Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Warisan Teladan: Papa yang Hadir dalam Kegagalan Anaknya

10 Januari 2020   14:15 Diperbarui: 10 Januari 2020   14:19 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Wi, tolong bikinkan lembaran untuk acara empat puluh harinya Papa ya. Kebutuhannya sebanyak delapan puluh lembar untuk ditempelkan di kotak kenduri yang akan dibagikan kepada tetangga sekitar." Ujar Mama kepada saya yang disampaikan melalui ponsel.

Permintaan yang tampak sederhana dari Mama ini, ternyata terasa berat untuk bisa diwujudkan.

Meski prosesnya sangat mudah hanya dengan menggunakan perangkat lunak pengolah kata andalan Microsoft, namun keadaan batin saya turut terbawa-bawa saat harus mengolah kata dan gambar yang ada.

Luapan perasaan mulai terasa saat saya berusaha mewujudkan permintaan Mama, diawali dengan mengolah kata yang tak bertele-tele---karena yang terpenting melalui rangkaian kata yang tersajikan dapat memberikan informasi tentang peringatan untuk mengenang kepergiaan Papa menuju keabadian, bukan menyajikan rangkaian kata yang seolah menunjukan pernah mengalami (kematian) sendiri, merasa yang paling mengerti tentang kehidupan setelah kematian.

Luapan perasaan makin terasa saat saya berusaha menambahkan foto Papa yang letaknya berdampingan dengan rangkaian kata yang telah diolah. Foto yang saya tambahkan di dalamnya merupakan foto yang sama dengan yang ada pada halaman persembahan tesis yang pernah saya susun saat menempuh studi lanjut (catatan selengkapnya: goo.gl/n8TWBP).

Saat berusaha menyunting foto Papa, benak pun melambung jauh pada masa saya menempuh studi jenjang Sarjana (S1) pada tahun 2005---tepat satu dasawarsa sebelum akhirnya saya menempuh studi jenjang Magister (S2) pada tahun 2015. Kala itu perkuliahan menginjak semester tiga, saya mengambil keputusan untuk lebih memilih mengejar mimpi melalui jalur non akademik daripada kuliah, karena saya dihadapkan pada dua pilihan yang tak mungkin bisa berjalan beriringan.

Papa dengan keras menentang keputusan ini, karena Papa berpandangan bahwa jauh lebih berharga berproses dengan baik melalui jalur akademik sebagai bekal di masa depan untuk meraih semua mimpi yang saya miliki. Terlebih mimpi yang sedang saya kejar sudah terukur, sehingga jauh lebih berarti bila saya memprioritaskan jalur akademik.

Saya pun dengan pongah tetap berdiri pada keputusan untuk berseberangan dengan Papa, merasa sudah mentas hanya karena mengantongi beasiswa prestasi (bebas biaya kuliah selama tiga semester ke depan), serta memiliki penghasilan sendiri---bahkan kala itu saya sempat sesumbar kalau akan berhasil meraih mimpi, sekaligus mampu menyelesaikan pendidikan jenjang Sarjana (S1) tanpa bantuan sepeser pun dari Papa.

Hari demi hari berlalu, tak tersadarkan bahwa saya telah tertidur lelap dalam buaian mimpi, hingga bangun terlalu siang.

Pada akhirnya mimpi kandas, kuliah pun berantakan. Saya memutuskan untuk kembali ke rumah, dan tangan Papa terbuka lebar menyambut kehadiran anak bungsunya. Saya mencoba untuk menutupi rasa malu, dengan berusaha sendiri membiayai kuliah menggunakan sisa tabungan yang ada.

Singkat cerita, Papa yang harus turun tangan untuk membiayai kuliah saya jenjang Sarjana (S1) hingga berakhir, dan konsekuensinya biaya yang dikeluarkan menjadi lebih besar. Hingga hari wisuda tiba, saya tak mau didampingi oleh siapa pun, saya hanya datang seorang diri, karena saya merasa tak layak (mengingat prosesnya yang pernah melukai Papa) mempersembahkan hari wisuda saya kepada Papa Mama---masih segar dalam ingatan saya, hingga detik terakhir saat saya akan berangkat menghadiri wisuda, Mama (dan saya yakin ini pasti atas dorongan Papa) masih memohon untuk ikut serta, dan saya sampaikan kalau undangan dengan kuota dua orang (untuk orang tua) sudah saya berikan kepada wisudawan lain sejak jauh hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun