Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bermain-main Kekuasaan di Kasus Ahok

15 Mei 2017   13:30 Diperbarui: 15 Mei 2017   13:53 1517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: news.detik.com

Drama itu belum selesai. Permainan masih berlangsung terus. Babak setelah vonis hakim 2 tahun akan segera mulai. Perhatian dunia internasional mengakumulasi. Banding yang dilakukan Ahok akan memperpanjang proses yang menguras energi bangsa ini.

Ini hanya sebuah permainan. Ahok hanya kebetulan memiliki semuanya untuk bisa dipermainkan dalam gameyang sudah kuno ini. Gameperebutan kekuasaan. Karena kekuasaan itu memang sangat nikmat. Kekuasaan itu menjanjikan banyak keuntungan. Oleh karenanya kekuasaan itu akan selalu direbut terutama oleh mereka yang sangat haus akan kekuasaan itu.

Perebutan kekuasaan selalu harus menimbulkan korban. Tidak ada perebutan kekuasaan yang tidak memakan korban. Korban tidak selalu sebagai korban jiwa. Kerusakan bangsa itu sendiri adalah korban yang paling fundamental.

Buktinya, di Amerika Serikat setelah ujaran kebencian yang diuarkan Trump ke udara dan ditelan bulat-bulat oleh para pendukungnya, yang percaya dengan ucapan-ucapannya, terjadi polarisasi yang kuat di tingkat masyarakat. Buahnya, perpecahan itu terjadi. Bahkan gaungnya tidak berakhir di batas-batas geografis negara Uncle Sam ini.

Gaungnya bahkan sampai ke negara-negara Eropa yang dikenal sebagai benua dengan peradaban tinggi. Untunglah, rakyat tiga negara masih memilih menjadi waras - Austria, Belanda dan Prancis, untuk tidak memilih para pemimpin populis yang pikirannya dimuati kebencian dan ketakutan yang diciptakan sendiri. Sementara Jerman akan melihat nasibnya di September 2017.

Jualan penegasan identitas menjadi komoditas yang sangat laku. Identitas bisa berupa suku, agama, ras dan golongan. Di Amerika Serikat konten identitasnya yakni pribumi dan non-pribumi. Di Austria dan Belanda, antara pribumi dan migran. Kaum migran yang distigmatisi dengan berbagai label yang berkaitan dengan keburukan. Kaum migran diproyeksikan sebagai pembawa ‘bencana’ ke dalam negeri.

Dalam narasi Trump, para migran adalah penjahat, pembunuh, pemerkosa, penjual narkoba dan pencuri pekerjaan warganya. “Untuk ‘membasmi’ kaum migran ini, aku harus menjadi presiden” ujaran itu, kira-kira, yang diserukan Donald Trump. Ujaran-ujaran itu yang membawanya ke tahta tertinggi manusia di bumi ini. Setidaknya stigma Presiden Amerika Serikat sebagai manusia nomor satu di planet ini diterima banyak pihak. Jualannya laku keras.

Di Indonesia, hal yang sama terjadi. Komoditas identitas yang dijual agama dan ras. Agama dalam operasi senyap digunakan sebagai alat untuk menegaskan antara aku dan bukan aku. Ras digunakan juga untuk memberikan garis pembatas antara kami dan bukan kami. Semuanya terjadi dalam kontestasi politik di proses pemilihan kepala daerah Jakarta. Proses pilkada yang mendapatkan sorotan dari segala penjuru bumi.

Ada pertanyaan yang muncul kemudian. Mengapa proses pilkada di Jakarta ini mendapatkan sorotan begitu luas? Jawabannya karena Ahok dan demokrasi di Indonesia. Karena Ahok dengan segala atributnya dan Indonesia yang digadang-gadang sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di Indonesia.

Apa itu atribut yang melekat pada diri Ahok? Sebut saja, Ahok memiliki quadruple minorityChristian, Chinese, Non-Jakartan and Anti Corruption. Kombinasi empat atribut ini mengharuskan, dan seharusnya, Ahok menunjukkan ‘kehebatannya’ dalam menjalankan fungsi publiknya sebagai gubernur. Dia berhasil dan diganjar banyak penghargaan serta diakui oleh masyarakat dengan tingkat kepuasan hingga 76%. Tetapi, kalah dalam dua kontestasi, pilkada dan pengadilan, karena keempat atribut yang melekat pada dirinya.

Banyak pihak kemudian mempertanyakan kedemokrasian Indonesia. Kebhinekaan yang selalu digaungkan ke seluruh dunia. Bangsa, yang oleh para pemimpin negara yang berkunjung ke Indonesia, di cap sebagai bangsa yang sangat toleran. Fakta, setidaknya yang mereka persepsikan, adalah sebaliknya, pasca putusan Ahok ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun