Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. VIRTUAL MEDICINE CALL TODAY: 021.29614252 - 021.5703646 ** www.drwido.com ** www.kesulitanmakan.com ** www.alergiku.com ** www.pickyeatersclinic.com ** www.klinikbayi.com ** www.dokteranakindonesia.com **

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa di Era Jokowi Sebutan Islam Radikal Sering Terlontar?

14 Juli 2017   17:44 Diperbarui: 15 Juli 2017   21:05 4000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak pengamat dan tokoh politik di Indonesia heran ketika isu Islam Radikal semakin kencang terdengar dalam beberapa tahun belakangan ini. Bila dicermati dalam  periode  paska reformasi, tampaknya dalam era pemerintah Jokowi istilah Islam Radikal lebih sering disebut dan diucapkan dibandingkan era pemerintahan sebelumnya. Bukan hanya masyarakat, pejabat negara bahkan presiden Jokowipun saat ini getol menyebut Islam Radikal dengan mudahnya. Meski istilah Islam Radikal berkonotasi luas tetapi sebagian besar pengamat dan tokoh Islam menganggap sebagai bagian untuk untuk melemahkan Umat Islam. Mengapa fenomena ini lebih sering dilontarkan saat sekarang ini?

Saat ini sebagian anggota masyarakat kelompok tertentu, pejabat negara hingga kepala negara dengan mudah dan cepat mengucapkan kata Islam Radikal. Sebenarnya istilah Islam Radikal sudah dikenal luas sejak lama tetapi mengapa baru sekarang ini lebih sering terdengar di bumi Indonesia ini. Hal ini bisa dibuktikan saat googling di dunia maya sangat jarang bahkan tidak ada keluar artikel atau berita saat di search kata "SBY Islam radikal". Tapi saat kata "Jokowi.Islam Radikal" di googling maka banyak sekali bermunculan istilah tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa selama era pemerintah Jokowi kata Islam Radikal lebih sering diucapkan.

Padahal pemerintahan Jokowi baru berlangsung 3 tahun sedangkan SBY sudah 10 tahun. Seperti sebelumnya Istilah itu terus dilontarkan oleh presiden Jokowi. Terakhir dalam acara Halaqah Nasional Alim Ulama Majelis Dzikir Hubbul Wathon di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis, 13 Juli 2017. Jokowi mengatakan kerukunan dan persatuan yang terbangun di negara ini terjadi karena kemampuan muslim Indonesia mewujudkan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin dalam kehidupan sehari-hari. "Islam radikal bukan Islamnya Majelis Ulama Indonesia, bukan Islamnya bangsa Indonesia," katanya . Mengapa dalam era pemerintahan Jokowi istilah Islam Radikal sering bergema diucapkan ?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai "secara menyeluruh", "habis-habisan", "amat keras menuntut perubahan", dan "maju dalam berpikir atau bertindak". Dalam pengertian lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok, dan esensial. Sedangkan istilah radikalisme, dalam Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry diartikan sebagai faham politik kenegaraan yang menghendaki perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai kemajuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka didefinisikan sebagai faham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Menurut Wikipedia radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.

Dari sisi bahasa, istilah radikal sebenarnya netral, bisa positif bisa negatif. Mitsuo Nakamura misalnya, dalam sebuah tulisannya yang dipublikasikan di Asian Southeast Asian Studies Vo. 19, No. 2 th. 1981 menyebut bahwa Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang berwatak tradisionalisme radikal. Istilah radikal dipilih oleh Mitsuo Nakamura untuk menggambarkan bahwa NU adalah organisasi yang otonom dan independen, bukan derivasi dari organisasi yang lain. NU juga mempunyai sikap politik yang kritis, terbuka, dan mendasar menghadapi status quo penguasa ketika itu yaitu presiden Soeharto. NU juga memperlihatkan dengan karakteristik keagamaan yang tetap konsisten. Dengan karakteristiknya yang bersifat mendasar inilah NU disebut radikal.

Sebaliknya, radikal berarti secara konsisten mempertahankan ide secara utuh ketika dihadapkan pada konflik dengan ide lain, atau dengan kata lain non-kooperatif. Sikap radikal dan moderat keduanya mempunyai contoh konkrit dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia.

Istilah Radikal juga sering digunakan pada sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia, dikenal dua strategi politik organisasi kebangsaan dalam kaitannya untuk mewujudkan Indonesia merdeka yaitu pergerakan non-kooperatif (radikal) dan pergerakan kooperatif (moderat). Pergerakan radikal adalah satu aksi penentangan secara keras terhadap kebijakan pemerintah kolonial serta tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Kaum radikal berpendapat bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka haruslah dengan jerih payah anak bangsa sendiri dan bukan atas adanya campur tangan dari bangsa asing (Belanda). Sebaliknya kaum moderat artinya sebagai satu sikap lunak dan kompromistik terhadap kebijakan pemerintah kolonial di Indonesia. Kelompok moderat berpendapat bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka tidak dapat lepas dari kerja sama dengan berbagai bangsa yang ada di Indonesia saat itu, tidak terkecuali dengan pemerintah kolonial Belanda. Dua pergerakan tersebut mempunyai tujuan mulia yang sama yaitu untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Dalam konteks tersebut istilah radikal dan moderat mempunyai arti yang berkonotasi baik. 

Tetapi saat ini istilah radikalisme yang sering dihembuskan oleh pihak tertentu sering dimaknai lebih sempit. Muncul label seperti Islam radikal, Ormas Radikal, Salafi radikal, atau yang agak umum radikalisme agama yang hampir semuanya berkonotasi ditujukan pada umat Islam. Ketika tujuh juta umat Islam melakukan aksi damai yang aman, damai dan berakhir indah itu sebagian masyarakat, sebagian pejabat bahkan media barat. menuduh pelakunya sebagian besar adalah Islam Radikal. Media Wall Street Journal dalam ulasannya artikel yang berjudul "Hard-Line Strain of Islam Gains Ground in Indonesia, World's Largest Muslim Country" mengungkapkan uajaran yang berkonotasi negatif dengan mengatakan terjadi kebangkitan Islam garis keras dan radikal dalam Pilkada Jakarta untuk menggulingkan gubernur beragama Kristen. Demikian juga  SBS Australia, menulis: "Jakarta election: Radical Islam tested 'if Ahok wins'" yang melabeli Islam Radikal dalam peristiwa Pilkada Dki Jakarta. Kantor berita Reuters pun demikian. Beberapa tulisannya sebelum, saat dan sesudah pilkada DKI Jakarta menggambarkan soal kebangkitan ekstremisme dan radikalisme Islam dalam perhelatan politik itu.

Reuters juga mengatakan bahwa kelompok radikalisme Islam telah menjadi kekuatan yang besar di Jakarta, dan akan digunakan untuk pemilihan presiden 2019 mendatang. Media Amerika Serikat, USA Today, CNN dan New York Times, yang bernada sama ketika memberitakan pilkada DKI Jakarta. Bahkan kemenangan Pilkada DKI Jakarta Anis Sandi juga dianggap oleh beberapa media Barat dan sekelompok golongan di Indonesia adalah kemenangan Islam Radikal. Salah satunya adalah media Wall Street Journal dalam tulisannya yang berjudul "Hard-Line Strain of Islam Gains Ground in Indonesia, World's Largest Muslim Country" yang mengulas tentang kebangkitan Islam garis keras dalam Pilgub Jakarta untuk menggulingkan gubernur beragama Kristen. Padahal saat itu bila kita berpikir jernih dan obyektif saat itu masyarakat bukan hanya terpengaruh suhu politik tetapi juga dipengaruhi  status psikologis emosional yang tinggi saat Ahok melakukan penistaan terhadap kitab suci agama mayoritas di Indonesia.

Istilah Islam Radikal Lemahkan Umat Islam

Ketua MUI Pusat dan Rais Aam NU, KH Ma'ruf Amin pernah mengatakan bahwa Islam itu satu, tak ada yang namanya Islam radikal, Islam Fundamentalis atau Islam moderat. Islam ya Islam, seperti yang digariskan Al-Quran, Islam yang hanifan samhah atau Islam itu lembut, ramah, toleran. Istilah radikal hanya diciptakan kelompok tertentu untuk mendiskriditkan umat Islam. Menurut ketua MUI itu tujuan utama terbesar pencitraan dan penamaan Islam Radikal adalah agar umat Islam tidak utuh, terpecah-pecah dan dengan begitu kekuatannya menjadi lemah. Karena lemah, maka akan mudah diadu domba, dipermainkan, dan dijadikan kambing hitam berbagai tindakan. Demikan juga tokoh Islam Indonesia lainnya seperti Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid juga mengkritisi munculnya isu radikalisme dalam kontestasi pilkada Jakarta. Menurutnya, isu tersebut tidak benar, dan menyesatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun