Mencoba menggali berita tentang pelanggaran HAM di bangsa ini, akhirnya menemukan sejumlah data dan informasi, bahwa ternyata kasus pelanggaran HAM yang sudah lama-lama terjadi khususnya pelanggaran hukum tahun 1998 menjadi suatu hal yang sepertinya rumit untuk diselesaikan.
Orang-orang yang terkait saling munuding dan saling menunjukkan, seperti yang kita lihat baru-baru ini. Seperti yang dilansir oleh kompas.com (27/2/2019), dimana Kivlan Zein akhirnya menjawab tantangan Wiranto untuk tidak usah melakukan sumpah pocong.
Sebab katanya itu sumpah setan. Kenapa tidak untuk melakukan debat di depan TV untuk bisa menunjukkan kepada masyarakat siapa yang sebenarnya dalang dibalik kasus tahun 1998 itu.
Maka aksi kamisan yang digelar oleh orang-orang yang merupakan korban pada saat itu, ternyata sudah melakukan aksi hingga lebih dari 500 kali nya. Dan baru untuk pertama kalinya, Jokowi memanggil mereka ke Istana tahun lalu 2018.
Adapun salah satu penggagas Aksi Kamisan tersebut, Maria Katarina Sumarsih, sudah menyerahkan buku yang berisi 12 tahun peringatan aksi kamisan. Di mana sudah menyerahkan 504 surat, 339 surat sudah diserahkan kepada SBY, dan 201 surat sudah diserahkan kepada Bapak Jokowi. Ibu Maria mengaku antara pesimistis atau optimistis akan dibaca atau tidak. Tapi kan pegawai Pak Jokowi banyak, harusnya ada yang bisa membaca buku itu. Sehingga pemerintah harapannya bisa tahu dan dengar apa yang menjadi tuntutan mereka.
Kamisan itu sendiri adalah aksi dari para korban pelanggaran HAM dan aktivis yang digelar di depan Istana Merdeka setiap Kamis. Aksi ini menuntut penyelesaian kasus-kasus HAM yang belum terungkap.
Anggota Aksi Kamisan terdiri dari korban dan keluarga korban tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok dan Tragedi 1965 dan sejumlah kasus lainnya.
Dan hal itulah yang membuat seorang aktivis juga seorang dosen UNJ ikut terpanggil dan menyatakan aksinya lewat aksi kamisan pada Kamis (28/2/2019). Menyanyikan lagu yang sangat viral di tahun 1998 lalu. Oleh beberapa pihak menilai bahwa lagu itu seakan menghina pemimpin lembaga khususnya TNI.
Dimana akibat dari aksinya tersebut dan viralnya video tersebut akhirnya membuat dia menjadi seorang tersangka oleh pihak kepolisian. Seperti yang dilansir oleh kompas.com (7/3/2019), bahwa dosen UNJ tersebut diamankan dari rumahnya sekitar pukul 00.15 tadi pagi. Dan beliaupun dinyatakan tidak mendapatkan penahanan meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Tapi yang menjadi perhatian kita juga, beliau sebelumnya juga sudah melakukan klarifikasi bahwa nyanyian tersebut ditujukan bukan untuk institusi TNI dan polri pada era ini, tapi dikhususkan kepada institusi pada era lalu. Kenapa klarifikasi yang demikian tidak dijadikan acuan tanpa harus meneruskan kasus tersebut dalam bidang ranah hukum?
Apakah batasan kritik sehingga kita akan bisa terbebas dari serangkaian masalah hukum di bangsa kita ini? Padahal jika memakai UU ITE yang sebagai alat hukum untuk memproses beliau, toh bukan beliau yang menyebarkan konten video yang bisa berakibat semakin meresahkan warga bangsa ini. Tepatkah untuk tetap memproses lanjut kasus hukumnya?