Mohon tunggu...
Riva Julianto
Riva Julianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus FIB dan FH UI, Praktisi Periklanan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hak Hidup Manusia

2 September 2011   00:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:18 4694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbedebatan hangat mengenai hak asasi manusia oleh negara-negara di dunia dan Indonesia khususnya, sebenarnya hanya omong kosong belaka jika hukuman mati atau pencabutan hak hidup seseorang masih dibenarkan lembaga peradilan dan elit penguasa. Mengapa demikian?

Bila kita berbicara tentang hak asasi manusia tentunya harus dikaitkan dengan hak hidup manusia sebagai hak yang paling mendasar. Hak itu bukan pemberian penguasa negara ataupun manusia lainnya. Manusia tidak dapat menciptakan hidup atau nyawanya sendiri melalui rekayasa teknologi kedokteran. Sang Khaliklah (baca: Tuhan) yang memberi kita hidup dan nyawa. Dengan demikian hak itu dapat kita katakan sebagai hak yang paling asasi dan mendasar yang dipunyai umat manusia. Amerika Serikat pun sebagai negara adi daya yang mengagung-agungkan hak asai manusia di dalam kenyataannya masih memberlakukan hukuman mati di beberapa negara bagiannya bagi para pelaku kriminal.

Akan tetapi menjunjung tinggi hak hidup seorang manusia tidaklah semudah yang kita bayangkan. Persoalan dilematis menghadang di depan kita. Di satu pihak keinginan dan hasrat yang timbul dari hati nurani untuk menghapus hukuman mati berhadapan dengan konsistensi menjunjung keadilan yang seadil-adilnya di pihak lain. Keperkasaan pelembagaan keadilan telah menenggelamkan keinginan dan hasrat tersebut. Manusia harus menerima konsekuensi perkembangan peradabannya bila tidak ingin menapak mundur dari modernisasi yang semakin menyusup ke segi kehidupannya.

Kita tidak menyadari atau mungkin sadar tetapi takut berkata benar, bahwa konsepsi keadilan yang dipegang teguh selama ini tidaklah seratus persen dapat kita realisasikan di dalam kenyataan hidup sehari-hari. Keadilan mempunyai batasannya tersendiri kala ia sudah mencapai titik di mana keterlibatan manusia dipertanyakan. Simbol keadilan yang ditnjukkan dengan sebuah timbangan yang seimbang ternyata bukanlah benda mati, karena Dewi Keadilan tertutup matanya. Seimbang atu tidaknya timbangan keadilan ditentukan oleh para pelakunya (manusia).

Konsep keadilan yang hakiki tidak dapat kita ejawantahkan secara zhakelijk dan ajek ke dalam kehidupan nyata. Bila hal itu terjadi, maka yang kemudian terjadi adalah penggerusan kemanusiawian kita. Lembaga peradilan tidak lebih dari sekedar pelembagaan "balas dendam". Hutang nyawa dibayar dengan nyawa, dan hutang darah dibayar dengan darah.

Tugas lembaga peradilan bukan sekedar menyampaikan pesan keadilan, tetapi juga semangat kemanusiaan dan ketuhanan manusia. Hukuman yang mencabut hak seseorang atau hukuman mati tidak dapat kita bandingkan dengan hukum, norma, dan nilai-nilai yang malah memiskinkan toleransi kemanusiawian kita. Bahkan kalau kita menelaah lebih kritis lagi terlihat sikap tidak adil di dalam lembaga peradilan. Hukuman mati sebagai konsepsi keadilan yang hakiki dan dipegang teguh lembaga peradilan, tidak lagi bersangkutan dengan masalah kehidupan. Dalam hal ini berarti kita telah memasuki alam kehidupan dan kematian seseorang yang kekuasaan sepenuhnya dipegang Tuhan. Akankah kita menurunkan dan membumikan kekuasaan Tuhan ke dalam realitas kehidupan? Apakah kita lupa bahwa Yang Maha Adil adalah Tuhan sendiri? Apakah mencabut dan menghilangkan hak hidup seseorang adalah jalan terkahir yang dipunyai manusia? Apakah nyawa manusia sebanding dengan beberapa kilogram narkokitka, ideologi politik atau nyawa yang sudah terlanjur tidak dapat dihidupkan kembali?

Apakah dengan demikian timbangan keadilan kita menjadi berat sebelah? Jawabnya adalah tidak. Timbangan yang berimbang adalah tujuan yang ingin dicapai, dan ia bukan hasil yang harus kita laksanakan secara murni. Tentu saja hal ini hanya berlaku untuk kasus hukuman mati. Menjadi tidak manusiawilah kita apabila mempermainkan nyawa dan hidup-matinya seseorang di dalam lambaga peradilan.

Bila kita memang seorang yang taat ajaran agama dan religius, maka sudah menjadi kewajiban kita melaksanakan ajaran-Nya. Di dalam ajaran semua agama di dunia tidak ada satu pun yang membenarkan adanya pembunuhan dan pemusnahan semua ciptaan Tuhan yang ada di bumi ini. Kita wajib melindungi dan menjaga seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya.

Hal ini membuktikan secara eksplisit, bahwa ajaran agama apapun tidak menyetujui adanya pencabutan hak hidup seseorang oleh suatu hukum, norma dan nilai-nilai yang senantiasa melingkupi hidup manusia. Mereka yang berhadapan dengan regu tembak, kursi listrik, kamar gas dan pelbagai bentuk hukuman mati lainnya merupakan korban lembaga peradilan duniawi yang diciptakan manusia sendiri.

Memang benar manusia adalah srigala bagi sesamanya (homo homini lupus) seperti yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes untuk menunjukkan agresiftitas manusia yang seringkali melebihi binatang di dalam mempertahankan hidupnya disadari maupun tidak disadarinya. Implikasinya adalah suatu tindakan yang wajar dan lumrah bagi manusia. Tetapi kita juga tidak boleh melupakan bahwa manusia adalah "binatang rasional" (animal rationale). Rasio itu yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Dengan rasio itu pula seharusnya kita dapat menilai hidup dengan lebih bijaksana bila menghadapi masalah kemanusiaan.

Banyak alternatif cara yang dapat ditempuh untuk menggantikan hukuman mati. Gagasan  untuk mengganti hukuman mati telah banyak dilontarkan dan diajukan. Tapi yang paling utama adalah kesadaran para terhukum serta pendidikan mental dan spiritual bagi mereka menjadi penting artinya agar tidak lagi mengulangi perbuatan yang pernah dilakukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun