendiri. Dengan apa? Dengan olah-rasa, pengosongan untuk menjernihkan pikiran, untuk dapat menerima pengetahuan-pengetahuan yang sejati yang tidak bisa diperoleh oleh kognisi akal. Tapi setelah kita mendapatkan pengetahuan tadi, barulah akal boleh memferivikasi kebenarannya secara logis.

Dan agama adalah jawaban dari pencarian panjang intelektual manusia.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun