Mohon tunggu...
Sansan Wawa
Sansan Wawa Mohon Tunggu... wiraswasta -

Sesungguhnya kekayaan Indonesia bukan berada di alam, namun manusia,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengalaman Wawancara Beasiswa Presidensial Republik Indonesia (BPRI) LPDP

20 September 2014   05:08 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:10 1691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sharing is caring. Saya ingin berbagi dengan pembaca semua terutama para pemburu beasiswa seperti saya mengenai pengalaman saya mengikuti seleksi beasiswa BPRI/IPS LPDP. Namun, sebelum itu, mari kita samakan persepsi mengenai istilah-istilah yang ada.

Apa itu beasiswa BPRI/IPS? Lalu apa itu LPDP?

Jadi beasiswa Beasiswa Presidensial Republik Indonesia (BPRI) atau dalam bahasa Inggris adalah Indonesian Presidential Scholarshp (IPS) adalah salah satu program beasiswa yang dananya disupport oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). LPDP sendiri memiliki program lainnya yang berlangsung sepanjang tahun yang disebut Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI).

Info lebih lanjut mengenai beasiswa tersebut dapat Saudara baca di tautan ini dan ini

Apakah LPDP serupa dengan beasiswa DMDP?

Maaf apa itu DMDP? Kalau yang saudara maksud adalah beasiswa “Dari Mama Dan Papa” tentu saja berbeda. LPDP dikelola oleh Kementerian Keuangan, sedangkan DMDP itu dikelola oleh Ayah dan Ibu saudara. Seleksi LPDP tentu lebih ketat dari pada DMDP. Sejauh ini hanya itu yang saya ketahui. Kalau bukan itu yang saudara maksud mengenai DMDP, saya belum dapat menjawab pertanyaan ini.

Apa bedanya BPRI dengan BPI?

Inti perbedaannya adalah ini bagian dari program kepresidenan RI, jadi semacam ada kolaborasi tambahan antara LPDP dengan Presiden. BPRI fokus memberikan beasiswa penuh untuk mahasiswa Indonesia yang akan berkuliah di 50 kampus terbaik di dunia. Lalu di BPRI ada juga dana tambahan untuk pengembangan diri selama berkuliah nanti.

Secara administratif, BPRI memiliki standar yang jauh lebih tinggi, salah satunya adalah memiliki IPK diatas 3,5 dengan skor TOEFL diatas 550 atau IELTS diatas 6,5.

Selain itu di tahapan administrasi, BPRI mewajibkan calon awardee atau penerima beasiswa untuk mengumpulkan lebih banyak esai dibandingkan dengan BPI. BPI mewajibkan calon awardee membuat 3 esai berjudul: Rencana Studi, Sukses Terbesar, dan Peranku bagi Indonesia. BPRI juga mewajibkan hal yang serupa dengan menambahkan 2 esai: Pengabdian Pasca Studi dan Perencanaan Karier. Semua esai memiliki batasan 500-700 kata dalam bahasa Indonesia.

Setelah melalui tahapan administrasi calon awardee harus melalui tahapan verifikasi berkas dan wawancara. Sedikit berbeda, BRPI tidak memiliki tahapan Leaderless Group Discussion (LGD). Digantikan dengan penulisan essay di tempat wawancara. Lalu, secara garis besar konsep wawancara hampir sama dengan BPI.

Apakah ini berisi tanya dan jawab saja atau juga diselingi cerita pengalaman pribadi?

Pertanyaan Saudara sungguh baik. Baiklah saya akan memulai bercerita. Terima kasih.

*

Pesan berantai yang disampaikan oleh teman saya di aplikasi LINE sore itu cukup mengherankan. Berisi mengenai program beasiswa LPDP yang cukup bonafid istilahnya dan juga tinggi standarnya: Indonesian Presidential Scholarship (IPS). Dinyatakan dalam pesan tersebut bahwa syarat administrasi IPK 3.5 ditiadakan. Satu pintu seperti terbuka. Memang jangka waktu dari berita ini tersebar dengan batasan waktu pendaftaran 17 Agustus 2014 sangatlah mepet, kira-kira kurang dari sebulan. Namun saya kebetulan masih sanggup mengerjakan semua persyaratan yang ada. Seketika itu juga saya jadi sedikit tertantang dan bertanya kepada diri sendiri: “kenapa tidak?”.

Semakin mendekati tanggal 17 Agustus semakin panik saya. Saya baru menyadari bahwa BPRI membutuhkan 2 esai tambahan untuk seleksi administrasi. Saya baca berulang kali. Ketidaktelitian tersebut memaksa saya untuk mengulangi kebiasaan buruk di kuliah: SKS (sistem kebut semalam). Karena batas pengumpulan berkas pk 10.00 jadilah saya terus mengerjakan essay hingga pagi hari. Saya masih ingat saya menekan tombol “submit” kira-kira pada pk 06.00. Ketika anak-anak sekitaran komplek hendak memulai lomba 17-an saya hendak menarik selimut dan tidur.

Pengumuman seleksi administrasi pada tanggal 27 Agustus 2014. Sangat tertekan, sangat sangat tertekan saat itu. Dinyatakan bahwa hasil seleksi akan disampaikan melalui email pribadi dan juga sms. Belum ada sms, belum ada email. Saya tidak bisa diam saja, saya mencoba mencari informasi dari group LPDP di facebook. Saya melihat ada seseorang yang bertanya mengenai hasil seleksi administrasi di sana lalu ada seorang lagi menjawab bahwa dirinya tidak lolos. Saya, terkejut.

Pencarian di internet berujung pada halaman web resmi LPDP di sini yang berisi pengumuman dari LPDP. Saya ingat saya membuka link yang teranyar yang berjudul berjudul Hasil Seleksi Administrasi Agustus 2014. Dengan jantung yang berdegup kencang saya menguduh dokumen tersebut. Saya mencari-cari nama saya sendiri. Saya sempat berhenti sejenak karena melihat nama teman baik saya tercantum disana. Sayangnya, nama saya tidak ada. Saya coba mengambil nafas panjang mencoba menenangkan diri lalu mencoba membaca perlahan dari atas, benar bahwa nama saya tidak ada. Saya lemas, letih, dan lunglai. Lalu saya berdoa hingga menemukan damai sejahtera di hati. Fyuh.

Malamnya, lebih tepatnya pada tengah malam itu saya hendak beristirahat. Saya mengucap syukur bahwa rencana Tuhan baik dan selalu baik. Mengucap syukur atas pengumuman tadi siang. Ingin meyakinkan diri sendiri sekali lagi, saya mengunjungi halaman pengumuman lagi. Kaget karena ada dokumen baru yang dicantumkan di sana. Saya buka dengan cepat. Dan saudara-saudara sekalian, puji Tuhan nama saya ada tertulis! Hahaha saya salah membaca pengumuman, yang tadi siang itu untuk BPI padahal kan saya ajukan program BPRI. HAHAHAHAHAHA.

**

Pada pagi hari saya mendapat sms dan juga email. Leganya hati ini. Wawancara dilakukan di tanggal 1-3 September, saya kebagian di tanggal 3 September di Jakarta. Sebagai persiapan saya cari di internet pengalaman wawancara LPDP, ceritanya benar-benar beragam dan unik. Ada yang sampai menangis, ada yang pakai bahasa inggris, ada yang santai, dan ada juga yang dibantai. Bersyukur untuk proses pembentukan semasa kuliah di kampus, jurusan, dan himpunan tercinta. Proses wawancara yang dibantai tidak membuat saya takut, karena sudah sering mengalami.

Persiapan saya tentu menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan untuk verifikasi berkas. Lalu menyiapkan alat tulis yang katanya dipakai untuk menulis essay. Dan juga saya berlatih wawancara berdasarkan cerita-cerita rekan di internet mengacu pada isi cerita essay yang saya buat sendiri. Saya memegang teguh prinsip: yang berhasil bukan yang paling pintar atau paling kuat tapi yang paling siap.

Jadwal wawancara dan verifikasi berkas dimulai pk 08.00 dan peserta diharapkan untuk hadir 30 menit sebelumnya. Mengantisipasi macet di Jakarta,  jadilah saya sampai di lokasi pk 06.00. Petugas disana juga sudah hadir ternyata, jadi saya tidak terlalu cepat juga. Berkenalan dan berbincang santai dengan peserta di sana cukup membuat diri menjadi rileks tidak tegang. Oh iya saya berpakaian rapi, mengenakan kemeja panjang, celana bahan, dan sepatu pantofel.

Saya berkenalan dan berbincang dengan rekan yang lulusan Fasilkom UI. Saya sampaikan ke beliau bahwa saya dulu mencoba masuk ke sana, namun tidak diterima. Dijawab bahwa beliau pun juga mendaftar ITB namun tidak diterima. Lumayan cocok dan kami tertawa terbahak-bahak selama menunggu. Sempat berkenalan juga dengan senior satu almamater di ITB yang sudah menyelesaikan studi master di Edinburgh dan berencana mengambil doktor di Inggris. Oh iya dihadiri juga oleh rekan-rekan dari TNI. Ternyata dialokasikan kuota khusus untuk TNI.

Ketika waktunya, setelah penjelasan singkat kegiatan hari itu panitia memobilisasi kami untuk masuk ke dalam ballrom. Tanpa menunggu lama, kami diminta menyiapkan alat tulis untuk membuat essay. Waktu yang dialokasikan hanya 15 menit untuk setiap essay dan ada 2 buah esay. Saya sudah mempersiapkan ballpoint yang lancar dan memungkinkan saya menulis cepat. Panitia membagikan kertas berisi artikel dari koran KOMPAS yang panjangnya menurut saya lebih dari 1000 kata. Lalu kami diberikan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan artikel tersebut.

Kertas pertama dibagikan. “wah panjang juga ya”, pikir saya ketika membaca sekilas. Artikel pertama menceritakan mengenai pendidikan di Indonesia. Menyadari waktu sangat singkat, saya melakukan baca cepat atau skimming. Mencoba mencerna inti dan kata kunci dari artikel tersebut sembari membaca dua pertanyaan yang ada. Pertanyaannya menurut saya sangat menarik, kira-kira seperti ini: “Bayangkan Anda adalah seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, coba jelaskan

1) Pendidikan di Indonesia
2) Lima program pertama yang Anda akan lakukan pertama kali untuk pendidikan di Indonesia yang lebih baik.”

Menarik, bukan? Saya menuliskan 2 paragraf dengan jawaban sejelas mungkin. Tidak mungkin bermain dengan kata dengan waktu yang sedemikian singkat. Kompromi antara ide yang jelas dengan tulisan yang jelas terjadi waktu itu. Waktu habis kertas segera dikumpulkan. Beberapa rekan ada yang mengeluhkan waktu yang sangat singkat.

Artikel kedua pun dibagikan, kali ini mengenai politik. Saya tertegun dengan topiknya karena saya merasa kurang begitu menguasai topik itu dan memang di hari-hari Pilpres kala itu banyak terpapar berita politik, namun hanya sebatas persaingan sengit Prabowo dan Jokowi Saya tertegun dengan topiknya karena saya merasa kurang begitu menguasai topik itu dan memang di hari-hari Pilpres kala itu banyak terpapar berita politik, namun hanya sebatas persaingan sengit Prabowo dan Jokowi. Karena saya tahu bahwa saya tidak tahu, saya bergantung penuh pada isi dari artikel itu. Beberapa kata kunci yang ada: sistem presidensial, kedaulatan presiden, sistem multi partai, sistem dwi partai, demokrasi, politik transaksional. Lalu pertanyaannya mengenai opini setuju atau tidak dengan sistem presidensial yang ada hari ini, lalu solusinya untuk Indonesia yang lebih baik.

Setelah bergelut dengan essay. Kami bergiliran melakukan verifikasi dokumen. Panitia menurut saya sangat profesional dalam mengatur segala yang ada. Verifikasi dilakukan secara online dan cepat. Kemudian kami melakukan wawancara, baru setelah itu boleh pulang. Jadwal wawancara berbeda setiap orangnya. Saya cukup beruntung karena dapat menyelesaikan wawancara sebelum pk 12.00. Saya tidak perlu menunggu lama. Kasihan dengan rekan yang mendapat giliran wawancara pk 16.00 karena harus menunggu dari pk 09.00. Dan tidak disarankan untuk pulang terlebih dahulu karena ada kemungkinan jadwal yang dipercepat. Tiba lah giliran saya dipanggil untuk wawancara.

***

Jujur saya sempat sangat tegang mengenai seleksi wawancara ini. Salah satunya karena saya belum pernah melakukan wawancara kerja. Jadilah saya banyak berdiskusi dengan rekan-rekan yang lebih profesional ketimbang saya. Saya masuk ke dalam ballroom dan menuju ke meja no. 6. Untuk menunjukkan rasa percaya diri, saya menyalami mereka sebelum duduk. Ada 3 pewawancara/ interviewer. Seperti yang sudah diceritakan dua orang akademisi dan satu orang psikolog. Saya masih ingat nama-nama yang mewawancarai saya: Pak Agung, Prof Mardi, dan Ibu Tuti. Kekuatiran terbesar saya adalah apabila akademisi itu merupakan ahli di bilang ekonomi, karena saya ingin mengajukan beasiswa mengambil MBA sedangkan saya berasal dari jurusan Teknik Pertambangan. Meski saya sudah mempelajari sedikit istilah-istilah ekonomi yang ada.

Pak Agung membuka proses wawancara memperkenalkan semua interviewer yang ada dan tujuan dari wawancara yaitu untuk melakukan konfirmasi data dari berkas yang sudah diajukan dan menggali potensi yang ada dari calon awardee. Proses wawancara itu direkam. Wawancara dimulai dengan pertanyaan: “Sandro, coba ceritakan dengan diri kamu”. Saya bercerita tentang latar belakang pendidikan saya, rencana studi saya, lalu juga ditambahkan dengan cerita mengenai pelayanan sosial yang sudah pernah saya berikan untuk masyarakat, dan betapa saya rindu mengembangkan anak-anak muda di Indonesia.

Saya mencoba menjaga tatapan mata saya dengan pewawancara, namun ternyata mereka lumayan sibuk dengan laptop masing-masing. Sepertinya input data hasil wawancara dilakukan di laptop jadi tidak masalah. Selama saya diwawancara dengan bapak-bapak akademisi, ibu psikolog sibuk memperhatikan saya sembari menuliskan entah apa di bukunya.

Lalu saya ditanyakan mengenai alasan saya mengenai kampus yang saya tuju. Saya menjelaskan bahwa role model saya sempat berkuliah di sana. Saya juga menjelaskan predikat yang dimiliki kampus tersebut di Amerika. Beliau bertanya apakah saya sudah memerika persentase DRI (atau apa saya lupa, suatu singkatan yang asing) dan saya jawab bahwa saya jujur belum melakukan analisis tersebut. Disambung dengan pertanyaan mengenai alasan memilih jurusan yang dituju. Jurusan teknik yang dilanjutkan dengan jurusan ekonomi menjadi pembahasan utama. Saya sendiri menjelaskan bahwa saya pribadi memiliki passion di dunia bisnis dan dibuktikan dengan saya sudah mulai membuka usaha sejak tingkat pertama kuliah. Sisanya dilanjutkan dengan cerita pribadi saya di dunia wirausaha.

Pertanyaan selanjutnya “Apakah ahli dari jurusan tersebut masih dibutuhkan di Indonesia? Atau jumlahnya sudah terlalu banyak sehingga kamu tidak ada gunanya mengambil jurusan tersebut?” Saya menjawab bahwa sejujurnya saya tidak memiliki data mengenai jumlah lulusan MBA di Indonesia dan jumlah lulusan MBA yang dibutuhkan di Indonesia. Tapi menurut saya yang pasti Indonesia membutuhkan lebih banyak lagi pengusaha, lalu saya memaparkan persentase pengusaha di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya. Lalu Pak Agung menutup gilirannya dengan bertanya mengenai apa peranan saya untuk Indonesia.

Dilanjutkan dengan Prof Mardi. Beliau pertama meminta saya untuk menceritakan pengalaman kepemimpinan pribadi saya. Lalu beliau menanyakan lagi mengenai prestasi saya di tingkat nasional yang kemudian dikaitkan dengan jurusan yang saya tuju. Intinya saya diuji mengapa melanjutkan studi di bidang teknik pertambangan. Mengacu bahwa saya pernah menjadi pembicara di sebuah simposium internasional mempresentasikan paper tugas akhir saya di bidang pertambangan di Kyushu University, Jepang. Saya menyatakan bahwa semakin dalam berada di lingkungan akademisi makin saya yakin bahwa passion saya sesungguhnya adalah berwirausaha. Seakan meragukan jawaban saya, beliau bertanya lagi, “Kamu pernah juara menulis di KOMPAS, jangan-jangan ini passion kamu?” Saya spontan menjawab, “Prof, waktu itu saya lagi kebetulan menang, pak.” Saya tidak menyangka jawaban saya menimbulkan tawa dari mereka terutama ibu Psikolog. Lalu saya izin menambahkan bahwa tulisan yang saya buat itu pun mengenai kewirausahaan juga, jadi tetap konsisten dengan passion yang saya sampaikan (tulisan tersebut berjudul Berbisnis atau Mati).

Seperti terus menggali, beliau terus menekan saya untuk mengganti keputusan meneruskan studi di bidang pertambangan. Saya diam dan berpikir sejenak lalu menjawab dengan serius, “Ya sejujurnya ya Pak, saya lebih memilih untuk bertemu dengan orang-orang daripada ketemu dengan batu-batu.” Jawaban jujur saya disambut dengan gelak tawa interviewer, ibu psikolog menyahut, “Ya iyalah, saya juga begitu!” Suasana pun menjadi lebih cair, padahal saya sudah mencoba seserius mungkin dan tidak berusaha memberikan lelucon apapun. Prof Mardi menutup pertanyaan mengenai kesuksesan terbesar dalam hidup dan juga perencanaan karir saya kedepan. Ditambah juga dengan pengabdian saya nanti pasca studi, saya sanggup menjelaskan pengabdian yang tidak muluk-muluk, realistis, dan sudah saya lakukan dan akan saya lakukan lagi nanti.

Ibu Tuti bertanya dengan lebih lembut dan lebih terkesan santai. Beliau bertanya mengenai usaha yang saya jalankan, kesulitan yang ada, apakah saya bisa menyelesaikan studi dengan baik, latar belakang keluarga. Beliau sangat memperhatikan saya, entahlah mungkin mencoba membaca bahasa tubuh saya untuk mencari hidden message yang saya sampaikan (sok tahu). Beliau menanyakan mengenai essay yang saya tulis tadi pagi yang topiknya pendidikan, saya bilang saya masih ingat. Beliau kemudian meminta saya untuk menceritakan kembali isi dari essay tersebut dalam bahasa Inggris. Setelah itu, sudah selesai :)

****

Beberapa cerita lainnya mengenai wawancara LPDP:

http://farraas.blogspot.com/2014/04/interview-reflection.html

http://trihanifa.blogspot.com/2013/11/tips-lolos-seleksi-beasiswa-lpdp.html

http://firahermana.tumblr.com/post/89861286822/the-interview-round-a-guide-for-lpdp-hopefuls

http://theandikawijaya.blogspot.com/2013/07/tips-memperoleh-beasiswa-lpdp-2.html

http://nasrulwathoni.wordpress.com/2014/05/26/download-document-persiapan-wawancara-beasiswa-dikti/

http://lyhul.wordpress.com/2014/01/26/seleksi-wawancara-lpdp/

http://clara-hetty.blogspot.com/2014/06/verifikasi-berkas-lgd-dan-wawancara.html

Semoga bermanfaat, mohon maaf apabila terlalu panjang tulisannya. Silakan komentar apabila ada koreksi dan atau pertanyaan. Terima kasih. Sukses selalu.

Salam,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun