Mohon tunggu...
Septri Lediana Lanis
Septri Lediana Lanis Mohon Tunggu... writer and journalist -

Dikenal juga dengan nama Ledian Lanis www.lediana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Tak Mau Kau Jadi Tentara

24 September 2012   02:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:50 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ayah, kalau sudah besar nanti aku mau jadi tentara,”
“Ayah pasti akan bangga melihat aku berseragam loreng, kan? Apalagi ditambah dengan senapan,”
Rohmin memilih diam mendengar ocehan anak semata wayangnya yang baru berusia 8 tahun itu. Bukan pertama kalinya, Sardi menuturkan cita-citanya menjadi tentara. Hampir setiap kali ia melihat tentara, entah itu di TV ataupun ketika berpapasan di jalan. Sardi selalu berkata :

“Ayah, kapan aku bisa seperti itu,”
“Ayah, Aku mau secepatnya jadi tentara,”

Setiap kali Sardi mengatakan hal itu, Rohmin hanya mengangguk. Sesekali ia pun sekedar berkata:

“Kau harus rajin belajar biar pintar dan rajin makan biar cepat besar. Nanti kalau sudah besar dan pintar baru jadi tentara,”

Sardi selalu mengangguk dengan kesungguhan, tiap kali mendengar nasehat ayahnya yang berkaitan dengan cita-citanya menjadi tentara. Secara tak langsung pun, istri Rohmin, Nuri menemukan cara ampuh untuk memaksa Sardi, bila sudah putus asa apabila Sardi tidak ingin makan. Nuri akan berkata:

“Katanya mau jadi tentara. Tentara itu harus kuat. Mana bisa kuat kalau tidak makan,”

Mendengar kata-kata itu, Sardi acapkali seperti tersadar dari kesalahan yang amat fatal. Ia akan makan dengan lahap, bahkan memaksa diri makan sebanyak-banyaknya. Nuri pun tersenyum melihat perangai anaknya itu.

Bukan hanya itu saja, tetangga di sekitar rumah mereka pun sudah banyak yang tahu cita-cita Sardi. Tak lain karena Sardi selalu menceritakannya pada semua teman-temannya dan juga tetangga. Pernah ada tetangga yang melihat Sardi hobi makan permen berkata:

“Sardi, mau jadi tentara giginya harus bagus. Permen itu akan membuat gigimu rusak,” Sardi pun menurut. Sejak saat itu ia pun tak pernah lagi menyentuh permen.

Sebenarnya, di hati Nuri. Ia berharap anaknya itu menjadi dokter. Sebenarnya menjadi dokter adalah cita-cita Nuri sejak kecil. Namun, karena keterbatasan ekonomi keluarga. Cita-cita itu terkubur berbarengan dengan putusnya ia sekolah di kelas tiga SMP. Hingga saat ini, mau tidak mau ia tak boleh lagi mengingat manisnya cita-cita itu lagi, kalau tidak mau makan hati. Bagaimana tidak, kehidupan yang berkecukupan ia dambakan sama sekali tak dapat ia rasakan. Ia harus puas tinggal di rumah sangat sederhana di sebuah desa pinggir pantai, yang dibelinya bersama Rohmin dengan uang yang sejak lama mereka tabung. Nuri sama sekali tak berani bermimpi untuk mempunyai kehidupan yang lebih layak lagi. Untuk biaya hidup sehari-hari saja, penghasilannya sebagai buruh pabrik dan Rohmin sebagai supir taksi tak dapat mencukupi.

Namun, walaupun begitu ia dan Rohmin selalu berusaha menabung untuk biaya pendidikan Sardi nantinya. Ia sama sekali tidak ingin Sardi mengalami nasib yang sama dengan mereka. Ia ingin sekali dapat membiayai pendidikan Sardi hingga menjadi dokter. Baginya dokter dapat menjamin kemakmuran dunia dan akhirat. Dalam pikirannya, Nuri selalu percaya , Bila nanti Sardi menjadi dokter gajinya lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan Sardi. Belum lagi pekerjaan dokter menurutnya adalah pekerjaan yang mulia, pekerjaan yang mengundang pahala karena menolong menyembuhkan orang lain dari penyakitnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun