Mohon tunggu...
Gaya Hidup Pilihan

Ia yang Mudah Pergi

23 Agustus 2017   22:46 Diperbarui: 27 Agustus 2017   19:32 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

UANG! Sebuah kata yang sangat berharga di mata kita, yang bahkan mempengaruhi idiom di bangsa ini. "Waktu adalah uang", tentu sebuah kata yang tak asing lagi, kata yang lazim bahkan untuk kalangan anak-anak sekalipun.

BARANG! Apakah menarik? Terdengarnya tidak. Coba saya ganti dengan kata: PERHIASAN! Wah, banyak orang yang tertarik begitu mendengarnya. Tetapi, secara tidak sadar, saya sedang mengucapkan sesuatu yang sama, yaitu adalah barang.

Tidak bisa dipungkiri juga bahwa uang dan barang memiliki suatu korelasi, bahkan bila kita pukul rata: semua ini adalah uang, kontan ataupun "hanya" aset. Uang merupakan suatu faktor penting dalam hidup semua orang sejak dari zaman ditemukannya hingga zaman post-modern seperti sekarang. Tiap-tiap individu bekerja setiap hari, menyeka keringat dan memeras otak, untuk mencari sesuap nasi, mencari nafkah, memperlancar pundi-pundi uang, memenuhi kebutuhannya. Tanggal 25 yang dinanti-nanti pun tiba, dapat suntikan dana. Hore! Lalu, dua minggu kemudian, di dompet hanya tinggal beberapa kertas warna coklat ataupun biru-hijau. Yahh...

Uang, mudah datang dan mudah pergi, bagaikan angin lalu. Tetapi untungnya, tidak seperti angin, uang masih bisa kita pertahankan, dengan kata lain: menabung. Sejak dari dini bahkan kita sudah diajarkan untuk berhemat. Caranya ya jelas mudah: sisihkan saja uang jajan Anda setiap hari. Seherhana, bukan? Nah, sekarang yang menjadi pertanyaan adalah: "Apa bisa?". Apa bisa menahan nafsu? Apa bisa merelakan untuk membekukan dana? Melihat sepatu bernilai rupiah yang nolnya lebih dari lima, apa bisa tahan?

Hedonisme merupakan suatu bahaya yang kita temui di masyarakat, terutama di generasi millennial, generasi yang disebut-sebut sebagai generasi yang maunya serba instan dan pemboros. Hedonisme yaitu adalah kecenderungan orang untuk berpikir bahwa kebahagiaan ialah segalanya tentang uang dan berfoya-foya. Sesungguhnya, tidak hanya di generasi millennial, namun pemborosan seperti ini sudah ada sejak zaman dahulu kala. Toh generasi millennial ini adalah hasil didikan dari generasi sebelumnya. Maka bisa kita simpulkan: hedonisme bukanlah suatu "penyakit" yang ada pada kalangan tertentu saja. Di hati kecil kita masing-masing pun, kita mempunyai itu. Sadar tidak sadar, itu pula salah satu motivasi kita untuk mencari nafkah dan pekerjaan yang memadai.

Saya pernah mendengar kalimat: "Anak zaman sekarang akan lebih sulit untuk membeli rumah dikarenakan gaya hidup yang boros." Hmm, kata-kata itu membuat saya berkaca dan bertanya-tanya: "Apakah dengan globalisasi dan dengan segala sesuatu yang serba instan ini, membuat kita juga menggesek kredit secara instan?" Melihat barang di saat sekarang, jangan lupakan untuk waktu hari tua nanti. Kita harus tetap sadar bahwa hidup bukan hanya di saat sekarang, melainkan ada juga masa-masa yang akan datang, yang kelak akan kita alami. Saat kita pensiun dan bahkan tidak lagi bisa menggerakan kaki untuk berjalan bahkan untuk duduk sekalipun, yakni saat kita sudah tidak bisa produktif dan menghidupi pundi-pundi uang tersebut. Kalau masanya sudah bergeser ke waktu itu, lalu siapa pula yang bisa kita andalkan seratus persen untuk kebutuhan finansial kita?

Setiap hari kita melangkahkan kaki, bergegas menuju meja kantor yang berantakan, beserta dengan memori-memori Anda dimarahi atasan, dengan stress yang sudah tidak dipungkiri lagi. Apakah itu hanya untuk satu-dua minggu belaka untuk Anda mentraktir teman Anda dengan pizzayang mewah dan membeli smartphoneyang sebenarnya sedang tidak Anda butuhkan? Lalu sisanya, Anda akan menyesali apa yang telah Anda lakukan dengan uang Anda? Baik sekali bila kita menabung, terutama di bank, di mana sedikit demi sedikit dana kita bahkan berbunga dan bisa kita pakai untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak.

Zaman dahulu, di mana orang masih menyimpan uangnya di bawah kasurnya, di laci rahasia di lemarinya, ataupun di gentong yang tertanam di tanah, memang belum ada bank. Baru kemudian setelah ada inovasi, orang pun mulai menabung dan menjadi nasabah. Beberapa orang ada yang praktis menabung di bank hanya untuk menyimpan asetnya. 

Tetapi sebenarnya bank bisa digunakan untuk hal-hal lain, yang secara tak sadar para nasabah ini juga melakukannya: bunga, yaitu merekahnya dana kita saat disimpan di bank. Di bank sendiri juga ada banyak fitur-fitur lain seperti deposit, investasi, dan sebagainya. Menurut saya, dengan tersedianya semua fitur ini maka akan justru mempermudah kita untuk menjadi lebih cerdas dalam finansial. Tentunya semua diawali dari kesadaran kita masing-masing. Namun mengingat hari tua nanti, tampaknya berhemat memang menjadi sebuah kewajiban bagi semua orang.

Menjadi hemat tidak serta merta membuat Anda menjadi seorang yang kikir. Menjadi hemat bukan berarti Anda tidak menyisihkan uang untuk amal dan kebaikan. Menjadi hemat berarti Anda masih ingat akan masa depan. Masa depan Anda, Anda sendiri juga 'kan, yang tentukan? Apakah kita memilih untuk bersenang-senang di masa yang sekarang untuk hidup melarat di tiga atau empat puluh tahun selanjutnya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun