Mohon tunggu...
Mr Sae
Mr Sae Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti

Pemerhati sosial dan kebijakan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Integrasi Sapi dan Tebu Pacu Pendapatan Petani

22 Agustus 2017   10:51 Diperbarui: 22 Agustus 2017   11:04 2448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah mentargetkan laju pertumbuhan produksi gula sebesar 7,81 % per tahun, untuk meraih produksi gula sebesar 3,8 juta ton pada tahun 2019.  Tetapi produksi gula nasional selama 2013-2014 berlangsung stagnan, sekitar 2,5 juta ton, bahkan th 2015 produksi gula nasional hanya mampu mencapai 2,3 juta ton. Salah satu kemungkinan penyebabnya secara teknis adalah belum cukupnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan pupuk organik untuk tebu lahan kering. Padahal areal tebu lahan kering saat ini mencapai 65% dari luas areal tebu, yakni sekitar 300 ribu ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik pada tebu lahan kering mampu meningkatkan produktivitas 30-70%.  

Diperkirakan tebu lahan kering saat ini, membutuhkan  1,5 juta ton pupuk organik, dengan asumsi setiap ha butuh 5 ton pupuk. Model integrasi tebu ternak sudah lama dikumandangkan, tetapi implementasi di lapangan belum nyata, apalagi dalam bentuk sistim pertanian modern.  Model pengembangan ini selain secara langsung untuk menyediakan pupuk organik bagi tebu lahan kering dalam mendukung peningkatan produksi gula, potensi dan manfaatnya sekaligus meningkatkan produksi daging, pengurangan emisi GRK (terutama gas Methane dan CO2) dan peningkatan nilai tambah serta kesejahteraan petani. Kebutuhan pupuk organik tebu yang ditanam di lahan kering sangat potensial untuk dipenuhi sendiri melalui pengembangan   unit model integrasi tebu-sapi, yang setiap unitnya meliputi pengelolaan 5 ha pertanaman tebu dengan satu unit kandang 20 ternak sapi, yang dilengkapi dengan 2 instalasi biogas. 

Pengelolaan model integrasi tebu-sapi yang baik secara bisnis dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing usaha tani tebu dan ternak. Pengembangan model integrasi tebu sapi secara bertahap untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik 25% dari areal tebu yang ditanam di lahan kering (75 ribu ha) diperkirakan melalui kegiatan pembibitan dapat menambah paling sedikit 225 ribu anakan sapi dari hasil pembibitan per tahun, dari hasil 1 unit sebanyak 15 anakan melalui program nasional Sapi Induk Wajib Bunting (SIWAB). Setiap unit model integrasi tebu sapi membutuhkan investasi awal sebesar 1,36 milyar dan akan diperoleh break even poin (BEP) dengan total investasi selama 3 tahun sebesar 2,36 milyar dan B/C Rasio sebesar 1,9.

Program peningkatan produksi gula yang telah dicanangkan pemerintah menuju swasembada sejak 2014-2019, pada tahun ini 2016 telah dianulir karena  alokasi anggaran yang peningkatannya cukup nyata sejak 2014 dan 2015, yakni masing-masing 350 milyar rupiah dan 1,4 triliyun rupiah ternyata tidak berdampak nyata terhadap produksi gula nasional.  Pemerintah mentargetkan laju pertumbuhan produksi gula sebesar 7,81 % per tahun, untuk meraih produksi gula sebesar 3,8 juta ton pada tahun 2019.  

Program yang telah dicanangkan meliputi a.l., bongkar ratoon, rawat ratoon, perluasan lahan, pendampingan, pengawas rendemen, peralatan, pupuk. Tetapi produksi gula nasional pada 2013-2014 berlangsung stagnan, sekitar 2,5 juta ton, dan bahkan menurun pada tahun 2015 dengan pencapaian hanya 2,3 juta ton.  Berbagai program yang dilaksanakan masih belum memberikan dampak nyata terhadap peningkatan produksi gula nasional.  Beberapa  pengembangan program yang potensial untuk berkontribusi nyata meningkatkan produksi gula belum dilaksanakan secara optimal,  salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan pupuk organik untuk tebu di lahan kering. Kegiatan ini sudah pernah dilaksanakan secara terbatas pada tahun 2012, dan menunjukkan hasil yang nyata, tetapi tidak dikembangkan lebih lanjut.

Pemenuhan kebutuhan pupuk organik bagi pertanaman tebu lahan kering melalui integrasi tebu-sapi seharusnya dapat menjadi salah satu terobosan dalam peningkatan produktivitas tebu dan sekaligus peningkatan produksi daging sapi melalui pemanfaatan pucuk tebu sebagai pakan yang dapat memberikan kontribusi nyata bagi program menuju swasembada.

Areal tebu yang luasnya mencapai 470 ribu ha, sekitar 90% (420 ribu ha) adalah pertanian rakyat dan sekitar 65 % (+300 ribu ha) ditanam di lahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan pupuk organik (pupuk kandang sapi) mampu meningkatkan produktivitas 30-70 % tebu lahan kering. Bagi pertanian tebu swasta, kebutuhan pupuk organik mudah dipenuhi dari limbah blothong pabrik gula (PG), tetapi tidak demikian halnya bagi pertanian rakyat. Terkait pakan ternak, satu hektar tanaman tebu mampu memproduksi pucuk tebu sebagai pakan hijauan bermutu sebanyak 25-40 ton tergantung varietas yang ditanam. Sehabis panen umumnya pucuk tebu dibakar, sedikit sekali dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 5 hektar tanaman tebu mampu menyediakan pakan 20 sapi  selama satu tahun melalui pakan fermentasi yang dapat dikonsumsi setiap saat dengan manajemen pakan yang tepat dan dengan penambahan konsentrat. 

Pada 75 ribu hektar (25%) tanaman tebu di lahan kering, bila dilaksanakan program tebu-sapi, diperkirakan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan 15 ribu kandang komunal sapi pembibitan ataupun penggemukan sebanyak 300 ribu sapi, yang diperkirakan secara kasar mampu menghasilkan limbah kotoran sebanyak 600 ribu ton setahun (setara dengan 400 ribu ton pupuk organik) dengan asumsi setiap sapi menghasilkan limbah kotoran  10 kg sehari.  

Produksi limbah demikian  ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik (pupuk kandang sapi) bagi 80 ribu hektar tanaman tebu. Perlakuan pupuk kandang pada areal tebu lahan kering ini dapat diperkirakan mampu memberikan kontribusi peningkatan produksi gula nasional sebanyak 30% tanpa perluasan lahan.  Selain itu, pemanfaatan pucuk tebu sebagai pakan bagi pembibitan sapi diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan pakan sapi bagi pembibitan sapi yang mampu menghasilkan 15 sapi per kandang per tahun atau menambah 225 ribu populasi sapi per tahun.  Suatu kontribusi yang positif bagi peningkatan produksi daging sapi nasional.

Nilai tambah integrasi tebu-sapi juga dapat diperoleh dari produksi gas methane untuk kebutuhan masak rumah tangga petani. Hasil penelitian menunjukkan untuk setiap kandang komunal 20 sapi dapat dipasang dua instalasi biogas dengan kapasitas a 5 m3 gas, yang dapat digunakan untuk kebutuhan masak dua rumah tangga petani a 3 jam sehari. Selain itu, produksi urine sapi juga dimanfaatkan sebagai biofertilizer, biopestisida dan hormon tumbuh bagi pembibitan stek tanaman. Urine sapi dapat diolah secara sederhana dengan fermentasi menggunakan starter bio. Harga 1 liter urine terfermentasi bervariasi antara 4-6 ribu rupiah. Setiap sapi diperkirakan mengeluarkan urine minimal 5 liter sehari. 

Setiap unit model intergrasi model tebu sapi membutuhkan modal awal sebesar 1,36 milyar, dengan total investasi sebesar 2,36 milyar yang diperoleh break even poin (BEP) pada tahun ke 3. Pembakaran gas methane untuk kepentingan masak dan pemanfaatan pucuk tebu untuk pakan juga berkontribusi terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca, terutama methane dan CO2.  Kegiatan ini diharapkan memberikan kontribusi dukungan terhadap program penekanan emisi gas rumah kaca tahun 2025 hingga 26%.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun