Mohon tunggu...
Sabilla Ayu
Sabilla Ayu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perempuan Kemana Ya?

27 April 2017   13:34 Diperbarui: 27 April 2017   22:00 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada dasarnya Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan untuk mengabdi pada-Nya. Secara biologis, perempuan berbeda dengan laki-laki, tetapi dari segi hak dan kewajiban sebagai manusia, perempuan dan laki-laki kedudukannya sama. Namun, kenyataan yang bisa kita lihat di masyarakat, tidak sesuai. Masih banyak terjadi diskriminasi dan ketidakadilan pada perempuan.

Ketidakadilan gender ini berakar dari perbedaan gender. Jika saja masyarakat tidak menganggap laki-laki dan perempuan berbeda mungkin ketidakadilan gender ini tidak akan terjadi.

Sejak lahir, tanpa disadari kita sudah diberi bekal peran jenis kelamin. Setiap jenis kelamin pasti memiliki semacam tuntutan perannya masing-masing yang ada di masyarakat atau budaya setempat. Contohnya jika perempuan, ia memiliki peran jenis kelamin mampu hamil/mengandung, mampu melahirkan, mampu menyusui anaknya, mengalami menstruasi. Ketika peran-peran ini terpenuhi, maka wanita dianggap sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan. Peran laki-laki diharapkan lebih dominan ketimbang perempuan. Dominasi ini menjadikan posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan sehingga terjadi penyimpangan karena posisi perempuan dan laki-laki tak lagi sejajar. Contoh lainnya seperti laki-laki dituntut untuk menjadi pemimpin, menjadi kepala keluarga, dan mampu melindungi perempuan dan keluarganya. Demikian pula dengan perempuan, perempuan seharusnya lemah lembut dan bersifat sabar.

Biasanya, kaum perempuan dinomorduakan dalam hal ekonomi. Perempuan dianggap kurang berhak menjadi pemimpin, kurang layak bekerja di sektor publik, dan kurang pantas mendapatkan gaji lebih tinggi dibandingkan suaminya. Pandangan masyarakat dalam konteks kerumahtanggaan, istri (perempuan) dianggap kurang etis jika berpangkat lebih tinggi dari suami dan mendapatkan penghasilan lebih tinggi dari suami. Biasanya, perempuan dalam setiap pengambilan-pengambilan keputusan penting, ide gagasan, atau pendapatnya tidak terlalu penting dan bukan yang utama. Keputusan tertinggi ada pada laki-laki.

Berdasarkan sensus penduduk di Indonesia, kebanyakan penduduknya adalah perempuan. Namun kemanakah perempuan di kursi pemerintahan? Kita mengetahui bahwa jarang sekali ada perempuan yang duduk di kursi pemerintahan. Kenapa jarang sekali perempuan berada di kursi pemerintahan? Menurut saya karena pandangan masyarakat yang salah akan perempuan. Masyarakat memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah, perempuan hanya boleh berada di rumah mengurus suami dan anak. Menurut saya ini adalah stereotip (pelabelan) perempuan yang salah. Sering kali perempuan dilabeli dengan sifat-sifat tertentu yang merugikan. Salah satu contohnya adalah adanya stereotip yang menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang emosional dan labil sehingga tidak pantas dijadikan pemimpin atau memimpin sebuah organisasi. Alasannya adalah karena keputusan yang nanti diambil tidak akan adil karena melibatkan unsur emosi yang tinggi dan keputusan tersebut tidak kuat karena sifat perempuan yang dianggap labil. Menurut saya dengan adanya stereotip-stereotip ini yang berkembang di masyarakat dapat membuat para perempuan terhambat untuk memperoleh kedudukan yang sama dengan laki-laki.

Karena stereotip-stereotip ini menimbulkan gerakan “feminisme”. Yaitu sebuah gerakan dan ideologi yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dalam politik, ekonomi, budaya, ruang pribadi, dan ruang publik. Feminisme seringkali digambarkan secara buruk oleh berbagai macam kelompok. Gerakan feminisme ini harus didukung karena menurut saya perempuan tidak bisa lagi dipandang sebelah mata karena sifatnya yang lemah lembut dan sabar. Perempuan berhak mendapat perlakuan yang sama dengan laki-laki.

Kesadaran masyarakat akan keadaan perempuan harus lebih di sadarkan kepada masyarakat. Karena perempuan juga bisa hebat, contohnya Ibu Tri Rismaharani sebagai walikota Surabaya. Dahulu, Surabaya belum terlalu dikenal sebagai kota besar yang hijau. Namun, saat Bu Risma menjabat sebagai walikota, Surabaya menjadi lebih hijau dan  dikenal masyarakat luas. Belum lagi saat Surabaya dikenal di luar negeri karena kotanya yang bersih dan hijau.

Belum lagi jika ada respon masyarakat yang takjub saat mengetahui suatu perusahaan yang maju karena dipimpin oleh perempuan. Masyarakat akan berkata, “Oh perempuan ya?”, “Wow, perempuan.”. Menurut saya respon ini terkesan merendahkan wanita selama ini. Masyarakat menganggap perempuan adalah manusia bodoh yang tidak berpendidikan tinggi karena mengurusi rumah tangga. Di sini, perempuan berhak mendapat pendidikan tinggi. Tak semua perempuan tidak sekolah. Perempuan perlu pendidikan tinggi agar tidak direndahkan oleh laki-laki.

Belum lagi masyarakat yang lebih memilih pembantu rumah tangga adalah perempuan. Karena masyarakat akan menganggap aneh jika laki-laki yang menjadi pembantu rumah tangga. Belum lagi banyak perempuan-perempuan yang akan dikirim ke luar negeri untuk menjadi TKW. Ini karena anggapan masyarakat bahwa perempuan harus bisa melakukan pekerjaan rumah. Sebagai contoh, saya sendiri. Dari kecil saya sudah diajari untuk bisa menyapu, mengepel, mencuci piring, dan melakukan kegiatan rumah lainnya. Ini seakan sudah kodrat saya sebagai perempuan untuk bisa melakukan hal ini. Karena jika saya sudah berkeluarga nanti dan tidak bisa melakukan hal rumah tangga tersebut, suami saya tidak akan suka berada di rumah. Jika saya tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tersebut, saya akan dianggap sebagai istri yang tidak baik.

Di dalam masyarakat, perempuan dianggap sebagai manusia yang lemah. Ini dibuktikan dengan maraknya kekerasan-kekerasan yang terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, kasus perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelacuran/prostitusi, pornografi, kekerasan dalam kontrasepsi, kekerasan terselubung dan pelecehan seksual. Kebanyakan kasus-kasus diatas dialami oleh sebagian perempuan. Apalagi KDRT, laki-laki yang merasa kuat akan memukul perempuan. Berdasarkan biologisnya, laki-laki jelas berbeda dengan perempuan karena fisik perempuan lebih lemah. Tapi bukan berarti laki-laki bisa meluapkan amarahnya kepada perempuan.

Sebenarnya, anggapan masyarakat akan perbedaan laki-laki dan perempuan tidak masalah jika tidak menyangkut perbedaan kualitas antara satu jenis kelamin satu dengan jenis kelamin lainnya. Jika tentang karakter fisik dan penampilan tidak masalah. Semisal jika hanya laki-laki pasti berotot daripada perempuan. Atau mekanik adalah pekerjaan laki-laki sedangkan pekerjaan perempuan adalah perawat. Namun jika sudah menganggap kualitas laki-laki lebih baik daripada perempuan, inilah hal yang salah. Tingkat kualitas manusia tidak seharusnya dilihat dari jenis kelaminnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun