Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apa Kabar Pak Presiden?

3 Mei 2017   19:39 Diperbarui: 4 Mei 2017   05:32 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku mengiyakan, kala ia menghubungiku lewat WA: Minggu kita nongkrong.  Di tempat biasa.

Ketika kami bertemu kembali di bangku taman, ia duduk dengan wajah muram.  Kacamata bening yang mestinya  kutatap agar bisa melihat hitam bola matanya  terimbas buram.  Bibirnya tak lagi merekah merah menyala, tapi merah kusam.  Segalanya kusam.  Semua terasa tak enak dipandang.  Bulu mata lentik, yang belalang pun sering tergoda ingin mendarat, seakan layu seperti bunga putri malu yang tersentuh sesuatu.

Jika beberapa waktu kemarin ia melonjok girang karena mendapatkan tiket untuk bertemu Presiden, kini kegirangannya luntur seperti masuk dalam kubangan lumpur. Rasanya sepet. Akhirnya, tak ada yang bisa aku sembunyikan lagi, aku  jengah jika harus berlama-lama duduk berdua dalam diam yang tak berkesudahan.

Aku, tanpa dia harus mengungkapkan, sudah bisa menebak-nebak.  Perempuan ini tengah menggenggam kesal dengan besaran yang sewaktu-waktu butuh wahana untuk meledakkan kekesalan itu.  Dari akun facebook  miliknya, aku tahu, momen untuk berjabat tangan dengan Presiden kesayangan dan juga ibu negara pupus. 

Ia menulis dalam statusnya: Tinggal jarak dua atau tiga meter lagi, aku bisa bersalaman.  Kemudian mengambil gambar.  Tapi seketika itu semua berantakan….!

“Anda saja semua yang dibelakang sabar.  Mau diatur.  Pasti situasi tidak seperti itu.”  Dia mengenang suasana pertemuan Presiden dengan buruh migran yang gaduh.  Dan akhirnya pihak keamanan mengambil tindakan mencegah hal yang buruk.  Suasana gedung sudah di luar dugaan.

Perempuan yang ada disampingku ini mendapatkan tiket dengan perjuangan yang melelahkan.  Dia mesti bersaing dengan buruh migran yang puluhan ribu jumlahnya.   Jika bukan kali ini, tentu harus menunggu untuk waktu yang tidak akan diketahui lagi kapan terjadi.  Ia berujar pada teman-temannya beberapa minggu, mungkin dua minggu, setelah tahu ada pemberitaan bahwa Presiden akan mengunjungi Hongkong: Aku akan hadir, apakah kalian juga ikut?

Ia beruntung, pada baris kedua ia mendapatkan kursi.  Barisan yang sangat memungkinkan untuk lebih bisa menempelkan tangannya dengan tangan presiden saat melewat mendekat hadirin.  Sedangkan aku sendiri bertanya dalam hati: Apa bedanya tanganku dengan tangan Presiden?  Apa bedanya pula tanganmu dengan tangan ibu negara?

Aku masih saja menunggu, agar perempuan ini membuka, memulai pembicaraan.  Asal tahu, lelaki sepertiku merasa keji kalau harus memecah kekesalan perempuan.   Aku  menunggu sebatas kesabaranku dan membiarkan kekesalannya meleleh sendiri.  Mencair. Dan kesal itu menguap oleh panas hari ini.  Atau menetes ke rerumputan taman kota dan membuat kelembabannya terjaga.

“Kau tahu? Siapapun akan kecewa jika berada di posisiku.  Semua jadi bubar.  Segalanyanya jadi berantakan.  Meraka tak sabar….”

Ia membuka diri.  Mungkin ia tak enak juga bila berlama-lama dalam hening, sedangkan waktu terus beringsut tak peduli dengan perasaan yang membuncah pada dirinya.  Juga perasaanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun