Mohon tunggu...
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar Mohon Tunggu... -

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar. Lahir di Banjarmasin, 25 Juni 1990. Sekarang masih tercatat sebagai mahasiswa semester IV Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Meminati isu-isu ekonomi politik internasional dan perbandingan politik. Saat ini aktif menulis lepas di pelbagai media massa: Republika Yogyakarta, SINDO, Banjarmasin Post, dan Radar Banjarmasin. Silakan hubungi rizky_mardhatillah@yahoo.co.id untuk korespondensi. Terima kasih.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menuju Militer Profesional: Potret Pemikiran Prof. Dr. Jahja A. Muhaimin

20 Juni 2010   08:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:25 1850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
rizky_mardhatillah@yahoo.co.id

A. Pendahuluan

Gagasan mengenai militer yang profesional dan lepas dari aktivitas-aktivitas politik telah mengemuka sejak akhir era Orde Baru. Sejak doktrin dwifungsi ABRI didaulatkan oleh rejim Orde Baru, Indonesia selalu dirundung masalah dominasi militer dalam politik. Padahal, prasyarat sebuah negara yang demokratis –setidaknya menurut Huntington (1993)— adalah bebasnya politik dari intervensi-intervensi militer.

Karena adanya tuntutan sebuah proses politik yang demokratis dan bebas dari intervensi militer tersebut, posisi militer harus diterjemahkan secara tepat. Meminjam bahasa Huntington (1968), militer tidak boleh mendapatkan posisi yang kuat sebagai praetorian guard atau penjaga stabilitas rejim, karena rawan disalahgunakan fungsi-fungsinya oleh tindakan-tindakan personal. Dengan kata lain, militer yang memiliki peran besar dalam politik cenderung selaras dengan kediktatoran dan personalisme politik.

Hal itu pula yang coba dibahas oleh Prof. Dr. Jahja A. Muhaimin, guru besar Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada dalam pidato guru besarnya yang diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul “Bambu Runcing dan Mesiu: Masalah Pembinaan Pertahanan Indonesia” (Tiara Wacana, 2008).

Prof. Dr. Jahja A. Muhaimin adalah guru besar Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada. Beliau menyelesaikan gelar Sarjana Lengkap di FISIPOL UGM, 1971, dan menamatkan gelar doktornya di Massachussets Institute of Technology, dengan konsentrasi pembangunan politik. Selepas meraih gelar Doktor, beliau mengabdikan ilmunya untuk almamater beliau, Universitas Gadjah Mada. Selain aktif di Persyarikatan Muhammadiyah, beliau juga pernah menjabat dekan FISIPOL UGM (1994-1996), Atase Pendidikan di Amerika Serikat, (1996-1999), dan Menteri Pendidikan Nasional RI (2000-2001).

Sebagai seorang pakar di bidang militer dan keamanan, Prof Jahja Muhaimin memang memiliki basis data dan argumen ilmiah yang kuat dalam memotret persoalan militer dan pertahanan Indonesia. Dengan buku tersebut, Prof. Jahja seakan ingin mengatakan kepada kita bahwa persoalan pertahanan, militer, atau keamanan bukan semata tanggung jawab elit politik, tetapi juga tanggung jawab masyarakat sipil dan akademik Indonesia.

B. Idealisasi Tata Hubungan Sipil-Militer

Pada buku “Bambu Runcing dan Mesiu”, Prof. Jahja mengidealkan hubungan sipil-militer dalam kerangka hubungan yang demokratis. Dalam artian, hubungan sipil-militer yang dikehendaki oleh Prof. Jahja adalah berjalannya kontrol sipil di atas militer dan terciptanya sebuah profesionalisme militer di Indonesia.

Prof. Jahja memulai argumennya dengan menganalisis TNI sebelum reformasi. Pada tulisan yang dicuplik dari intisari pembahasan skripsi beliau tersebut, Prof. Jahja mengawali bahasan dengan mengemukakan sejarah dinamika hubungan TNI dan politik, sejak era Soekarno hingga dwifungsi ABRI era Soeharto. Dinamika yang kadang juga membawa friksi-friksi internal tersebut memberikan gambaran, betapa gagasan untuk menjadikan militer yang profesional menemui banyak kendala politik.

Sebagai contoh, pada era 1950-1959, Indonesia menghadapi tantangan perebutan pengaruh antara TNI dengan parlemen dan presiden. Pada masa yang kerap disebut sebagai demokrasi liberal tersebut, beberapa kali terjadi benturan kepentingan antara entitas militer dan entitas sipil. Tragedi 17 Oktober 1952, misalnya, yang diawali karena adanya kesalahpahaman antara politisi di DPR, Presiden Soekarno, dan kubu Angkatan Perang di bawah AH. Nasution dan TB. Simatupang (Ricklefs, 1991: 369). Pada waktu itu, militer mengerahkan massa untuk demonstrasi dan mengarahkan senjata ke arah istana Presiden yang kemudian diakhiri dengan pengunduran diri TB Simatupang dan AH Nasution dari jajaran petinggi militer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun