Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dokter Ketiga

21 Desember 2018   11:13 Diperbarui: 22 Desember 2018   01:01 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribunnews.com

Bapak bersikeras untuk ganti dokter.  Ada tiga dokter spesialis penyakit dalam di rumah sakit yang selama ini kami datangi.  Yang mereka punya ruang sendiri.  Yang bertiga tiap hari menjalankan praktek. Sayangnya, baru dua dokter yang memeriksa bapak saya.

Saya tidak terlalu ambil pusing dengan permintaan bapak ini. Tapi lama-lama berubah pikiran.  Tapi saya pun tidak serta merta bisa memenuhi keinginannya.  Mau bagaimana, bagian pendaftaran yang menentukan dengan dokter siapa pasien akan diperiksa nanti. 

Saya sering melihat, pasien atau yang pengantar minta kepada petugas untuk dirujuk ke dokter tertentu.  Jawabannya selalu: Semua dokter sama. Semua sudah spesialis.  Maka saya urung untuk meminta seperti itu.

Bapak saya mengidap hipertensi.  Sedari usia empat puluh tahunan,  semasa saya SD.  Kalau kepala pusing, yang rasanya berputar-putar itu,  ia muntah-muntah.  Suaranya menggelegar.  Mengingatkan saya saat penyembelihan hewan qurban di halaman masjid.

Ia baru tahu terkena darah tinggi sewaktu berobat ke kota yang   dokternya terkenal.  Dokter keturunan Tionghoa itu bilang, darah tinggi bisa diatasi dengan rutin jalan kaki pagi-pagi.  Saya yang waktu itu masih anak-anak melihat, tiap habis shubuh ia keluar rumah. Jarang sekali waktu itu orang-orang desa berjalan-jalan pagi.  Listrik belum masuk.  Gelapnya jalan mengenggankan orang untuk sekedar menggerakkan kaki di jalan raya.

Awalnya dia sendiri. Seiring waktu beberapa orang sebaya mengikuti. Kemudian ada  yang lebih muda lagi bergabung.  Jadilah kelompok pejalan kaki tanpa alas kaki.  Yang langkahnya tak sebatas desa sendiri. Mereka menembus kabut pagi menjajah desa tetangga.  Tak ayal banyak orang yang kemudian mengenalnya.
***
Dokter Rangoyo adalah orang yang dimaksud.  Yang selalu datang lebih awal ketimbang kedua koleganya. Berperawakan besar, tepatnya disebut tambun. Sangat pasti berat badannya tak seimbang dengan tingginya. Berjalan pun seakan berat.  Bajunya selebar karung beras satu kuintal.  Nilai estetisnya kurang memadai. Kacamatanya tebal.  Amat tebal.  Seperti penanda orang ini gemar membaca.

Bapak sering mendengar dari banyak pasien bahwa dokter Rangoyo sangat menyenangkan.  Saat di ruang tunggu Poli Dalam para pasien sering berbagi cerita.  Mereka senang dengan dokter ini.  Dokter yang santai.  Suka bercanda.  Obatnya cocok.

Suatu sore saya bertemu seorang dokter umum yang praktek partikelir tak jauh dari rumah saya yang di desa ini.  Saya cerita tentang penyakit Bapak saya.  Kalau bisa ke dokter Rangoyo saja, kata dokter itu.  "Tapi banyak penggemarnya.  Jadi mesti berebut antrian." Demikian juga kesaksian Pak Suwono, yang satu desa dengan saya.  Yang sudah berkali- kali diperiksa dokter ini. Ujarnya kepada saya dan Bapak, "Dia Dokter yang suka bertanya. Kemudian kasih saran."

Mungkin karena cerita semacam itulah, membuat Bapak saya ingin sekali ini masuk di ruang praktek dokter Rangoyo, diperiksa olehnya.

"Kita tidak mungkin meminta dokter ini, dokter itu.  Kita kebagian dokter yang manapun harus terima."  Saya mencoba menjelaskan itu ke Bapak suatu ketika.

"Coba ke tempat praktek sorenya," Bapak berucap.  "Saya ingin ke dokter Rangoyo."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun