Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pancasila Universal

1 Juni 2011   13:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:58 11039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hari-hari belakangan, kita kembali sering membicarakan Pancasila. Kita disadarkan bahwa Pancasila bukanlah milik "Orde Baru". Sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah membuat "alergi" karena dianggap semata-mata sebagai alat rezim diktator tersebut.

Pancasila bukanlah milik sekelompok orang. Pancasila kita yakini menjadi milik kita lagi tatkala sebagian orang tercuci otaknya oleh sebuah organisasi bernama NII. NKRI dianggap berada dalam ancaman karena kelompok bawah tanah itu. Karenanya, Pancasila dapat menjadi tameng dalam menghadapinya.

Tapi, kita mungkin lupa, Pancasila adalah ideologi universal. Pidato Bung Karno berikut dapat menunjukkannya:

Akan tetapi saya sungguh-sungguh percaya bahwa Pancasila mengandung lebih banyak daripada arti nasional saja. Pancasila mempunyai arti universal dan dapat digunakan secara internasional...Saya percaya, bahwa ada jalan keluar daripada konfrontasi ideologi-ideologi ini. Saya percaya bahwa jalan keluar itu terletak pada dipakainya Pancasila secara universil! ( To Build the World A New-Pidato Bung Karno di muka Sidang Umum PBB ke-XV, 1960)

Keyakinan diri Bung Karno mungkin sudah kita ketahui seperti apa. Tapi, apakah benar Pancasila itu universal? Kalau merujuk dari sila-silanya dan penjelasan Bung Karno dalam pidato di PBB, benarlah adanya. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi musyawarah, dan keadilan sosial merupakan keyakinan universal yang tidak bisa dibatasi hanya dalam negara bernama Indonesia.

Tapi, saya tertarik dengan kolom seorang pengurus Mejelis Mujahiddin dalam majalah Gatra edisi 17-23 Mei 2011 berjudul "Pancasila dalam Talmud" beberapa hari yang lalu. Menurutnya, kelima sila Pancasila (monoteisme, humanisme, nasionalisme, demokrasi, sosialisme) sebenarnya sama persis dengan isi Khams Qanun dalam kitab Talmud. Sang penulis itu lantas berspekulasi bahwa Pancasila terpengaruh dengan doktin Yahudi. Ia mau mengatakan, Pancasila bukan bersumber dari "rahim" Indonesia sendiri.

Saya tidak tahu apakah sang penulis itu punya tujuan propaganda supaya bangsa Indonesia meragukan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa—karena diambil dari kitab Yahudi. Yang jelas, organisasi seperti Majelis Mujahiddin menghendaki agar negara Indonesia ini menjadi negara berdasar agama, paling tidak sesuai dengan Piagam Jakarta. Kalaulah benar sila Pancasila itu terinspirasi dari luar, apakah dengan sendirinya kita tidak bangga punya Pancasila? Saya pikir, kita justru menjadi semakin yakin Pancasila adalah universal. Nilai Pancasila adalah hasil upaya pencarian Weltanschauung bangsa yang dapat diterima oleh semua. Bukankah apa yang universal itu harus diterima oleh semua?

Seperti halnya agama yang mengajarkan nilai-nilai universal seperti kejujuran, keikhlasan, toleransi kepada siapapun tanpa pandang bulu, Pancasila demikian pula. Mungkin sebagai sebuah "kata", apalagi diambil dari kitab Negara Kartagama, Pancasila adalah milik Indonesia seperti Islam itu agamanya seorang Muslim. Namun menyangkut ajaran universal, apa yang diajarkan di dalam Islam otomatis menjadi ajarannya seorang Kristiani, Hindu, dan Budha. Artinya, apa yang disebut universal bisa datang dari mana saja, bahkan kalau "pancasila" bersumber dalam Talmud, tidaklah mengurangi kepercayaan kita pada ideologi negara. Pancasila justru membuat kita yakin, bahwa inilah satu-satunya jalan tengah dari kebhinekaan bangsa.

Penerapan Pancasila

Pancasila sebagai nilai universal mau tak mau harus mampu diejawantahkan. Tapi, mungkin inilah juga kelemahan dari apa yang universal. Dalam kehidupan kita, justru nilai universallah yang paling sulit untuk diterapkan. Mengapa masih ada kelaparan jika kita percaya bahwa manusia itu punya hak untuk hidup? Apa sebab rumah ibadah kelompok minoritas dirusak padahal tahu hak berkeyakinan itu paling asasi? Itulah yang belum mampu kita tuntaskan dalam negeri tercinta ini.

Oleh karena itu, Pancasila tidak pantas di-indoktrinasi ala rezim terdahulu. Pancasila yang universal itu menjadi rendah nilainya apabila menjadi dogma yang harus ditafsirkan oleh sekelompok para pengajar. Sesungguhnya, nilai-nilai universal itu sudah kita datapkan dari ajaran agama manapun. Lagipula, Pancasila yang diyakini secara umum bersumber dari "kearifan" bangsa yang digali oleh seorang Soekarno. Bukankah berarti sudah didapat juga pemahaman itu sedari kecil?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun