Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Seorang Sahabat: Almarhum Mulyadi Gaffar

16 Oktober 2019   20:53 Diperbarui: 18 Oktober 2019   05:13 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Al-baqa'u lillahi wahdahu (keabadian semata milik Allah swt). Hari ini, salah satu sahabat yang pernah dan selalu menjadi inspirasi bagi saya dan teman-teman seangkatannya: Mulyadi Gaffar, wafat di Sorowako, Sulawesi Selatan, pada Rabu, 16 Oktober 2019, pukul 14.30 WITA.

Sejak "berpisah" pada tahun 1985 (sekitar 34 tahun silam), begitu tamat dari Ponpes IMMIM (Ikatan Masjid Mushalla Indonesia Muttahidah) di Makassar, saya dan Mulyadi Gaffar hanya satu kali sempat bertemu langsung secara fisik, sekitar tahun 1998 atau 1999. Ketika itu, bersama Sdr. Akmal Hasan (juga angkatan Delima IAPIM), saya menemuinya di rumahnya di bilangan Soreang, Makassar.

Lantas lama tak ada kabarnya. Saya mendengar Mulyadi memang kurang sehat. Dan konon, penyakitnya tidak ada obatnya. Domisilinya juga berpindah-pindah: Makassar, Palopo, Malili, Sorowako, Palu. Tapi saya selalu berusaha ter-update tentangnya. Belakangan saya banyak mendengar cerita-cerita unik dan menarik tentang perjalanan hidup Mulyadi Gaffar melalui Sdr Mustari Randa di Bulukumba, yang selalu punya segudang cerita tentang Mulyadi, termasuk cerita-cerita spiritual (sebagian bersifat klenik).

Lalu, pada akhir tahun 2018, tiba-tiba komunitas angkatan kelima Pesantren IMMIM (Delima IAPIM) dikagetkan berita bahwa Mulyadi Gaffar masuk dan dirawat di sebuah rumah sakit di Makassar. Tentu saja, teman-teman Delima di Makasar menjenguknya di Rumah Sakit. Melalui momentum itu, dari Jakarta dan melalui aplikasi video-call, saya ngobrol langsung dengan Mulyadi, yang ketika itu sedang duduk di ranjang perawatan rumah sakit dengan wajah lesu dan pucat. Namun intonasi suara dan ketawa serta gaya teguran dan tutur-sapanya masih seperti ketika masih di Pondok. Allah mentakdirkan, itulah "pertemuan" dan obrolan terakhir saya dengan Mulyadi. Dari seorang teman saya mendengar, Mulyadi meninggalkan (beberapa teman menyebut "kabur") dari rumah sakit sebelum perawatannya dianggap selesai.

Dalam beberapa kali reuni sesama angkatan kelima IAPIM (Delima), saya dan Mulyadi selalu berselisih kesempatan: kalau saya hadir, dia yang alpa. Atau sebaliknya, kalau dia hadir, giliran saya yang absen.

Dan tentu banyak sekali cerita menarik tentang Mulyadi Gaffar ketika kami angkatan kelima (Delima) masih mondok di Pesantren IMMIM, Makassar (saat itu masih bernama Ujung Pandang). Saya ingat, pada awal sampai pertengahan tahun 1980-an, stasiun TVRI waktu itu setiap minggu menayangkan film serial Amerika yang berjudul "Starsky and Hutch", yang dibintangi Paul Micahel Glaser (memerankan Starsky) dan David Soul (memerankan Hutch). Dua pemain ini sungguh tangguh dan mempesona di layar kaca, menurut ukuran saat itu. Seng ada lawannya, pokoknya.

Entah siapa yang mulai, sambil bercanda campur semi-serius, Mulyadi lalu sering kami panggil dengan nama "Starsky". Alasannya, perawakan dan postur tubuh, juga rambut dan garis wajah Mulyadi Gaffar memang agak-agak mirip dengan si-Starsky di serial itu. Selain itu, di kalangan angkatan Delima-IAPIM, Mulyadi memang memiliki keunggulan beladiri yang relatif tamat. Belakangan saya mengetahui, Mulyadi sebenarnya adalah pendekar silat (turunan dari leluhurnya). Tapi terus terang, saya tidak pernah melihatnya terlibat duel secara langsung melawan seseorang.

Ada kenangan lain yang juga sangat menarik: di kalangan anggota Delima IAPIM yang mondok di Pesantren IMMIM pada periode 1979-1985, Mulyadi Gaffar termasuk santri yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata, setidaknya dibanding saya. Indikatornya jelas: waktu kelas 4-5-6 (setingkat SMA) di Pesantren IMMIM, Mulyadi adalah jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), sementara saya adalah jurusan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Tapi bukan hanya itu.

Saya ingat persis, waktu kelas 5 (setara kelas 2 SMA) di Pesantren IMMIM, saya bersama Mulyadi Gaffar dan Akmal Hasan ditunjuk oleh pimpinan pondok untuk mewakili Tamalanrea dalam pertandingan cerdas-cermat bidang agama se-Kotamadya Makassar. Sebelum berlomba, kami bertiga dipanggil ke rumah dinas Pak Camat. Lantas seorang pegawai kecamatan tampaknya ingin mengetahui, mungkin juga sekaligus menguji, apakah kami bertiga pantas mewakili Tamalanrea.

Singkat cerita, Akmal Hasan (yang paling bagus bacaan Quran-nya di antara kami bertiga) diminta membaca Quran dari awal Surat Al-Baqarah. Begitu Akmal Hasan selesai membaca sekitar 10 ayat pertama Surat Al-Baqarah, tiba-tiba dan tanpa diminta, Mulyadi Gaffar langsung menerjemahkan sepuluh ayat itu, tanpa melihat teks terjemahan. Mulyadi rupanya menghapal terjemahan 10 ayat pertama Al-Baqarah. Terus terang, untuk ukuran anak pondok saat itu, sungguh luar biasa. Dan sejak saat itu, saya sungguh terkagum-kagum pada Mulyadi Gaffar, meskipun saya tidak pernah mengutarakan kekaguman itu secara langsung kepadanya.

Jika digambarkan melalui deskripsi yang ringkas: Mulyadi Gaffar adalah orang yang energik, disiplin, gampang akrab dalam bergaul, memiliki rasa kesetiakawanan yang di atas rata-rata; dengan intonasi suaranya yang khas, ia memiliki kepribadian dan kharisma yang mampu dengan cepat meyakinkan setiap lawan bicaranya (konon juga termasuk terhadap lawan jenisnya, hehehe). Seorang guru pondok pernah menyampaikan, Mulyadi memiliki kharisma kepemimpinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun