Mohon tunggu...
Rio Ismail
Rio Ismail Mohon Tunggu... lainnya -

Rio Ismail (Suwiryo Ismail), lahir di Gorontalo dan menyelesaikan kuliah di FISIP Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sam Ratulangi, Manado. Mengawali kiprah sebagai jurnalis di Manado pada awal 1985. Pada saat bersamaan juga menjadi aktivis di organisasi non pemerintah (Ornop) atau NGO di Lembaga Bantuan Hukum (LBH/YLBHI) Manado. Pernah menjadi Direktur LBH Manado, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Utara, anggota Dewan Nasional WALHI, dan Deputi Direktur Eksekutif Nasional WALHI. Pernah bergabung menjadi anggota Solidaritas Perempuan dan duduk di Dewan Pengawas Nasional Solidaritas Perempuan selama dua periode. Beberapa tahun terakhir mendirikan The Ecological Justice dan aktif melakukan advokasi dan pendidikan politik untuk isu lingkungan, hak azasi manusia, gender/feminis, korupsi dan money laundering, dan memantau arus pembiayaan internasional/MDB's yang berdampak pada perusakan lingkungan dan pelanggaran hak azasi. Disamping sebagai praktisi dan konsultan lepas untuk pengembangan strategi komunikasi dengan pendekatan integrated marketing communication (IMC) dan political marketing.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Teruslah Melawan Intoleransi

24 Mei 2017   18:58 Diperbarui: 24 Mei 2017   19:01 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Rio Ismail

Veronica Tan dengan tangis ekspresif mengungkapkan sikap suaminya, Ahok/Basuki Tjahaya Purnama, mengenai situasi kekinian dalam proses "peradilan politik" yang berlangsung saat ini. Ahok memilih mundur dan mengambil jarak dari situasi yang memang sedang digoreng untuk tidak hanya membunuh karir politiknya. Tetapi juga untuk menaikkan supremasi politik identitas yang berbasis rasisme dan sektarianisme. Jika melihat berbagai fakta, saya menganggap banyak yang membela Ahok, namun Ahok tidak ingin menggunakan dukungan dan pembelaan publik untuk memenangkan proses peradilan di tingkat banding. Sepertinya dia tahu bahwa cara itu akan memunculkan benturan dan makin "membarakan" situasi, sebagaimana yang diinginkan barisan intoleran. Sampai di sini saya salut dengan Ahok.

Ahok sesungguhnya membawa fenomena baru dalam pentas politik identitas di Indonesia. Baru kali ini ada orang Tionghoa, Kristen, dan minoritas yang dengan lantang melawan politik identitas ---yang sejak era kolonial hingga era kemerdekaan dan reformasi--- digunakan oleh kekuatan dominan, baik elemen-elemen fasisme maupun kapitalisme untuk mengendalikan dinamika politik. Pada tataran ini saya melihat penghentian proses banding oleh Ahok menutup peluang bagi kepentingan banyak pihak untuk memutar kembali bandul hukum ke arah penghentian penggunaan pasal-pasal karet mengenai penistaan agama sebagai alatmembunuh keberagaman dan demokrasi. Kita kehilangan celah untuk menguji pasal-pasal penistaan itu dalam proses peradilan yang sedang berjalan.

Nah, tugas para pembaru untuk meneruskan perjuangan memutus matarantai politik identitas ini dalam ranah peradilan. Jika perlu, publik harus melakukan pembangkangan sosial terhadap produk legislasi maupun produk peradilan yang mengandung substansi atau yang dicapai dengan cara-cara rasis dan sektarian. Bahkan sudah saatnya menghadang apapun bentuk ekspresi, aksi, dan insitusionalisasi kepentingan intoleran, rasisme dan sektarianisme. Kepentingan semacam ini tidak hanya menyandera hak-hak dan kepentingan kelas masyarakat miskin dan tertindas tetapi juga menghancurkan demokrasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun