Mohon tunggu...
Riyanto Kasdi
Riyanto Kasdi Mohon Tunggu... -

Riyanto Ketua ALMANAP (Aliansi Mantan Narapidana), wiraswasta di bidang perikanan dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kasus Talangsari dan Jama’ah Islamiyah

6 Februari 2015   16:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:43 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh RIYANTO (Mantan Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi)

DJOHAN Effendi pada harian Kompas edisi 7 November 2002, melalui tulisannya berjudul Jamaah Islamiyah dan Abdullah Sungkar, mengatakan bahwa Abdullah Sungkar dengan tegas pernah menyatakan keberadaan Jamaah Islamiyah (JI), melalui sebuah wawancara antara Abdullah Sungkar dengan majalah Nidaul Islam edisi 17 yang terbit sektar Februari-Maret 1997.

Menurut Abdullah Sungkar, Jamaah Islamiyah bercita-cita membangun Daulah Islamiyah (Pemerintahan Islam), dan JI memiliki perbedaan yang jelas dibandingkan dengan organisasi-organisasi Islam lainnya. Bila parpol dan ormas Islam yang ada di Indonesia memilih jalan kooperatif dengan pemerintah, maka JI bersikap nonkooperatif.


Abdullah Sungkar juga mengatakan, JI bukanlah gerakan yang sama sekali baru, karena embrio JI adalah gerakan DI/TII yang telah memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 7 Agustus 1949. NII diproklamasikan selain untuk menentang pemerintahan kafir Belanda juga untuk menentang rezim sekuler Republik Indonesia.

Menurut klaim Abdullah Sungkar, JI merupakan gerakan yang berusaha mengembalikan kesadaran akan kewajiban membangun Daulah Islamiyah melalui jalan jihad, sebagai kelanjutkan gerakan DI/TII. Upaya itu ditempuh dengan membangun tiga kekuatan, yaitu kekuatan aqidah, kekuatan persaudaraan dan kekuatan milisi. JI juga menerapkan strategi yang sama dengan DI/TII dalam mencapai cita-citanya, yaitu Iman, Hijrah dan Jihad.

1423190854377372875
1423190854377372875
Di tahun 1993, menurut pengakuan Nasir Abas, Abdullah Sungkar memisahkan diri dari NII faksi Ajengan Masduki. Maka sejak saat itulah (Januari 1993) Abdullah Sungkar menjadi imam Al-Jamaah Al-Islamiyah. Di tahun 1999, Abdullah Sungkar meninggal dunia di Bogor. Maka, pimpinan JI berada di tangan Abu Bakar Ba’asyir yang selama ini menjadi orang kedua. Salah satu kewenangan amir JI adalah melantik Ketua Mantiqi sebagaimana diatur dalam PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan Al-Jamaah Al-Islamiyah). Nasir Abas dilantik oleh Abu Bakar Ba’asyir pada April 2001 sebagai Ketua Mantiqi III menggantikan Mustapha alias Abu Tolut alias Hafid Ibrahim alias Pranata Yuda.

Kaitan Talangsari dengan JI

Lalu, apa hubungan antara kasus Talangsari (Lampung) dengan JI (Jamaah Islamiyah)? Keduanya punya titik persintuhan dengan sosok bernama Abdullah Sungkar. Kasus Talangsari terjadi pada Februari 1989, ketika Abdullah Sungkar masih berada di Malaysia. Ini dapat diartikan, meski secara fisik Abdullah Sungkar berada di Malaysia, namun komunikasi dan pembinaan terus berlanjut hingga ke Talangsari sekalipun.

14231909631260391272
14231909631260391272

Semasa masih berada di Indonesia, semasih menjadi kader NII, Abdullah Sungkar aktif membina gerakan keagamaan yang dinamakan Usroh. Sejumlah pelaku kasus Talangsari merupakan bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar ini. Misalnya, Sukardi, yang bergabung ke dalam gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984. Selain menjadi aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar, Sukardi juga anggota tim pencari dana Fa’i pimpinan Nurhidayat bin Abdul Mutholib.

Nurhidayat sendiri merupakan salah satu anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Selatan, yang mengenal gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984 dari Ibnu Toyib alias Abu Fatih. Sosok Ibnu Toyib alias Abu Fatih kemudian hari dikenal sebagai salah satu petinggi JI, yang pernah menjabat sebagai Ketua Mantiqi II.

Nama-nama lain yang juga terkait kasus Talangsari yang juga menjadi anggota gerakan Usroh pimpinan Abdullah Sungkar adalah Mushonif, Abadi Abdillah, Margotugino, Suryadi, Alex alias Muhammad Ali, Arifin bin Karyan (mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Ring Condet).

Mushonif yang divonis 20 tahun penjara dalam kasus Talangsari, sebenarnya tidak terlibat dalam peristiwa itu. Ia adalah alumnus Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki (1983-1986) yang diutus untuk mengajar di Pondok Pesantren Al-Islam di Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah. Kala itu ia bersama Abadi Abdullah ditugaskan pimpinan ponpes Ngruki untuk mengajar di ponpes Al-Islam, Way Jepara, Lampung. Selama di Way Jepara, Mushonif aktif mengikuti pengajian yang diselenggarakan Warsidi. Karena, ia merasa satu pemahaman dengan Warsidi. Ketika ditangkap aparat, dengan jujur dan terus terang Mushonif mengakui dirinya anggota jamaah Warsidi, namun tidak terlibat aksi kekerasan.

Nama lain yang ikut membidani kasus Talangsari adalah Wahidin AR Singaraja alias Zainal, mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Ring Condet (sejak 1984) yang terakhir bekerja sebagai Satpam Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. Ketika Nurhidayat dalam masa pelarian, Wahidin menjadi semacam tempat singgah. Nurhidayat sesekali mengikuti pengajian yang dikelola Wahidin. Ketika kasus Talangsari meledak, Wahidin hilang bagai ditelan bumi. Ia sama sekali tidak pernah mengikuti proses hukum sebagaimana Nurhidayat dan sebagainya, karena buron hingga kini.

Wahidin AR Singaraja alias Zainal kelahiran Dusun Betung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Palembang, merupakan anggota tertua dari empat sekawan yang disebut-sebut sebagai aktivis dari Jakarta. Wahidin lahir pada tanggal 24 Agustus 1948. Meski sempat merencanakan gerakan makar di Talangsari bersama-sama dengan Nurhidayat, Sudarsono dan Fauzi Isman, dan ikut menjalin kesepakatan dengan anggota tim perunding Warsidi, kasus Talangsari keburu meledak (7-8 Februari 1989), sebelum ia sempat menginjakkan kakinya untuk hijrah dan menetap di dukuh Cihideung.

14231910151093951776
14231910151093951776

Nama lain yang layak dikutip di sini adalah Abdul Haris alias Haris Amir Falah. Ia sempat menjadi bagian gerakan Usroh Abdullah Sungkar sejak 1984, dan pada tahun 1987 pernah menjadi bagian dari kelompok Nurhidayat yang di kemudian hari merancang gerakan makar di Talangsari. Ketika itu Nurhidayat mengawali persiapan perangnya dengan membentuk empat shaf yang dipimpin oleh empat orang.

Pertama, Shaf Ali dipimpin oleh Nurhidayat (mengurusi masalah kemiliteran).

Kedua, Shaf Usman dipimpin oleh Sudarsono (mengurusi masalah pendanaan).

Ketiga, Shaf Abu Bakar dipimpin oleh Haris Amir Falah (mengurusi masalah dakwah).

Keempat, Shaf Umar dipimpin oleh Arifin Agule (mengurusi masalah perhubungan).

Belakangan, Haris mengundurkan diri, sehingga ia tidak terlibat kasus Talangsari. Nama Haris Amir Falah kembali mencuat ketika ia ikut mendirikan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Bahkan terakhir kali, Haris menjabat sebagai Ketua MMI Wilayah DKI Jakarta. Ketika Abu Bakar Ba’asyir mundur dari MMI dan mendirikan Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT), Haris Amir Falah merupakan salah satu pendirinya. Bersama-sama dengan Abu Bakar Baasyir dan Fauzan Al-Anshari, Haris Amir Falah hengkang dari MMI.

Ibarat derasnya sungai, gerakan Usroh Abdullah Sungkar mengalir hingga ke Lampung, menghasilkan radikalisme ala Warsidi (1989). Sebelumnya, ia mengalir ke Tanjung Priok (kasus Tanjung Priok 1984).

Kalau saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera ditumbangkan saat itu juga, mungkin di tempat itu akan menjelma menjadi sebuah basis pemberontakan yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu (1989) radikalisme berupa pemberontakan bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok, clurit atau bendorit (perpaduan antara bendo alias golok dengan clurit). Satu hingga dua dasawarsa kemudian, radikalisme itu sudah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, antara lain berupa bom bunuh diri sebagaimana pernah terjadi di JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009.

Komnas HAM dan Kontras Menstigma Islam?

Sejak radikalisme Talangsari ala Warsidi dibungkam, praktis sekitar satu dasawarsa kemudian radikalisme –terutama yang ditandai sebagai ekstrim kanan– tidak pernah muncul ke permukaan. Artinya, penumpasan gerakan radikal Talangsari yang dimotori oleh anak asuh Abdullah Sungkar –atau mereka yang pernah menjadi anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar– ternyata cukup efektif mengamankan wilayah Indonesia dari aksi serupa setidaknya untuk masa sekitar satu dasawarsa ke depan.

Menjaga keutuhan NKRI lebih penting dibandingkan dengan segalanya, termasuk adanya kemungkinan kesalahan tehnis di dalam penanganan gerakan radikal dalam bentuk apapun juga. Hal inilah yang seharusnya dipahami oleh para pegiat HAM. Jangan hanya mencari-cari kesalahan tehnis dari upaya konstruktif mengamankan wilayah Indonesia dari ancaman perbuatan radikal, dengan alasan HAM.

Kami para pelaku kasus Talangsari sendiri sudah berusaha sedemikian jujur dan terus terang mengakui, bahwa peristiwa itu memang sebuah gerakan radikal, sebuah peperangan yang direncanakan, sebuah perlawanan terhadap negara kesatuan RI yang sah yang didasarkan pada doktrin keagamaan tertentu yang waktu itu kami yakini kebenarannya. Kini, itu semua sudah kami posisikan sebagai lembaran masa lalu yang tak layak diungkit karena begitu menakutkan dan menyakitkan.

Para pelaku Talangsari sudah sepenuhnya menyadari bahwa radikalisme di Talangsari tak perlu diungkit meski dengan alasan HAM sekalipun. Apalagi pengungkapan kembali kasus itu memanfaatkan orang-orang yang tidak layak dijadikan narasumber. Komnas HAM dan Kontras sebaiknya arif bijaksana menyikap hal ini. Tidak ada seorang pun yang mau masa lalunya diungkap. Apalagi masa lalu yang penuh kegetiran.

Seolah-olah Komnas HAM dan Kontras memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme. Seolah-olah Komnas HAM dan Kontras selalu ingin menjaga ingatan masyarakat tentang radikalisme yang kami lakukan atas nama agama di masa lalu tetap hidup hingga kini. Bila Komnas HAM dan Kontras bersikap demikian, maka jangan heran bila ada sebagian dari umat Islam yang merasa terusik dengan sikap Komnas HAM dan Kontras. Bahkan, jangan heran bila ada sebagian umat Islam yang justru memposisikan Komnas HAM dan Kontras sebagai lembaga yang mengidap Islamophobia, karena dianggap suka menghidup-hidupkan kasus masa lalu kami tentunya dalam rangka memberi stigma negatif terhadap Islam dan umat Islam secara keseluruhan.

Sebagai pelaku, kami menyadari bahwa apa yang kami lakukan saat itu telah melukai umat Islam pada umumnya. Kami hanyalah sebagian kecil saja dari umat Islam Indonesia yang berjumlah ratusan juta orang. Namun karena ulah kami yang segelintir ini, umat Islam pada umumnya menjadi ikut ternoda. Apakah noda (stigma) ini yang sedang dihidup-hdupkan oleh Komnas HAM?

Komnas HAM Membela Pelaku Makar?

Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Saiful Sulun mantan Pangdam Brawijaya dan mantan Wakil Ketua DPR RI yang juga menjabat sebagai Koordinator Forum Komunikasi Punawirawan TNI/Polri pernah mengatakan, kepentingan politis di balik upaya pengusutan kembali kasus Talangsari oleh Komnas HAM lebih kental dibanding keinginan menyelesaikan kasus tersebut. (Rakyat Merdeka, 6 Maret 2008).

1423191077289657892
1423191077289657892

Salah satu pelaku Talangsari, Fadillah, yang juga pernah menjadi bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar pernah mengatakan, “…kami merasa direndahkan, jika kasus Talangsari disebut sebagai pelanggaran HAM.”

Pernyataan itu disampaikan Fadillah saat diwawancarai harian Rakyat Merdeka 16 Juli 2007. Ketika itu Fadillah beralasan, “Kami ini pejuang. Kasus Talangsari itu bukan pelanggaran HAM, tapi perang antara aparat pemerintah dengan kami sebagai mujahidin yang ingin mendirikan hukum Islam dengan cara apapun dan risiko apapun. Saat itu, kami berkeyakinan, mati adalah syahid, kalau ditawan adalah ujian. Tidak ada kata-kata pelanggaran. Mana ada aktivis DI yang teriak-teriak minta pengusutan pelanggaran HAM termasuk minta kompensasi, tidak ada karena memang itulah prinsip utamanya kita berjuang.”

Kasus Talangsari adalah serpihan gerakan makar Darul Islam (DI/TII). Kalau kasus Talangsari (1989) yang tergolong makar dapat diungkap kembali atas nama HAM, maka pemberantasan gerakan DI/TII di masa lampau (1960-an) pun dapat diungkap kembali atas nama HAM. Begitu juga dengan kasus makar lainnya, dapat diungkap lagi atas nama HAM.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun