Mohon tunggu...
Ruby Astari
Ruby Astari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

"DARI RUANG BENAK NAN RIUH": Untuk menjelaskan perihal penulis yang satu ini, cukup membaca semua tulisannya di sini (dan mungkin juga di tempat lain). Banyak dan beragam, yang pastinya menjelaskan satu hal: Ruang benaknya begitu riuh oleh banyak pemikiran dan perasaan. Ada kalanya mereka tumpang-tindih dan bukan karena dia labil dan irasional. Seringkali daya pikirnya melaju lebih cepat dari tangannya yang menciptakan banyak tulisan. Penulis juga sudah lama menjadi ‘blogger yang kecanduan’. Samai-sampai jejak digital-nya ada di banyak tempat. Selain itu, penulis yang juga pengajar bahasa Inggris paruh-waktu, penerjemah lepas, dan penulis lepas untuk konten situs dapat dipesan jasanya secara khusus di Kontenesia (www.kontenesia.com). Bisa sekalian beramal lagi untuk setiap transaksi (terutama selama bulan Ramadan ini) : http://kontenesia.com/kontenesia-donasi-ramadan/ https://www.facebook.com/kontenesia/posts/287945154884094?__mref=message R.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"3 Jenis Pendebat dalam Obrolan"

24 April 2017   12:53 Diperbarui: 24 April 2017   22:00 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebuah obrolan dapat berubah menjadi diskusi hangat atau argumen ‘panas’. Namanya juga manusia, beda pendapat itu biasa. Namun, cara mereka menggiring obrolan menjadi lebih sehat atau tidak dapat berpengaruh pada hasil akhirnya.

Berhubung cara manusia berdiskusi atau mengkritik berbeda-beda, ada tiga (3) jenis pendebat dalam obrolan, yaitu:

1. Yang blak-blakan dan cenderung “apa adanya”.

Tipe ini pemuja “kejujuran di atas segalanya”. Enaknya, mereka nggak bakalan menikam dari belakang. Kalau memang nggak suka, mereka bakalan bilang nggak suka di depan Anda. Nggak ada acara pura-pura.

Nggak enaknya? Terutama bila sudah emosian, mereka bisa berubah makin kasar dan nggak sopan. Bahkan, nggak jarang mereka berani melabrak atau menyerang lawan bicara secara personal, meskipun lawan bicara lebih tua. Ada yang pakai bentak-bentak seperti: “Nggak pake otak lo!” hingga yang nyinyir halus seperti: “Kok kayaknya sodara lemot ya, memahami maksud saya?”

Jika menang berdebat, mereka cenderung sombong dan menjatuhkan lawan bicara dengan nada mengejek. Jika kalah, mereka tipe ngambekan untuk beberapa saat. Bila hati mereka cukup besar, biasanya mereka akan segera lupa. Bila tidak? Bisa alamat balas dendam, entah untuk terus membuktikan lawan bicara salah atau berusaha menjatuhkan mereka – bahkan dengan cara yang kekanak-kanakan.

Termasuk tipe ini?

Woy, santai aja, napa? Meskipun merasa benar, masih bisa kok, menyampaikan pendapat dengan cara yang lebih beradab. Sopan santun nggak berarti selalu sama dengan lemah, munafik, atau bersikap pengecut.

Mungkin Anda termasuk yang cepat meledak, lalu tenang dan lupa kemudian. Masalahnya, nggak semua orang bisa selupa Anda. Pasti ada yang sakit hati dan mungkin diam-diam menyumpahi.

Mungkin Anda nggak peduli, selama Anda sudah merasa benar. Tapi, apa gunanya selalu benar dan menang dalam perdebatan, bila pada akhirnya Anda akan selalu sendirian? Kecuali Anda memang nggak butuh siapa-siapa. Toh, kalau mereka memang nggak sepakat sama Anda, ya udah. Anda sendiri juga nggak mau dipaksa ‘kan, untuk menuruti maunya mereka?

2. Sang diplomat/pencinta damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun