Mohon tunggu...
Rina Nuryasari
Rina Nuryasari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Identitas Manusia

2 Desember 2016   10:20 Diperbarui: 2 Desember 2016   11:13 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa yang membuat kita menjadi manusia? Mungkin ini dulu pertanyaan yang harus diajukan sebelum menelaah lebih lanjut peran kita sebagai manusia. Ilmu biologi genetika memaparkan unsur makro , yakni karbon, oksigen, nitrogen, sulfur dan fosfor, kelimanya terdapat dalam semua tingkatan kehidupan mulai dari mikroorganisme hingga hewan tingkat tinggi termasuk manusia. Daur nutrien juga menjelaskan bagaimana semua unsur ini berputar mulai dari organisme autotrof yang menghasilkan makanannya sendiri, seperti tumbuhan dan fitoplankton, dan kemudian masuk ke tubuh konsumen primer, sekunder dan tersier, hingga berakhir pada dekomposer, golongan mikroba yang bertugas mungurai senyawa organik kompleks dari organisme yang sudah mati, agar menjadi bagian yang lebih kecil sehingga bisa diserap oleh tumbuhan, sehingga sekali lagi memasuki siklus.

Jika semua makhluk hidup berasal "bahan baku" yang sama, maka apa yang membuat manusia tetap menjadi manusia, hewan tetap menjadi hewan dan tumbuhan tetap jadi tumbuhan, meski semua unsur berdaur melalui mereka? Jawabannya adalah DNA. Pengetahuan mengenai DNA membuat manusia semakin memahami, tidak hanya dirinya sendiri tapi juga alam di sekitarnya. Kode pada DNA ini mempertahan posisi dan keunikan tiap makhluk. Bukan hanya makhluk dengan spesies berbeda, tapi juga antar spesies. Menarik bukan, bagaimana pencipta kita membuat keunikan di tiap ciptaan dengan "bahan baku" yang sama. Ini jawaban pertama mengenai siapa kita dan sekaligus menjadi sebab mengapa kita tidak boleh meninggikan diri kita di atas yang lainnya, karena kita berasal dari zat yang sama. 

DNA yang mengkode semua protein dalam tubuh organisme berupaya sedapat mungkin mempertahankan organisme selalu dalam kondisi terbaiknya. Meski ada banyak "bahan baku" yang masuk, DNA menggunakan bahan terbaik saja dalam proses, dan menjaga tiap organisme berada di kingdom-nya masing-masing. Manusia sebagai organisme tingkat tinggi memiliki daya tahan yang baik terhadap segala bentuk ancaman dari luar yang dengan sengaja atau tidak, bisa menurunkan kualitas spesiesnya. Namun dalam kasus tertentu yang sangat parah, misalnya paparan radiasi nuklir, DNA pun akhirnya tidak dapat mempertahankan fungsinya dengan baik, terdapat kesalahan dalam pekerjaanya dan akhirnya terjadilah mutasi genetik. Dalam kasus ini, dampak yang paling jelas tercermin pada keturunan dari individu tersebut yang ditandai dengan adanya cacat bawaan, meski orang tuanya tampak normal secara fisik. Apa yang terjadi di dalam tubuh orang tuanya, akhirnya tercermin dalam anak tersebut.

Secara eksplisit tampak bahwa proses "membuat manusia" bisa diatasi dengan baik oleh DNA. Sehingga kita dapat terus berada pada posisi terbaik dalam rantai makanan, sekaligus menjamin keberlangsungan spesies kita. Namun apakah sampai di situ saja perjalannya? Baru-baru ini kita dibingungkan dengan identitas kita sebagai manusia. Meski penjelasan dari biologi genetika seharusnya bisa memuaskan kita, namun kita masih bertanya, siapa manusia? Hal ini selanjutnya mengarahkan kita pada sudut pandang lain untuk menjadi bahan pertimbangan, yakni Agama. Pertanyaan yang diajukan, Bagaimana Agama mendefinisikan manusia?

Secara singkat, Agama menjelaskan bahwa manusia merupakan gabungan antara roh dan badan. Badan dalam hal ini sudah kita ketahui definisinya melalui ilmu pengetahuan, lalu bagaimana dengan roh? Roh merupakan tanda Tuhan, yang pertama kali menunjukkan cerminan sifat-sifat Tuhan dan tentu saja roh bukan berasal dari dunia ini. Roh berasal dari alam rohani, membentuk hubungan dengan badan, seperti halnya cahaya yang terpantul dalam cermin. Refleksi cahaya itu dalam cermin tergantung pada kondisi cermin, apakah cermin itu buram atau bersih. Potensi untuk mencerminkan semua sifat-sifat baik, ada dalam diri tiap orang, namun hasilnya tergantung pada bagaimana sifat ini ditunjukkan dalam tindakan. Untuk membantu kita mencerminkan sifat-sifat rohani ini, Agama memberikan doa dan sembahyang, serta ketentuan lain yang diperlukan sebagai makanan bagi roh, agar ia dapat terus tumbuh. Roh yang maju dan berkembang dicirikan dengan tindakan pengabdian yang dilakukan oleh badan. Sebaliknya, jika roh dalam kondisi "sakit", badan akan cenderung melepaskan sisi negatif ketika berinteraksi, baik dengan sesama makhluk atau dengan lingkungan fisiknya.

Kedua sudut pandang ini perlu kita gunakan untuk melihat apa yang menyebabkan kita menjadi manusia. Semua gejolak yang timbul di masa kini sangat terkait dengan pengetahuan mengenai siapa kita dan untuk apa kita diciptakan. Bukankah waktu tinggal kita di bumi juga tidak akan lama, alangkah baiknya jika kita meninggalkan jejak baik untuk generasi selanjutnya, sebab perjalanan ini bukan hanya perjalanan kita, namun perjalanan bagi peradaban umat manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun