Mohon tunggu...
Kevin Robot
Kevin Robot Mohon Tunggu... -

Learning to write. And yeah, I write my thoughts, not appeasements to you.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia dan Identitas

27 Februari 2017   21:40 Diperbarui: 27 Februari 2017   22:05 3693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini, telah terjadi banyak konflik yang sering kali memakan banyak korban jiwa. Banyak nyawa yang melayang dengan percuma hanya karena konflik antara dua pihak yang saling berlawanan. Namun, apakah pernah terpikirkan oleh kita bagaimana konflik-konflik tersebut dapat terjadi? Mulai dari tawuran antarsekolah, antarkampung, antarkota, antarpendukung hingga yang paling sensitif seperti antarSARA? Dilihat dari berbagai jenis konflik yang ada, ada satu hal yang mendasarinya, yakni identitas.

Apa yang dimaksud dengan kata 'identitas'? Menurut KBBI, kata 'identitas' memiliki pengertian ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang, atau jati diri. Lalu, kamus Merriam-Webster menjelaskan lebih dalam lagi dengan mendefinisikan identitas, atau dalam bahasa Inggris 'identity' sebagai kesamaan ciri-ciri dalam hal tertentu dan ciri-ciri yang membedakan manusia yang satu dengan yang lain. Jadi, tidak jauh untuk menyimpulkan bahwa identitas, pada dasarnya, merupakan ciri-ciri yang tertanam dan melekat dalam diri tiap manusia. 

Identitas ini tak hanya terpaut oleh SARA, tetapi juga dapat dikaitkan dengan hal-hal mendasar, seperti makanan (vegetarian, non-vegetarian), klub bola (Kopites, The Blues), ideologi (sosialisme, kapitalisme), mazhab teori (realisme, idealisme, konstruktivisme *ini merupakan teori Hubungan Internasional di mana penulis juga merupakan alumini mahasiswa Hubungan Internasional) hingga gender (laki-laki, perempuan, dan yang di antaranya). 

Banyak hal yang dapat dijadikan dasar bagi tiap manusia untuk dapat membentuk suatu ikatan tertentu. Dari pembentukan ikatan, maka muncullah kedekatan secara sosial dengan orang-orang yang memiliki kesamaan secara identitas. Namun, ikatan-ikatan inilah yang pada akhirnya membuat suatu kelompok membedakan diri dengan kelompok lainnya.

Dari identitas memunculkan suatu perasaan dan keinginan untuk membedakan satu di antara yang lain. Lalu, keinginan untuk membedakan diri dengan orang lain akan memicu pemikiran bahwa pihak satu merupakan yang benar dan yang lain adalah salah. Sifat tersebut sangan rentan untuk menyinggung berbagai pihak lain yang tidak sepaham dengannya. 

Tak dapat dielakkan bahwa pemikiran tersebut dapat membuat ketegangan antarpihak yang dapat berujung kepada konflik yang memakan korban, karena pihak lain tersinggung dengan tindakan dan pemikiran dari pihak lain. Kita tentu saja dapat melihat konflik antarpendukung (Bobotoh dan Jakmania), antarsuku (suku Sampit dan Madura), antaragama (Kristen dan Katolik dalam Perang Tiga Puluh Tahun), antargolongan (proletar dan borjuis), dan lainnya. 

Dalam buku Tentang Manusia: Dari Pikiran, Pemahaman, sampai dengan Perdamaian Dunia, karya Reza A. A. Wattimena, dijelaskan bahwa identitas merupakan sebuah ilusi dan bersifat sementara dan rapuh. Maksudnya adalah identitas itu sebenarnya merupakan sebuah label yang diberikan kepada tiap manusia sejak kecil, dan manusia yang diberi label tersebut tidak mempunyai pilihan lain, selain mengikuti sifat label yang menjadi identitas bagi dia. Kita pasti seringkali mendengar pernyataan bahwa seseorang merupakan bagian dari agama tertentu, hanya karena orang tua mereka yang menyuruh mereka. 

Atau pun, seseorang juga merupakan bagian dari golongan tertentu dikarenakan mereka diajarkan bahwa mereka bagian dari golongan tersebut. Apabila kita melihat sifat identitas, kita juga dapat memahami bahwa seseorang dapat merubah identitasnya sesuai dengan kehendaknya atau dengan paksaan dari pihak lain. 

Identitas menjadi suatu pengikat antarmanusia, tetapi identitas dapat menjadi suatu beban bagi manusia. Hal ini dikarenakan orang-orang merasa bahwa mereka harus menjalani dan mematuhi peraturan-peraturan tertentu yang terdapat dalam tradisi atau pun dalam kitab suci. Hal ini akan membuat manusia merasa hampa apabila mereka kehilangan identitas atau dipaksa harus mengganti identitasnya. Wattimena juga mengungkapkan bahwa manusia menjadi merdeka apabila ia tidak lagi dikekang oleh identitas. 

Maksudnya adalah manusia tidak perlu menjalani hidup sesuai dengan identitas yang menjadi bagian dari kehidupannya, karena identitas itu sendiri hanya bersifat sementara dan rapuh. Kita perlu memiliki kesadaran bahwa kita semua adalah manusia yang sama, dan setara. Tuhan pun tidak menciptakan manusia dengan memberikan identitas-identitas. Manusia yang tinggal di bumi memiliki kesamaan dalam hakekatnya sebagai manusia meskipun terdapat perbedaan dalam cara berpikir.

Alangkah baiknya kalau kita dapat hidup rukun dengan tiap orang tanpa harus memikirkan identitas tiap orang. Kalau akhirnya orang lain tidak hidup lagi dengan identitasnya, untuk apa sebenarnya identitas itu?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun