Mohon tunggu...
Lipur_Sarie
Lipur_Sarie Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga yang mencintai alam

Indonesia adalah potongan surga yang dikirimkan Sang Pencipta untuk rakyatnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Malam Satu Suro = Kirab Kyai Slamet

14 November 2012   07:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:24 3464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak hal yang dilakukan masyarakat dalam menyongsong pergantian tahun. Karena tahun baru identik dengan kemeriahan dan kegembiraan. Misalnya dengan pesta kembang api, adanya pertunjukan musik, tiup terompet baik di jalan - jalan protokol, pantai ataupun lapangan. Tetapi lain halnya dengan tahun baru Jawa yang jatuh setiap malam 1 Suro . Malam 1 Suro tidak disambut dengan kemeriahan dan kemegahan, namun dilewati dengan berbagai ritual sebagai bentuk kontemplasi dan introspeksi diri bagi sebagaian besar masyarakat Jawa. Satu (1) Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro yang bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah, karena kalender Jawa yang diterbitkan Sultan Agung mengacu pada penanggalan Hijriyah (Islam). Satu (1) Suro diperingati pada malam hari setelah Maghrib pada hari sebelum tanggal satu Suro. Hal tersebut karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam (Wikipedia). Pada malam 1 Suro, sebagaian besar masyarakat Jawa melakukan ritual tirakatan (menahan hawa nafsu / tidak melakukan hal-hal yang menjadi kesukaannya), lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk) dan tuguran (kontemplasi) untuk lebih mendekatkan diri dengan Ilahi Robbi. Hal itu bisa dilaksanakan dengan kungkum (berendam di sungai-sungai tertentu), menepi atau di rumah. Karena malam 1 Suro mempunyai arti tersendiri (sakral) bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Ritual 1 Suro sudah dikenal masyarakat Jawa  pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Di Solo khususnya Pura Mangkunegaran dan Kraton Kasunanan melakukan ritual tersebut. Kalau Pura Mangkunegaran hanya melakukan kirab pusaka yang dimulai sekitar pukul 19.00 wib sampai selesai (kurang lebih tiga jam) Sore nanti lalu-lintas sekitar Pura Mangkunegaran sudah mulai macet. Kata alm Bapak saya, dahulu selepas Maghrib dan sebelum kirab pusaka orang-orang sudah berjalan mengelilingi tembok Mangkunegaran dengan tapa mbisu (tidak berbicara). Hal ini dimaksudkan untuk introspeksi diri. Tapi lain lagi dengan Kraton Kasunanan. Kirab malam 1 Suro dipimpin oleh kebo bule Kyai Slamet.

[caption id="attachment_209237" align="aligncenter" width="443" caption="salah satu kandang keturuan kyai slamet di alun-alun kidul (ft by mahendra)"][/caption] [caption id="attachment_209238" align="aligncenter" width="450" caption="kirab kyai slamet thn 2011 (ft by apri)"]

1352876573940437593
1352876573940437593
[/caption] Kebo bule Kyai Slamet merupakan hewan kesayangan Paku Buwana (sawargi) yang dianggap keramat. Di belakang Kyai Slamet adalah barisan para putra Sentana Dalem (kerabat kraton) yang membawa pusaka yang diikuti oleh masyarakat Solo dan sekitarnya. Saking penasarannya dengan malam 1 Suro, tahun kemarin saya dan suami sekitar jam 21.00 wib merapat di Gladag (pintu gerbang sebelah utara kraton Kasunanan). Begitu saya datang, sudah banyak manusia di sisi kanan kiri jalan Slamet Riyadi sampai perempatan Nonongan. Semakin malam sekitar kraton semakin penuh dengan lautan manusia dengan berbagai latar belakang dan usia yang ingin menyaksikan kirab Kyai Slamet. Sebelum melakukan kirab, pusaka-pusaka dan Kyai Slamet dijamasi (dimandikan) dengan kembang setaman. Dan keluarnya Kyai Slamet tersebut tidak mesti tepat jam 24.00 wib. Tergantung mood si kebo bule tadi. Sebenarnya Kyai Slamet yang sekarang ini adalah anak turun yang ke sekian. Karena Kyai Slamet yang pertama sudah mati. Walaupun sudah hampir pukul 24.00 wib tapi belum ada tanda-tanda Kyai Slamet keluar dari Kamandungan. Akhirnya saya dan suami berjalan ke selatan mendekati Kamandungan  dan berhenti di sebelah kanan pasar Klewer. Tampak anak-anak Pramuka bertugas menjadi pagar betis. Tidak berapa lama tampak api obor. Dan benar saja Kyai Slamet sudah di kirab, dan orang-orangpun semakin berdesak-desakan. Ada yang ingin sekedar menyentuh badannya, tanduknya. Apalagi kalau saat kirab Kyai Slamet buang air besar. Orang - orang tua (simbah -simbah) pada berebut mengambil kotorannya. Ada yang disimpan dengan harapan supaya dagangannya laris, atau sebagai pupuk agar tanamannya tumbuh subur. Sampai sedemikan hebatnya aura dan magnit malam 1 Suro dan Kyai Slamet bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling lan waspada (ingat dan waspada) siapa dirinya dan kedudukannya sebagai ciptaaan Tuhan Yang Maha Esa serta harus selalu terjaga dari godaan duniawi yang menyesatkan. Karena itu kemudian masyarakat Jawa (sebagian besar) pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat Jawa yang terkait dengan bulan Suro, semakin banyak waktu yang digunakan untuk kontemplasi maupun introspeksi, maka diharapkan kita akan semakin bijak dalam mensikapi hidup. Salam budaya...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun