Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Permintaan Terakhir

2 September 2013   03:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:30 1574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13780857552030919732

[caption id="attachment_285012" align="aligncenter" width="611" caption="Ilustrasi/ Kampret (Ajie Nugroho)"][/caption]

Jatuh cinta itu indah. Banyak orang yang mengatakan lika-liku tersebut sebagai suatu anugerah. Laksana mahakarya sebuah lukisan, cinta itu adalah seni yang harus dilakukan dengan jatuh bangun. Ya, momen berkesan itu terjadi lima tahun lalu. Saat pertama kali aku mengikrarkan janji dengannya. Sebuah senyum tersungging manis di wajahnya ketika kami bertukar cincin.

Usai melangsungkan pernikahan, kawan-kawanku bersorak histeris saat aku menggenggam erat tangannya. Wajahnya tampak bersemu merah karena malu-malu. Saat itu aku merasa sebagai pria paling bahagia di kolong langit. Betapa tidak, meski belum berada di posisi puncak, tapi karierku sedang menanjak. Kehadirannya membuat hidup ini lebih bermakna. Apalagi, setelah kami dikarunia Putri yang sungguh lucu dan menggemaskan.

Hanya, kenangan itu telah berlalu. Terkubur dengan sang waktu. Adagium lawas mengatakan, tiada perjamuan yang tak berakhir. Itu karena kami mempunyai taraf kehidupan yang meningkat. Ia seorang akuntan ternama di kota ini. Sementara, aku kian disibukkan dengan aktivitas di lapangan. Banyak orang memandang kami sebagai keluarga kecil nan bahagia. Bahkan, menurut mereka, rumah tangga kami sangat ideal.

Padahal, hampir setiap hari kami mempunyai rutinitas serupa yang membuat miris: Berangkat kerja bersama-sama dan kembali di waktu yang bersamaan, alias disibukkan dengan rutinitas masing-masing. Hingga, pada suatu hari, riak-riak kecil mulai membuat bahtera menjadi goyah. Benar kata pepatah, jangan pernah berlayar kalau takut ombak. Ternyata, ungkapan itu berlaku bagi kami. Tepatnya aku.

Ya, sejak mengenal Rere, kehidupanku berubah drastis. Kehadirannya yang berawal dari pertemuan di sebuah event sanggup membuat kemudi ini keluar dari jalur sebenarnya.

"Dirimu sosok yang sangat memesona bagi semua wanita," tuturnya ketika kami berdua bersantai di sebuah apartemen mewah yang lebih mirip istana. Rere, wanita karier berusia lebih dari seperempat abad memang pandai memikat kaum pria. Termasuk diriku yang seolah tak berdaya.

Namun, ungkapan 'memesona' itu justru membuatku limbung. Lantaran itu merupakan ucapan yang sama dari istriku pada hari pernikahan. Tidak bermaksud memuji, tapi Lenny mengatakan hal tersebut sebagai wujud kasih sayangnya yang tulus. Begitu juga dengan ketulusan Rere, meski dengan versi berbeda.

Mengingat hal itu jelas membuat aku kian ragu. Apalagi dalam beberapa hari belakangan selalu timbul permintaan yang sama dari Rere, "Ceraikan Lenny. Kita akan hidup bersama dengan bahagia. Apalagi yang kau cari?"

Aku tidak bisa memberi kepastian. Kehadiran Rere yang masih memiliki hubungan keluarga dengan mantan salah satu penguasa negeri ini, membuatku silau. Wanita beralis lancip ini mempunyai segalanya: kekuasaan, materi, serta aroma yang keluar dari tubuhnya. Hanya, dari lubuk hati yang paling dalam, aku sendiri bukanlah seorang manusia yang tidak mempunyai liangsim.

*      *      *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun