Mohon tunggu...
Safari ANS
Safari ANS Mohon Tunggu... -

Journalist Independent \r\n\r\nsafari_ans@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

UU Tipikor Memang Beri Peluang Suap

27 Maret 2013   12:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:08 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13644052981693078340

[caption id="attachment_234959" align="aligncenter" width="1024" caption="Inilah indeks kerugian negara dan hukuman bagi koruptor agar setimpal dan transparan"] [/caption] Inilah indeks hukuman bagi koruptor sesuai dengan jumlah kerugian negara Penulis bukan ahli hukum. Malah awam di bidang hukum. Karenanya ini merupakan pandangan orang awan soal Undang-undang No.3 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU itu diproses era Prof. Dr. Muladi menjabat Menteri Kehakiman, dan diteken Prof.Dr. BJ. Habibie sebagai Presiden RI tanggal 16 Agustus 1999. UU Tipikor ini terdiri dari 7 bab dan 45 pasal. Lalu dicatatkan dalam lembaran negara tahun 1999 nomor 140. Inilah rujukan hukum para hakim Tipikor untuk mengadili para tersangka kasus korupsi di negeri kita. UU ini mengatur  denda bagi terpidana, besarannya berkisar antara Rp 50 juta hingga Rp 1 milyar. Hukumannya penjara seumur atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Padahal inti UU ini menurut penulis sebagai orang awan adalah diakibatkan adanya kerugian negara. Kalau kerugian negaranya tidak ada, maka perkaranya menjadi batal. Penyebab kerugian negara itu, bisa jadi karena kelalaian atau kesalahan adminsitrasi, atau memang disengaja untuk mendapat keuntungan pribadi atau lembaga atau organisasi tertentu. Namun, UU 31/1999 ini, tidak menjadikan hukuman itu berdasarkan nilai kerugan negara. Padahal patokan dasar kajian hukumnya, apakah ada kerugian negara? Lalu, berapa kerugian negara yang diakibatkannya? Walaupun, UU ini menggunakan asas pengembalian harta yang dikorupsi kepada negara, tapi umumnya harta yang dikembalikan pasti berkurang. Tidak ada kewajiban terpidana untuk mengembalikan uang negara setara kerugian yang ditimbulkannya. Karenanya nilai kerugian negara akibat korupsi dengan nilai harta yang berhasil disita oleh KPK tidak sepadan dengan kerugian negara. Apalagi dalam UU Tikipor ini ada peluang besar bagi hakim untuk memutuskan apakah kerugian negara itu harus kembali 100 persen secara tanggung renteng atau tidak. Ini salah satu peluang hakim buat menjadi kaya. Dalam posisi tersebut di atas, seorang Gubernur atau Bupati yang lalai dalam menyelenggarakan adminsitrasi negara sehingga mengakibatkan kerugian bagi negara baik sengaja atau pun tidak, memiliki peluang untuk negosiasi dengan hakim. Sebab, manusia manapun di dunia ini yang kemerdekaannya akan terampas, pastilah akan berupaya untuk membebaskan diri. Sifat manusia ini tidak hanya berlaku dalam hukum, tetapi dalam aspek lainnya. Karena manusia adalah mahluk dinamis, kreatif dan memiliki kecakapan untuk berbuat apapun. Jika bangsa ini mau memberantas habis tindak pidana korupsi, maka UU ini patut diperbaiki. Artinya, ketika UU Tipikor pijakan dasarnya adalah kerugian negara yang ada didalamnya, maka seharusnya UU ini memberikan hukuman kepada terpidana berdasarkan indeks nilai kerugian negaranya. Bukan semata para hakim menilai unsur perbuatannya yang melanggar hukum. Kalau putusan Pengadilan Tipikor hanya berdasarkan unsur kesalahannya saja tanpa mengaitkan nilai kerugiannya negara, maka disitulah letak ketidakadilan yang selama ini terjadi dimana-mana. Bisa jadi terpidana korupsi Rp 10 juta akan sama hukuman penjaranya dengan terpidana korupsi Rp 100 milyar. Lalu masyarakat sering mengkiritik, dimana keadilannya. Entah ada atau tidak, sebuah negara menggunakan indeks kerugian negara sebagai indeks hukuman penjaranya, tetapi penulis sebagai awam memberikan pandangan, bahwa cara ini lebih adil. Misalnya: Indeks: Klasifikasi A, korupsi Rp 1,- - Rp 10 juta, hukumannya 5 bulan penjara. Klasifikasi B, korupsi Rp 10 juta - Rp 100 juta, hukumannya 1 tahun pnjara. Klasifikasi C, korupsi Rp 100juta - Rp 1 milyar, hukumannya 2 tahun penjara. Klasifikasi D, korupsi Rp 1 milyar - Rp 10 milyar, hukumannya 5 tahun penjara. Klasifikasi E, korupsi Rp 10 milyar - Rp 100 milyar, hukumannya 10 tahun penjara. Klasifikasi F, korupsi Rp 100 milyar - Rp 500 milyar, hukumannya 20 tahun penjara. Klasifikasi G, korupsi Rp 500 milyar - Rp 1 trilyun, hukumannya seumur hidup atau penjara 30 tahun. Klasifikasi H, korupsi Rp 1 trilyun ke atas, hukumannya adalah hukuman mati. Jika kerugian negara dikaitkan dengan indeks hukuman penjara bagi terpidana rasanya adil. Sebab semakin tinggi jabatan seseorang dalam korupsi, maka semakin besar kerugian negara yang diakibatkannya. Juga UU Tipikor menggunakan indeks kerugian negara dan hukuman penjara model begini, maka hakim Tipikor hampir tidak punya peluang untuk dinegosiasi. Sebab pengadilan Tipikor hanya akan membuktikan, benarkan tersangka nyata-nyata telah merugikan negara, dan berapa nilai kerugian itu. Ketika pertanyaan itu muncul, maka para saksi tentunya banyak dari kalangan badan atau lembaga pemeriksa keuangan untuk menentukan berapa kerugian negara yang diakibatkan perbuatan terdakwa pidana korupsi. Tidak seperti sekarang, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau BPKP selalu berteriak bahwa ada potensi kerugian negara. Lalu atas dasar itu kemudian KPK mengejar perkaranya, tapi para akuntan tersebut tidak pernah dijadikan saksi, minimal saksi ahli untuk memastikan berapa kerugian negara. Dengan menggunakan indeks nilai kerugian dan hukuman ini, maka masyarakat mudah untuk mengontrol pelaksanaan putusan hakim Tipikor. Sebab kalau kerugian negara sudah masuk dalam kalasifikasi tersebut di atas, maka sudah dipastikan hukumannya sesuai dengan indeks kerugian negara tersebut. Tidak ada peluang hakim atau terdakwa untuk menyogok hakim agar hukumannya ringan. Kalau UU Tipikor tidak menggunakan indeks nilai kerugian dan hukuman seperti UU 31/1999, maka kasus suap teradap hakim tetap akan merajalela, hanya modusnya yang berbeda. Kalau selama ini para penyuap langsung datang ke ruang kerja para hakim, mungkin gayanya akan beralih dengan cara lain. Namanya juga manusia pintar pembuat putusan hukum, maka dia tahu celah hukum untuk dimainkan. Kalau UU Tipikor masih tetap kayak begini, kasihan KPK. Capek-capek menguntit, merekam, mengintai, memburu dan menyidik, tapi begitu masuk Pengadilan Tipikor, malah tersangkanya bebas atau hukumannya ringan padahal kerugian negara besar. Lalu DPR RI berteriak mana usaha KPK memberantas korupsi, kok tidak sepadan dengan usaha dan biaya yang telah dikeluarkan negara. Setiap kali ada rapat dengar pendapat antara KPK dan DPR RI, selalu terdengar kalimat-kalimat demikian. Padahal pokok soal adalah UU Tipikor ini. Mau sampai nangis "darah" juga nggak bakal koruptor kapok. Karena ada guyonan kalangan koruptor; korupsi Rp 100 milyar, siapkan biaya perkaranya setengahnya. Keuntungan bersih buat deposito hari tua masih bisa Rp 50 milyar. Biaya Rp 50 milyar itu terdiri dari biaya pengacara kelas kakap, biaya aparat kejaksaan dan pengadilan, sampai biaya keringan penjara agar setiap tahun minimal dapat dua kali remisi yakni hari raya agama dan hari kemerdekaan setiap 17 Agustus. Sebagai penulis awam hukum, penulis menilai jika negara ini tidak melakukan revsi UU Tipikor ini, kita patut berpikiran bahwa upaya pemberantasan korupsi di negeri ini hanyalah "main-main" karena prosesnya seperti permainan sebuah drama yang judulnya berganti-ganti juga berseri sesuai cerita yang dimaikan. Salam perjuangan wahai anak bangsa!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun