Mohon tunggu...
Ruslan Jusuf
Ruslan Jusuf Mohon Tunggu... -

Suka membaca, menulis, travel, dan gemar kuliner tradisional

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aceh, Perjuangan Untuk Korupsi

1 Maret 2014   23:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:20 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393665072269419887

TATKALA membaca kabar dari harian Serambi Indonesia edisi hari ini ((1/3/2014) yang berjudul Fitra: Aceh Terkorup, saya pun terkejut. Tak disangka, Aceh yang notabenya dikenal sebagai satu-satunya Provinsi di Indonesia yang diperbolehkan menerapkan Syari’at Islam ternyata menjadi ’juara pertama’ korupsi se- Indonesia. Tak tanggung-tanggung, angka korupsinya pun mencapai Rp 10,3 Triliun. Ironis memang.

Direktur Investigasi dan Advokasi Seknas Fitra, Uchok Sky Khadafi mengatakan, untuk tingkat provinsi, temuan penyimpangan mencapai Rp 7,3 triliun dengan 331 kasus. Sementara untuk tingkat kabupaten/kota anggaran yang diduga diselewengkan sebesar Rp 2,9 triliun terdiri atas 2.068 kasus.

Di Aceh, kata dia, temuan penyimpangan anggaran daerah ini terjadi di seluruh kabupaten/kota di Aceh. “Angka tertinggi terjadi di Kabupaten Aceh Utara sebanyak Rp 1,4 triliun dalam 143 kasus. Ranking kedua Aceh Timur sebesar Rp 132,5 milyar dengan 82 kasus, dan ketiga Bireuen sebesar Rp 132,4 milyar dengan 83 kasus,” sebutnya.

Menurut Uchok, angka-angka penyimpangan tersebut merupakan hasil audit BPK terhadap keuangan provinsi dan kabupaten/kota sebesar 20 persen. “Kalau BPK melakukan audit secara keseluruhan (100 persen), maka kemungkinan jumlah penyimpangan anggaran daerah akan lebih banyak lagi,” ungkapnya.

Anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat itu, ulas Uchok, banyak digunakan untuk keperluan seperti biaya perjalanan dinas ganda, hibah untuk yayasan dan organisasi masyarakat, bantuan untuk partai politik dan lembaga vertikal. “Tidak hanya itu, modus penyimpangan anggaran ini juga dilakukan dengan cara membuat perjalanan dinas fiktif, realisasi belanja bantuan dinas sosial kepada kelompok masyarakat yang tidak disampaikan kepada yang berhak, indikasi mark-up pekerjaan pengadaan alat-alat kesehatan, serta mengurangi volume pekerjaan,” paparnya.

Bahkan jika dibandingkan dengan provinsi lain, katanya, Aceh masih menduduki peringkat teratas. Untuk provinsi lain di Sumatera nominalnya hanya miliaran, tidak ada yang mencapai triliunan rupiah. Kalau dirincikan, Sumatera Utara sebesar Rp 565 M, Sumatera Barat 249 M, Riau 708 M, Jambi 604 M, Sumatera Selatan 101 M, Bengkulu 91 M, dan Bangka Belitung 27 M. “Sementara untuk DKI Jakarta saja 1,2 triliun rupiah,” sebutnya, (baca juga: 11 Organisasi Terima Dana Terus-menerus).

Fenomena korupsi di Aceh ini, makin membuat rakyat Aceh seakan terus ditimpa derita yang bertubi-tubi. Mulai dari kekeringan parah, inflasi yang tinggi, gangguan jiwa yang meningkat, ’prestasi’ korupsi.Terlepas dari benar atau tidaknya, semenjak Aceh didominasi oleh Partai Lokal (parlok), yakni Partai Aceh yang kini sedang berkuasa, kondisi Aceh seperti ‘terbelakang’. Tidak ada program yang memprioritaskan kesejahteraan masyarakat luas. Ini berbeda dengan Wali Nanggroe dan Bendera Aceh, yang lebih didahulukan. Padahal, keduanya tidak berdampak sama sekali terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh. Apalagi, Lembaga Wali Nanggroe diduga menjadi Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Partai tertentu serta Bendera Aceh yang menjadi alat kampanye bagi mereka.

TOPENG ’PERJUANGAN’

Perjuangan, kata ini bukan hal baru bila Anda menelusurinya dalam kehidupan masyarakat Aceh saat ini. Pada Pemilu 2009, ’perjuangan’ dijadikan slogan utama dalam kampanye yang efektif dan berhasil mengantarkan sejumlah politisi partai lokal menguasai kursi parlemen Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Salah satunya adalah ’perjuangan pemerintahan keu droe (sendiri)’. Hingga akhirnya, sebagian rakyat Aceh menyadari bahwa makna ’keu droe’ sebenarnya adalah untuk ’kelompok dan sanak famili’ politisi tersebut.

Kenyataan ini semakin diperparah bilamana ada rakyat Aceh yang berani melawan arus ’perjuangan’. Sebab, akan dicap sebagai ’pengkhianat’, walau pengkhianat sesungguhnya adalah mereka yang telah mengingkari janjinya pada rakyat yang berharap untuk bisa hidup lebih baik dan sejahtera.

Para politisi bertopeng ’perjuangan’ ini, dengan mudahnya menjadikan Pemerintah Pusat (Jakarta) sebagai Kambing Hitam untuk berkilah. Jakarta diskriminatif, Jakarta penjajah, Jakarta tidak suka Aceh, dan berbagai macam bualan diucapkan untuk meyakinkan rakyat Aceh bahwa mereka sedang ’berjuang’ untuk Aceh yang lebih baik. Padahal, Jakarta lah yang menggaji tiap bulan para politisi pembual tersebut. Benar-benar sikap yang tidak tahu malu dan tidak tahu berterima kasih. Mungkin tanpa Jakarta, rakyat Aceh sudah menjadi bulan-bulanan para politisi busuk berlogo ’perjuangan’.

Sumber foto: antaranews.com

Ruslan Jusuf

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun