Lembu-lembu itu tampak gemuk dan segar, sehingga serentak para pemuda itu menyahut: "Ya, kita tebus kegagalan kita dengan daging lembu."
Rohman mengerutkan keningnya, setengah tak mengerti. Namun ia tetap diam sambil berpaling ke arah Kembang Arum yang ternyata sudah tidak dilihatnya lagi.Â
Perlahan-lahan ia menarik nafas dan tiba-tiba ia tersenyum.
"Apakah lembu-lembu itu milikmu?" bertanya salah seorang yang berwajah seram sambil memilin kumisnya.
"Ya," Rohman menganggukkan kepalanya, "punya kami."
"Aku memerlukannya. Kalian tinggalkan sajalah lembu-lembu itu di sini. Biarlah kami yang memeliharanya," kata pemuda itu kemudian.Â
"Ketahuilah bahwa kami sedang berjuang untuk kepentingan putera Kepala Dukuh Karang Kepoh. Karena itu kalian harus menyumbang untuk melawan Nyai Ageng yang tamak itu. Apakah kau mengerti?"
Tiba-tiba saja Rohman menggeleng: "Aku tidak mengerti."
Para pemuda itu mengerutkan keningnya, mereka saling berpandangan. Tak lama kemudian mereka tertawa.Â
Salah seorang dari mereka berkata: "Pantas kalau kau tidak mengerti. Memang kalian tidak perlu mengerti, gembala dungu. Sekarang, pulanglah. Tempat ini sangat berbahaya. Untung kedua orang berkuda tadi tidak memenggal kepalamu. Kalau kedua orang itu kembali maka kalian pasti tidak akan dapat pulang. Mereka pergi karena takut kedatangan kami, sehingga kamilah sebenarnya yang telah menolong nyawa kalian. Karena itu tinggalkanlah lembu-lembu itu untuk keperluan kami. Kami tentu berterima kasih atas sumbangan kalian itu. Kalian sudah ikut serta membantu perjuangan kami."
Pemanjat siwalan muda yang bernama Rohman itu memandang laki-laki itu satu demi satu.Â