Mohon tunggu...
Inovasi Artikel Utama

Sampai Kapan Mau Beli Bajakan?

23 Januari 2017   13:18 Diperbarui: 23 Januari 2017   16:15 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DreadOut (2014) by Digital Happiness

Kalau Anda penggemar video game komputer, mungkin Anda pernah bertanya, “Kenapa sih orang Indonesia nggak bisa bikin game sendiri sekelas Assassin’s Creed atau Mass Effect?” Percayalah saya juga pernah mempertanyakan hal yang sama. Kali ini saya akan mencoba menjabarkan alasan mengapa progres dunia pengembang permainan Indonesia belum begitu signifikan.

Aplikasi dan pengembang permainan merupakan salah satu subsektor dari lembaga nonkementerian Badan Ekonomi Kreatif Indonesia yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2015. Dengan meningkatnya penggunaan dan pemanfaatan gadget oleh segala usia, potensi subsektor ini sangat besar.

Tidak hanya itu, Indonesia memiliki delapan perguruan tinggi swasta dan juga negeri yang menawarkan program studi pengembangan game, antara lain Universitas Bina Nusantara, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, dan perguruan tinggi lainnya. Sayangnya, industri pengembangan permainan belum populer dijadikan lahan penghasilan di Indonesia.

Hal ini mengakibatkan tidak tertampungnya seluruh lulusan program studi ini. Lulus kuliah mereka mencari pekerjaan di industri lain yang menawarkan kesempatan yang lebih banyak. Walaupun tidak sedikit pula pelajar latah yang ikut-ikutan mendalami program studi pengembangan game hanya dimodali dengan hobi gaming dan kemudian menyerah di tengah jalan.

Tidak seperti pengembangan permainan telepon genggam, untuk memproduksi sebuah game  komputer kelas AAA dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Menurut artikel dari Los Angeles Times pada tahun 2009, Call of Duty: Modern Warfare 2 menghabiskan biaya produksi sebesar US$40–50 juta alias Rp670 miliar. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dunia permainan belum dianggap sebagai industri serius oleh mayoritas orang Indonesia. Bayangkan berapa banyak orang yang akan mengecam karena tidak membantu anak terlantar dengan uang tersebut.

Pamor game bajakan di Indonesia yang telah membudaya pun turut memadamkan semangat para game developer Indonesia. Sebelum keberadaan platform distribusi digital seperti STEAM, Ubisoft, EA, dan sebagainya menjadi populer, kepingan game orisinal bisa dibilang barang langka. Bahkan mirisnya, istilah “membeli game” dahulu merupakan kata-kata yang diartikan dengan membeli game bajakan dalam bentuk fisik CD ataupun DVD, karena lebih umum ditemukan penjual game bajakan dibandingkan penjual game orisinal.

Mengapa game bajakan? Alasan yang sama layaknya membeli DVD film bajakan, “Kalau ada yang lebih murah, kenapa beli yang lebih mahal?”. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Newzoo, rata-rata gamer Indonesia menghabiskan hanya Rp200.000,00 untuk video game setiap tahunnya. Untuk perbandingan, harga distribusi sebuah game orisinal kelas AAA dihargai sekitar US$60 per game, jika dirupiahkan berarti sekitar Rp800.000,00.

Dengan harga yang sama Anda bisa membeli tiket pesawat pulang-pergi untuk jalan-jalan dari Jakarta ke Singapura. Pilih mana?

Pernahkah Anda mendengar “DreadOut”? DreadOut merupakan sebuah video game horor yang dirilis secara episodik. DreadOut diinspirasi oleh game horor klasik Fatal Frame. Video game ini dikembangkan oleh pengembang permainan (video game developer) berasal dari Bandung bernama Digital Happiness.

Popularitas DreadOut meningkat setelah PewDiePie, seorang YouTuber terkenal bernama asli Felix Kjellberg, ikut memainkan game ini dalam sebuah videonya. Episode pertama dari video game ini berhasil dirilis pada Mei 2014 berkat adanya kampanye crowdfunding melalui Indiegogo, sebuah laman crowdfunding internasional yang berdiri sejak tahun 2008.

Dengan investor terbesar yang berasal dari Eropa dan Amerika Serikat, DreadOut sukses meraup US$29.067 alias Rp388 juta melalui laman crowdfunding tersebut. Setelah rilis seharga US$14,99 pada platform distribusi video game STEAM, DreadOut mendapat mayoritas tanggapan positif. Dengan penjualan 10.000 kopi, DreadOut mampu mencapai penghasilan kotor sekitar Rp1 miliar pada bulan pertama.

Nasib tak sama sayangnya harus menjadi pengalaman pengembang permainan Nusantara Online. Game MMORPG ini harus mengalami penundaan pengembangan pada akhir tahun 2014 untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Pil pahit juga harus ditelan oleh pengembang game lokal Batavian Studio yang harus menutup studionya yang juga berarti membatalkan pengembangan video game pertama mereka, Grimm Odds. Padahal apabila rilis, Grimm Odds dianggap sebagai video game Indonesia pertama yang bisa mendekati kelas AAA. Sejumlah video game lainnya pun mengalami takdir yang serupa, gagal rilis maupun pengembangan yang ditunda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun