Mohon tunggu...
Arry Pratama Rudyawan
Arry Pratama Rudyawan Mohon Tunggu... -

Akuntan & Auditor

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengapa Neraca Perdagangan?

30 Agustus 2013   15:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:36 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Faktor penting yang membuat Indonesia bisa bertahan dari krisis global tahun 2008 – 2011 adalah positifnya fundamental ekonomi Indonesia saat itu yang ditunjukkan dari surplus neraca perdagangan yang terus membaik dari 2008 sampai 2011, meskipun krisis global tersebut tetap berdampak signifikan pada turunnya surplus neraca perdagangan dibandingkan periode sebelumnya. Neraca perdagangan yang kuat membuat Indonesia mampu menahan hantaman krisis dan mencatat pertumbuhan ekonomi yg positif di tengah-tengah ketidakpastian ekonomi dunia ketika itu.

Namun melihat neraca perdagangan Indonesia tahun 2012 yang tercatat defisit sepertinya pintu perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai terbuka. Ditambah lagi rilis neraca perdagangan periode Januari s/d Juni 2013 (www.kemendag.go.id) yang kembali defisit bahkan hampir 2x lipat dibandingkan defisit tahun 2012. Catatan neraca perdagangan Indonesia periode Januari s/d Juni 2013 menunjukkan defisit 3,3 milyar US$ – hmmm kalau diRupiahkan itu berapa ya nolnya? Hehe....

Neraca perdagangan adalah catatan yang menunjukkan selisih nilai ekspor dan impor baik dari sektor migas maupun non migas. Apabila nilai ekspor lebih besar daripada impor, maka terjadilah surplus, dan sebaliknya, dengan terjadinya defisit neraca perdagangan berarti pengeluaran negara (dari hasil impor) melebihi penerimaan negara (dari hasil ekspor). Bahasa sederhananya, biaya lebih besar daripada pendapatan. Manakala biaya lebih besar daripada pendapatan, artinya Indonesia sedang dalam keadaan merugi, dan defisit neraca perdagangan sebesar 3,3 milyar US$ menunjukkan seberapa besar kerugian kita. Tidak heran pada tanggal 1 Juli 2013 pemerintah buru-buru memberlakukan peraturan tentang pengenaan tarif PPh final 1% dari omset untuk Wajib Pajak dengan omset s/d 4,8 Milyar demi menggenjot penerimaan pajak karena penerimaan dari sektor perdagangan yang terus merosot tajam – walaupun pemerintah enggan menyebutkan alasannya demikian, hehe.

Merosotnya penerimaan sektor perdagangan menyebabkan Indonesia mengalami keterbatasan dalam melakukan impor sementara di sisi lain permintaan dalam negeri sangat tinggi dan produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi tingginya permintaan. Tingginya permintaan yang tidak diimbangi kecukupan pasokan barang (demand > supply) menyebabkan terjadinya kelangkaan barang yang memicu lonjakan harga, maka terjadilah inflasi. Seorang analis asing pada tahun 2012 pernah memprediksi Rupiah di tahun 2013 nilainya akan merosot tajam melewati angka Rp10.000/US$, dan kini hal tersebut benar adanya.

Neraca perdagangan memang indikator penting perekonomian suatu Negara. Anjloknya neraca perdagangan efektif memicu anjloknya perekonomian. Sungguh menyedihkan melihat catatan impor kita yang melebihi kemampuan ekspornya. Lebih menyedihkan lagi, beras, gula, tepung, bawang, bahkan cabai dan garam pun kita masih impor! Apakah buku – buku pelajaran Sekolah Dasar saat ini masih menyebut Indonesia sebagai Negara Agraris dan Negara Maritim? Inikah jawaban manakala sumber daya alam nusantara yang berlimpah ini hanya menjadi pajangan sia-sia?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun