Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bangsa Ini Merindukan Guru Bangsa

22 Juli 2017   09:49 Diperbarui: 22 Juli 2017   10:11 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejauh pengamatan saya, yang mungkin tidak begitu cermat, sebenarnya belum pernah ada rumusan, yang bersifat umum sekalipun, tentang defenisi atau daftar kriteria seorang guru bangsa. Dan kayaknya memang tidak terlalu diperlukan rumusan saklek tentang itu.

Tapi kalau mengacu pada pengalaman sejarah sekitar 20 tahun terakhir, setidaknya sejak menjelang Era Reformasi, yang mulai bergulir kencang sekitar 1997 dan mencapai puncaknya pada Mei 1998, kita memiliki sejumlah tokoh nasional, yang saat itu, meskipun kita  mungkin sering tidak sepakat dengan pandangannya, yang selalu menjadi rujukan, minimal pandangannya menjadi bahan diskursus nasional atau di kalangan komunitasnya.

Saat ini, saya tidak/belum melihat ada tokoh nasional yang memiliki kemampuan dan kapasitas, yang mampu "menggiring" diskursus untuk kasus-kasus nasional, dengan kematangan emosional yang relatif stabil dan pandangan menukik, yang bukan hanya mengacu pada pengalaman praktis tapi juga ditopang basis teori yang kuat.

Sebagai contoh: meskipun sering ditentang banyak orang ketika masih hidup, untuk hampir setiap kasus nasional, pendukung dan penentangnya selalu menanti komentar dan pandangan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) atau Cak Nur (Noor Khalis Madjid). Atau dalam batasan tertentu, Amien Rais, yang mohon maaf, belakangan memang semakin memudar sentuhan intelektualitasnya.

Pada awal Reformasi, tiga tokoh ini memainkan peran signifikan, setidaknya, di awal-awal Era Reformasi.

Tentu saja, saya tidak meragukan apalagi menafikan kemampuan dan kapasitas keilmuan sejumlah tokoh yang sedang beredar. Tapi kesan saya - sekali lagi semoga saya sangat keliru - sebagian besar hanya tulus memposisikan diri sebagai "guru kelompoknya", bukan sebagai guru bangsa.

Dan sebenarnya, kita masih punya tiga tokoh yang pernah menjadi figur puncak atau orang kedua dalam pemerintahan: Tri Sutrisno, BJ Habibie, Ibu Mega dan SBY.

Dua yang pertama (Tri Sutrisno, BJ Habibie) terkesan lebih sering menarik diri dari ruang publik, bisa karena faktor sepuh atau memang karena tidak lagi mampu memompa gagasan segar tentang kebangsaan dan kenegaraan.

Adapun Ibu Mega, saya melihat beliau lebih mengidentifikasi diri sebagai milik PDIP, dan mungkin juga milik kelompok nasionalis historis.

Sementara SBY, beliau masih sehat afiat dan tampaknya masih berambisi tampil, buktinya masih mempertahankan posisinya sebagai pengendali Partai Demokrat. Tapi beberapa konferensi pers SBY ketika tensi kasus Ahok sedang tinggi-tingginya, kembali membuktikan bahwa untuk menjadi guru bangsa memang tidak enteng: sebab salah satu indikator utamanya adalah memposisikan diri bukan hanya milik kelompoknya, tetapi milik bangsa dan negara.

Kalau grade-nya diturunkan, dalam arti guru bangsa berdasarkan spesialisasi, di bidang ekonomi misalnya, bangsa ini belum lagi melahirkan tokoh sekelas Sumitro Djojohadikusumo, yang memiliki kematangan maksimal di bidang ekonomi, secara teori ataupun praktis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun