Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Orang-orang di Pasar

1 Maret 2019   20:00 Diperbarui: 6 Maret 2019   18:44 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berjalan menyusuri jalan raya menuju sebuah pasar di ujung perempatan jalan. Jalan dipenuhi kendaraan dan angkutan umum, angkot. Sesekali melintas bus besar atau truk kontainer. Di pinggir-pinggir jalan disesaki penjual gerobak aneka dagangan. Bakso, cilok, gorengan, mi ayam. Ada juga penjual buah: duku, buah naga, dan rambutan. 

Di sekitar pasar terdapat ruko, kios-kios, toko pakaian, toko obat, rumah makan. Semua berjejer rapat. Di depan ruko dan kios itu sebenarnya terdapat trotoar, tetapi dikuasai pedagang kaki lima yang mendirikan tenda. Pedagang-pedagang kaki lima ini mungkin tidak dapat tempat di pasar, tak sanggup membayar sewa kios di situ, atau mungkin pedagang liar atau musiman. Bahkan ada yang sampai mengambil badan jalan. Anehnya, barang dagangan yang dijual pun sama seperti yang di dalam pasar, seperti baju, celana, tas, kaos kaki, dan perkakas rumah tangga.

Aku turun tepat di perempatan karena angkot yang kutumpangi tidak melewati pasar yang kutuju. Aku menyeberang jalan. Lalu lintas tidak teratur. Banyak angkot berhenti di pinggir jalan menunggu sewa sehingga membuat lalu lintas tersendat. Deru mesin dan klakson berbunyi di mana-mana, sangat menganggu telinga. Asap kendaraan menyesakkan dada. Banyak motor diparkir sembarangan di tepi jalan hingga memakan badan jalan. Benar-benar situasi yang kacau. Aku akhirnya berhasil menyeberang dari tempatku turun menuju seberang jalan. Kedua sisi jalan, yang dibatasi oleh pembatas jalan setinggi kira-kira 30 cm, sama-sama dipenuhi kendaraan.

Berjalan kaki di sini sangat susah. Selain menyusuri tenda-tenda pedagang kaki lima, orang-orang juga perlu menghindari kendaraan yang lewat. Salah melangkah bisa bikin celaka. Tertabrak pejalan kaki lain atau disenggol oleh kendaraan yang lalu lalang. Perlu juga berjaga-jaga dari pencopet yang diam-diam mengikuti kita.

Di depan sebuah toko baju, aku bertemu seorang teman lama. Dia terlihat santai seperti tanpa beban. Rekan satu kantor dulu. Ia membawa sesuatu dalam kantong plastik hitam. Kami berpapasan dan saling menyapa.  Ada perasaan senang saat kita bertemu dengan seseorang yang pernah kita kenal. Itulah yang kurasakan. Kami bertukar kabar sebentar saja, sekadar basa-basi di pertemuan tak terduga itu, karena dia sedang terburu-buru.

Hari itu adalah sabtu sore. Mungkin itu sebabnya di sekitar pasar terlihat ramai dan macet. Orang-orang terlihat datang dan pergi begitu saja dengan kepentingan masing-masing. 

Di atas motor yang melaju pelan, bahkan berhenti beberapa saat karena macet, kadang terlihat pasangan muda-mudi, suami-istri, atau orang yang membawa barang. Sopir-sopir angkot sibuk memanggil-manggil, memberi kode dengan klakson, tak peduli orang yang lewat itu calon penumpang atau bukan. Seringkali tingkah para sopir angkot mengganggu pejalan kaki.

Entah siapa yang bertanggung jawab atas semerawutnya kota kecil ini. Sepertinya bupati tidak pernah peduli pada masyarakat kaya atau miskin, jalanan lancar atau macet, pasar tertata atau tidak, aspal mulai banyak yang rusak, angkutan kota berseliweran tidak tertib. 

Pun dengan para wakil rakyat tingkat daerah sama sekali tidak berfungsi. Siapa juga yang tahu bila saat itu, sesungguhnya, secara diam-diam, sang penguasa daerah sedang melintas dengan mobil pribadinya menikmati kenyamanan di dalam mobil. Tidak peduli di luar begitu panas, udara kotor, asap dan debu berterbangan. Siapa yang tahu, bukan? Aku hanya berimajinasi: bila benar sang penguasa sedang melintas di sekitar pasar yang kacau ini, apakah yang dia pikirkan?

Aku mampir di sebuah tenda di trotoar, ke penjual mi ayam. Di situ ada meja memanjang dan beberapa bangku plastik. Aku bukan penggemar mi ayam, bahkan cenderung tidak suka dengan makanan yang satu ini. 

Tapi, entah mengapa sore itu aku ingin makan mi ayam. Kupesan satu porsi. Duduk di sebuah bangku. Kuletakkan barang yang kubawa di dekat kakiku, di bawah meja. Si Bapak penjual mi ayam dengan cekatan mengambil mangkuk, merebus mi, memotong-motong sayuran dan sebagainya. "Pakai sambal, nggak, Mas?" "Oh, pakai, Pak. Saus jangan." Aku tidak suka saus karena jangan-jangan berasal dari tomat busuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun