Mohon tunggu...
Rudy Wiryadi
Rudy Wiryadi Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

pelangidipagihari.blogspot.com seindahcahayarembulan.blogspot.com sinarigelap.blogspot.com eaglebirds.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pamer, Negatif atau Positif?

20 Juli 2017   10:48 Diperbarui: 22 Juli 2017   11:30 1504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabarnya, kini ada empat kebutuhan dasar manusia modern: primer, sekunder, tersier, dan pamer. Benarkah demikian?

Perhatikan deretan postingandi media sosial hari ini. Berapa banyak teman atau kerabat yang memuat foto, cerita, ataupun peristiwa yang menunjukkan bahwa mereka sedang memamerkan berbagai hal, seperti kecantikan, kepandaian, kesuksesan, atau kemesraan hubungan dengan pasangan?

Dengan kemajuan teknologi dan keberadaan media sosial, hasrat untuk pamer mendapatkan medium baru. Jika dulu kita harus pergi ke tempat publik atau masuk TV untuk berpamer ria, kini kita bisa melakukannya dari rumah sendiri. Sesekali mungkin masih oke, tapi jika semakin sering dan berlebihan?

Menurut Dhanny S. Sutopo, M.Si., staf pengajar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Brawijaya, sebenarnya ada batasan jelas antara memberikan informasi kepada publik dan pamer.

"Jika ia menunjukkan dirinya dan juga situasi dimana ia hadir agar diketahui orang lain, maka kecenderungannya adalah pamer. Tetapi kalau ia menunjukkan sesuatu dimana dirinya tidak perlu hadir dan untuk kepentingan orang lain, kecenderungannya adalah memberikan informasi," papar Dhanny.

Sayangnya, sering kali orang terlena dengan permainan tanda, khususnya di dunia maya, antara apa yang dilakukan itu sebagai makna pamer atau makna informatif.

"Dalam hal ini, pamer adalah hasrat menunjukkan pada publik bahwa dirinya adalah orang pertama yang tahu atau bahkan ingin menunjukkan dirinya sebagai orang yang mampu. Tidak hanya objek seperti makanan atau barang, tapi juga kejadian atau peristiwa," ujar Dhanny.

Senada dengan Dhanny, DR. Endang Mariani, M.Si, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,menjelaskan bahwa perlu dilihat lagi dari sudut pandang individu yang memamerkan apa yang dia miliki: Apakah orang tersebut dengan sadar dan sengaja pamer atau dia tidak sadar memperlihatkan sesuatu yang dimilikinya?

Informasi ini perlu dimiliki, sebelum kita bisa memastikan apakah yang dilakukan termasuk kategori pamer atau bukan. Mungkin saja orang tersebut tidak berniat pamer, tapi dinilai oleh orang lain sebagai pamer.

Contoh, ketika berdandan ke salon dan akan pergi ke pesta. Sadar atau tidak, ketika kita sedang berada di kerumunan orang, kita telah pamer kecantikan. Atau, mengunggah sesuatu di media sosial tentang keindahan alam atau keunikan budaya tempat kita liburan adalah hal yang tak terhindarkan ketika kita mendapat kesempatan untuk mengunjungi tempat baru.

Karena itu, Endang menegaskan bahwa poin terpenting adalah niat, intensi, motivasi dan tujuannya. Sudut pandang masyarakat atau lingkungan kelompok yang melihat dan kemudian memberikan penilaian berperan dalam menentukan apakah sebuah perilaku yang dilakukan individu termasuk pamer atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun