Mohon tunggu...
Ris Sukarma
Ris Sukarma Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pensiunan PNS

Pensiunan pegawai negeri, sekarang aktif dalam pengembangan teknologi tepat guna pengolahan air minum skala rumah tangga, membuat buku dan fotografi. Ingin berbagi dengan siapa saja dari berbagai profesi dan lintas generasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Keramik yang Mengubah Nasib (3)

5 Desember 2009   13:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:03 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="300" caption="Saringan keramik dalam polesan setelah dicetak (foto koleksi pribadi)"][/caption]

Keberhasilan Mickey membakar semangatku. Dengan modal paspasan serta memanfaatkan bengkel mobil punya adik iparku, peninggalan almarhum ayah mertuaku, mulailah aku membuat bengkel sederhana. Mula-mula aku mencari peralatan yang diperlukan, yaitu hummer mill dan mixer. Hummer mill adalah alat pembuat tepung, biasanya untuk keperluan pertanian, misalnya untuk membuat tepung jagung, tepung terigu dll. Mixer adalah alat pencampur yang biasanya digunakan untuk mengaduk semen. Setelah searching di goggle, aku menemukan toko alat-alat pertanian yang ada di Kota Bogor, yang menjual peralatan yang aku perlukan. Untuk mold atau cetakan, terpaksa aku harus meminta bantuan tukang besi yang sanggup membuat cetakan yang sesuai dengan gambar desain yang aku berikan. Tiga bulan berlalu, alat-alat tersebut masih nongkrong di bengkel, menunggu selesainya mold serta dudukannya, yang ternyata tidak mudah membuatnya.

Bulan keempat, dibantu beberapa orang, aku mulai membuat campuran tanah liat atau lempung dan sekam padi. Lempung banyak didapat di Plered, demikian pula sekam padi. Bahkan sekam tinggal mengambil di tempat penggilingan beras, gratis! Sesuai buku petunjuk dari Kamboja, aku mencampur lempung yang sudah halus dengan sekam yang sudah dihaluskan pula, lalu setelah dicampur air, dicoba dimasukkan kedalam cetakan. Hasilnya? Jauh dari memuaskan....., ternyata aku salah memilih sekam. Ada dua macam sekam, pertama kulit padi dan yang kedua sisa serpihan beras yang halus (dalam bahasa Sunda namanya huut). Sisa serpihan padi ini umumnya sudah lembut, tapi masih banyak mengandung nutrisi, sehingga setelah dicetak, timbul bulu-bulu putih yang lembut dan setelah dibakar, ukuran pot menyusut banyak, lebih dari 7% dari besar penyusutan yang diperbolehkan. Tumpukan pot yang gagal itu akhirnya aku gunakan sebagai pot tanaman agar tidak mubazir. Isteriku senang karena dapat pot tanaman gratis dalam jumlah banyak!

Dalam percobaan berikutnya aku gunakan sekam kulit padi, kali ini bentuk pot stabil dan setelah dibakar, penyusutannya tidak terlalu besar. Aku sudah senang. Tapi sewaktu dites kecepatan alirannya, ternyata alirannya sangat lambat, jauh lebih rendah dari kecepatan yang seharusnya. Kecepatan aliran yang dianggap baik adalah apabila air dalam pot habis dalam 2 sampai 4 jam, artinya kecepatan aliran antara 2 sampai 4 liter/jam, karena volume pot adalah 8 liter. Kami gagal lagi, dan sejumlah besar pot berubah fungsi menjadi pot kembang! Ternyata komposisi campuran lempung dan sekam, besarnya partikel lempung dan sekam halus, jumlah air dan lamanya pencampuran mempengaruhi kecepatan aliran. Meskipun aku telah mengikuti semua petunjuk yang ada dalam buku pedoman, unsur-unsur lokal seperti jenis lempung, mempengaruhi kualitas produk. Aku tidak menyerah, kami coba lagi berbagai komposisi campuran. Akupun konsultasi lewat email dengan Kathryn di Kamboja yang dengan sabar membantu dan memberikan semangat.

Enam bulan berlalu, kami belum berhasil membuat saringan keramik yang aku lihat di Kamboja. Kendalanya kali ini adalah, ukuran pot yang kami produksi ternyata sedikit lebih besar dari wadah plastik yang ada di pasaran. Aku mendapatkan pabrik wadah plastik di Bandung sehingga bisa membeli dalam jumlah besar dengan harga yang lebih murah. Ukuran wadah plastik ini sudah baku, dan jika aku minta dibuatkan ukuran yang lebih besar, terpaksa harus membuat cetakan yang baru dan harganya bisa ratusan juta rupiah. Wah, mau tidak mau mold saringan keramik yang aku punyalah yang mengalah. Kembali aku mencari tukang besi yang lain, karena tukang besi yang dulu tidak sanggup memperbaikinya. Mold sekarang sudah diperkecil dan hasil pot sekarang sudah pas masuk wadah plastik. Aku merasa lega. Tinggal mencari toko yang menjual larutan perak nitrat. Dalam beberapa buku acuan sebenarnya yang digunakan adalah perak koloid (colloidal silver), tapi buku petunjuk dari Kamboja menggunakan perak nitrat. Selain itu, perak koloid tidak dijual di pasaran dan harus dibuat sendiri di laboratorium, sedangkan perak nitrat bisa dibeli di toko farmasi di Bandung. Dalam saringan, larutan perak nitrat nanti akan berubah sendiri menjadi perak koloid. (Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun